"Mungkin saya beda sama Awan..."

"Dari mana kamu tahu? Tahu semuanya?"

Arjuna melepas genggaman tangannya. Ia berdiri, mengamati langit malam yang sedang cerah-cerahnya, "Bulan aja tahu kalau rasamu untuk Awan. Dari cara kamu bicara, dari cara kamu memandang, dan dari cerita yang kamu buat. Semuanya kamu tunjukkan buat Awan kan Rain?"

"...."

"Saya sudah baca kedua novel kamu. Semuanya berakhir sama, perpisahan dan merelakan. Tentang Aleta yang menunggu Dirga kembali, atau Viola yang ternyata menyukai sahabatnya sendiri. Cerita-ceritamu itu kilasan hidupmu kan?"

"Bukannya aku udah pernah bilang ke kamu. Cerita itu fiksi, jadi semua orang sah-sah saja berimaji. Termasuk aku. Aleta, Dirga, dan Viola. Mereka bagian dari fiksi, tokoh pemuas untuk sebuah kisah yang aku rancang."

Kali ini Rain tidak suka mendengar ucapan Arjuna. Ia tidak pernah suka kehidupan pribadinya diungkit orang lain. Baginya menulis adalah dunianya, tempat nya berpulang saat penat dengan kehidupan. Meski sebagian ucapan Arjuna adalah benar. Rain tetap tidak mau jujur dengan orang lain. Cukup hatinya masih kuat untuk memendam sendiri.

"Rain, saya minta maaf." Arjuna merasa tidak enak melihat perubahan wajah Rain yang murung, "Sekali lagi maaf sudah mengusik kehidupan kamu."

"Saya mengusik kehidupan kamu karena saya peduli sama kamu. Saya enggak mau kamu terus-terusan menunggu hal yang semu," lanjut Arjuna.

Tatapan Rain mengarah ke pupil mata Arjuna, "Jangan terlalu mencampuri urusan yang harusnya kamu acuhkan. Aku sama Awan itu teman, enggak lebih sampai kapan pun."

Rain menatap ponsel miliknya yang tadi ia matikan. Ada tiga panggilan tidak terjawab dari Awan. Kenapa sekarang Rain jadi sering lupa.

Jam menunjukkan pukul sepuluh. Sudah terlambat mengajak Awan bertemu lagi. Rain hendak mematikan ponsel sebelum satu pesan membuat tubuhnya melemas.

Awan

Ini aku Luna, ke rumah sakit sekarang Awan kecelakaan.

"Arjun, anterin aku ke rumah sakit sekarang!"

Tanpa bertanya Arjuna mengiyakan ucapan Rain. Segera mereka pergi. Menerobos angin malam yang membuat Rain memeluk tubuhnya sendiri. Mencoba menghangatkan dengan meniup-niup tangannya. Rain mencoba menahan tangisnya. Kali ini semoga Tuhan tidak membiarkannya kehilangan lagi.

Rain semakin tidak bisa tenang. Awan terus menerus ada di pikirannya. Bagaimana keadaan laki-laki itu? Apa yang membuat Awan celaka?

"Rain, di rumah sakit yang ini?" tanya Arjuna setelah mereka sampai di rumah sakit.

Kepala Rain menggeleng. Ia juga tidak tahu di rumah sakit mana Awan sekarang, "Biar aku tanya dulu. Kamu di sini aja."

Beberapa menit kemudian Rain kembali menghampiri Arjuna. Awan tidak ada di sana. Apa Awan hanya mengerjainya?

"Coba di rumah sakit daerah," ujar Rain.

===

Malam ini keadaan rumah sakit begitu sepi. Tidak banyak orang yang berlalu lalang. Kebanyakan dari mereka tidur beralaskan koran. Rain menatap dengan iba. Sudah menjaga orang sakit, masih saja diberi kesulitan. Dunia kejam untuk mereka sebagian.

"Itu Luna," ucap Rain membuat Luna berdiri langsung memeluk Rain.

Tubuh Rain sedikit tersentak ke belakang. Ia mengusap punggung Luna, "Awan gimana?"

"Kata dokter dia kritis Rain. Kita cuma bisa doakan dia," ujar Luna pelan.

Arjuna memilih diam. Selain tidak tahu harus berbuat apa, dia juga tidak mau menambah masalah.

Luna mengajak Rain dan Arjuna untuk duduk, "Malam ini aku enggak bisa jagain Awan. Aku udah hubungi orang tua Awan, mereka lagi ada di luar negri. Mungkin enggak bisa jagain Awan."

"Kita tunggu kondisi Awan saja dulu. Masalah orang tuanya nanti biar aku yang mengurus Awan di sini," jawab Rain.

Rain menatap ruangan yang berdominan warna putih ini. Ada beberapa alat medis yang melilit tubuh Awan. Perempuan itu mendekat, mengusap punggung tangan Awan yang bebas tanpa infus.

Awan memejamkan mata. Dapat Rain lihat kepala dan tangan Awan yang diperban. Juga, kaki kanan dengan sisa luka. Kali ini Rain mengalah, ia menangis sejadi-jadinya. Rain memeluk Awan. Menenggelamkan mukanya di dada lelaki itu.

"Wan, jangan tinggalin aku!"

"Kamu harus sembuh Wan!"

"Awan aku butuh kamu."

Luna dan Arjuna diam di ambang pintu. Keduanya mengamati Rain. Luna menyeka tangisnya yang keluar lagi.

"Rain, Awan baik-baik saja," ujar Luna menenangkan Rain.

"Aku balik dulu ya," Luna mengusap punggung Rain dan pergi.

Arjuna berjalan ke arah Rain. Melihat raut sedih yang terpancar dari wajah Rain. Rain menjadi rapuh.

"Jadi sebesar ini rasa cintamu ke Awan?"

Rain mengusap tangisnya. Menatap Arjuna yang berada di sampingnya, "Arjuna, malam ini aku mau jaga Awan. Kamu pulang aja ya?"

"Bukan mau pamrih, tapi sepertinya hadirku cuma untuk kata tolong ya Rain."

"Jadi kamu enggak ikhlas nolongin aku? Maaf Jun kalau aku cuma ngrepotin kamu. Harusnya tadi kamu nolak aja."

"Rain..."

"Pergi Jun, biarin aku di sini."

Arjuna tidak membalas ucapan Rain. Ia melangkah pergi dengan sisa kecewa di hati. Maksudnya bukan meminta imbalan. Arjuna hanya ingin Rain melihat hadirnya juga. Bukan melulu perihal Awan yang baik, Awan yang suka mengantarnya.

Cemburu saya nyatanya belum bisa kamu terima. Enggak papa, besok saya coba lagi, batin Arjuna.

"Enggak papa Wan kalau kamu bukan jodoh aku. Tapi, setidaknya jangan biarin aku di dunia sendiri. Aku takut Wan," ujar Rain mengusap rambut Awan.

PETRICHOR [Lengkap]Where stories live. Discover now