17; mengakhiri yang pantas berakhir

525 79 1
                                    


Pagi-pagi sekali Rain sudah berada di kedai kopi. Jam di dinding menunjukkan pukul enam. Rain berjalan mengamati tiap sudut kedainya. Dulu, ia menanti-nanti kedai ini buka. Memikirkan konsep yang menarik perhatian pengunjung. Rain bertambah bahagia karena di tempat ini juga ia bisa mempromosikan buku karyanya.

Perjuangannya tidak mudah untuk mendirikan kedai ini. Rain harus bekerja, mengumpulkan sisa penghasilannya untuk membangun kedai. Makanya Rain masih belum bisa kehilangan tempat ini.

Rain berjalan di tempat duduk yang ia berikan kepada Awan. Tangis Rain kembali pecah mengingat kisah lalunya. Ternyata waktu datang dengan cepat merampas semua yang Rain punya. Ia harus kembali berjuang dari awal.

Yang hilang memang harus diiklaskan, batin Rain.

Sebelum jam tujuh Aurel sudah berada di kedai. Ia menghampiri Rain yang masih larut dalam lamunannya, "Gue tahu maksud lo nyuruh gue sama Doni kumpul. Lo mau jual kedai ini?"

"Rain, lo udah siap kehilangan tempat ini?" tanyanya lagi.

Rain mengangkat kepalanya. Menatap Aurel yang kini mengenggam tangannya, "Udah waktunya aku kehilangan. Tenang, tempat ini enggak bakalan aku jual. Aku cuma mau menutupnya sebentar."

"Terserah lo aja, ini milik lo."

Mata Rain masih betah memandang sekeliling kedai. Lalu pandangannya kembali jatuh menatap Aurel, "Rel, aku mau minta tolong sama kamu. Aku mau nitip kedai ini selama aku pergi."

"Lo percaya sama gue?" Aurel menunjuk dirinya sendiri.

Anggukan kepala Rain mantap. Ia yakin Aurel sama sepertinya. Aurel menyukai kedai. Rain yakin kalau Aurel bisa diandalkan, "Kamu sama sepertiku menyukai kedai ini. Kamu nggak keberatan?"

Percakapan mereka berhenti. Ada Doni yanh baru saja datang. Doni membenarkan tatanan rambutnya kemudian menghampiri Rain dan juga Aurel.

"Gue nggak telat kan?" tanya Doni yang merasa tidak enak dengan Rain.

"Don, makasih ya kamu udah mau aku repotin dengan kedai. Maaf, kalau beberapa hari ini aku jarang ngurusin kedai," ujar Rain.

Doni menatap Aurel. Meminta penjelasan dengan perempuan itu. Aurel hanya mengangkat kedua bahu.

"Sebelumnya aku berterima kasih kalian berdua mau bekerja denganku. Tapi, sepertinya kedai ini nggak bisa bertahan. Percuma juga kalau aku paksa."

"Lo yakin sama keputusan lo? Awan tahu kedai lo tutup?" tanya Doni.

Rain diam, ia bingung harus menjawab apa. Ini kedai miliknya jadi Awan tidak akan perduli. Dia sudah melupakan Rain. Awan sudah bahagia di Jogja.

"Aku yakin, sangat yakin. Aku nitip kedai ini sama kalian berdua. Sekarang, kalian boleh pulang."

Baik Aurel ataupun Doni masih diam. Aurel memberanikan diri memeluk Rain. Rain membalas pelukan Aurel. Disusul Doni yang ikut memeluk keduanya.

"Gue nggak tahu apa yang ada di otak lo Rain. Tapi lo harus berjuang, demi hidup lo. Perjuangkan apa yang menurut lo berharga. Gue pamit duluan," ujar Doni lalu pergi.

Aurel masih berada di samping Rain. Mengusap punggung tangan Rain, "Semoga lo bisa meraih apapun yang mau lo raih. Jangan menyerah karena keadaan."

"Makasih."

"Gue pulang dulu," ucap Aurel.

Rain kembali sendiri. Ia berjalan menyusuri kedai miliknya. Ikan cupang matipun masih ada di atas meja.

Dengan manarik nafas panjang. Rain berjalan keluar, mengunci kedai miliknya.

Selamat tinggal tempat penuh kenang, ucap Rain dalam hati.

Lagi-lagi tangisnya pecah. Semua dari hidupnya hilang. Semuanya hancur. Rain tidak punya apa-apa lagi. Kakinya kembali melangkah. Ia butuh tempat mencurahkan hatinya.

===

Sudah lama Rain tidak menginjakkan kakinya di sini. Tempat mama Rain beristirahat dengan tenang. Rain menatap gundukan tanah di depannya. Ia berjongkok, mengusap nisan yang bertuliskan Rahayu, mamanya.

"Mah, maaf Rain baru datang. Mama di sana apa kabar? Rain kangen sama Mama,"

"Rain nggak punya siapa-siapa lagi Mah. Mama udah pergi, papa Rain nggak tahu di mana. Aaan juga ninggalin Rain," ujar Rain yang semakin terisak.

"Mah, Rain mau ijin pergi. Ada yang perlu Rain benahi. Tapi, Rain janji bakalan pulang ke sini lagi. Rain pulang ya Mah."

Rain tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Sejak kapan ia berada di sini? Rain kira hanya ada Rain di pemakaman.

"Hai, apa kabar?" ujar Arjuna.

Senyum Arjuna tidak menghilang. Ia masih tersenyum ke arah Rain. Meski Rain sudah melukai perasaannya berulang kali. Rasanya Rain malu ada di hadapan Arjuna. Lelaki itu sangat baik kepadanya.

"Kacau. Kamu sendiri?"

"Sama sepertimu, kacau." Arjuna menampilkan senyumnya lagi.

Baru satu langkah tangan Arjuna menahan Rain. Rain menengok ke belakang. Mencari tahu apa yang ingin Arjuna katakan, "Saya ke sini bukan mengikutimu. Tapi, di sini malah ketemu kamu."

"Bagus kalau kamu nggak ngikutin aku."

Tangan Arjuna melepaskan pergelanggan tangan Rain. Ia membiarkan Rain pergi. Arjuna menatap nisan bertuliskan Rahayu.

Saya bakal lakuin apapun. Asal kamu kembali bahagia Rain, ucap Arjuna dalam hati.

Arjuna berjalan pergi meninggalkan pemakaman. Dari jarak paling aman Arjuna mengamati Rain yang sedang menunggu angkot. Arjuna tidak menghampiri Rain. Ia hanya menatapnya. Mengamati Rain sampai perempuan itu dapat angkot dan pulang dengan selamat.

Meskipun Rain selalu menolak kehadirannya. Tapi, Arjuna selalu yakin Rain adalah jodohnya. Rain berhasil menguras semua isi hati Arjuna.

Sekalipun kamu nggak mau saya perjuangkan. Saya tetap akan berjuang.

PETRICHOR [Lengkap]Where stories live. Discover now