Aku merasa terbangun dari ketidaksadaran secara tiba-tiba. Darma menyadarkanku dari segala prasangka buruk. Aku selalu menganggap semua orang menilaiku sombong, mereka iri padaku, juga membenciku. Aku memang menyembunyikan sakit asmaku, tetapi apa alasan itu tidak terdengar egois?

Darma menoleh ke arahku saat di lampu merah. "Saya baru tahu dari malam itu." Mungkin maksud dia malam Jumat kemarin. "Saya benar-benar khawatir padamu."

Aku tahu maksudnya. Dia sedang mengkhawatirkan sakit asmaku. Aku mencoba tersenyum padanya. "Terima kasih sudah khawatir. Namun, kau tidak perlu memikirkannya. Aku sudah menjalani kehidupan dengan asmaku selama bertahun-tahun."

"Kamu tidak membiarkan orang lain tahu, ya?" tanyanya yang tampak intens menatapku.

"Aku hanya tidak ingin dianggap lemah," jawabku yang mengalihkan pandangan—tidak sanggup bertatapan terlalu dalam dengannya.

Dia mengangguk, lalu kembali menyetir setelah lampu kembali hijau. "Saya memiliki banyak kelemahan. Saya tidak bisa memasak, lalu saya tidak bisa bertani, padahal Ayah punya sawah yang luas. Saya sangat payah dalam pelajaran menghitung, itu kenapa saya memilih IPS," ungkapnya seraya tertawa. "Tidak hanya itu, saya juga buruk dalam sepak bola atau basket. Awalnya, banyak yang berpikir saya pandai semua olahraga, tetapi mereka akhirnya tertawa saat melihat bagaimana saya menendang bola atau melempar bola basket ke ring," lanjutnya yang kemudian tertawa kecil.

Kurasa Darma hanya ingin mengatakan jika tidak masalah orang tahu kekurangan dan kelemahan kita. Semua akan baik-baik saja. Mungkin kata-kata dia harus kupikirkan baik-baik. Aku seharusnya tidak perlu malu dengan penyakitku. Memandang laki-laki di sampingku, aku merasa aura positifnya telah menyebar padaku. Naya benar, Darma adalah sosok yang positif.


Kecurigaan kecilku pada Darma setelah dia menanyakan jalan pada pria di depan toko aksesoris itu telah terjawab. Sekarang, kami ada di rumah sakit. Rumah sakit ini terlihat tua dan cukup menakutkan. Aku bertanya-tanya, apakah orang itu sedang sakit? Sakit apa? Prasangka buruk kembali datang. Jangan-jangan kutukan itu memang membawa penyakit. Fakta bahwa orang itu sudah sembuh dari kutukan membuatku berpikir bahwa penyakitnya akan tetap tinggal walau kutukannya pergi.

Setelah Darma berbicara pada resepsionis, ia mengajakku untuk masuk ke dalam lorong rumah sakit itu. Aku memperhatikan sekitar, banyak orang lalu lalang. Aku menemukan orang-orang sakit yang didorong dengan kursi roda ataupun mereka yang menggunakan tongkat. Banyak orang yang terbatuk-batuk hingga aku berpikir harusnya aku memakai masker di sini.

"Kau yakin dia ada di sini?" tanyaku yang masih sangat ragu.

Darma mengangguk. "Polisi yang saya kenal hanya memberikan nomor telepon, nama, dan alamat rumah orang itu. Lalu, saat saya mengajak orang itu bertemu melalui telepon, dia hanya memberikan nama dan nomor jalan saja, dia sama sekali tidak mengatakan bahwa ini adalah rumah sakit. Karena itu, saya sedikit kaget waktu bapak yang saya tanyai bilang kalau alamat yang saya maksudkan ternyata rumah sakit."

Aku mengangguk tanda mengerti. Apa kutukan itu datang pada orang-orang yang menyembunyikan penyakitnya? Aneh sekali jika aku berpikiran seperti itu. Namun, bukannya orang itu sangat mirip denganku? Dia tidak mau mengatakan jika dia sedang sakit. Tunggu, ada yang aneh!

"Kenapa dia menjawab teleponmu? Bukannya teleponnya ada di rumah? Dan dia justru ada di sini?" tanyaku.

"Jawabannya hanya satu. Yang menerima telepon saya mungkin bukan orang itu," jawabnya yang memang cukup masuk akal.

"Mungkin keluarganya," kataku yang sekarang benar-benar penasaran.

"Gedungnya ada di sana," kata Darma menunjuk ke gedung yang terpisah dari posisi kami berada. "Nanti kita ke sana. Ayo, salat Zuhur dulu," lanjutnya seraya menunjuk ke mushola yang terpisah dari gedung ini.

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang