18. Definisi Kucing

111 77 31
                                    

Boleh minta voment nya?:'



Masih sibuk dengan kerja kelompok buat naskah drama. Bedanya, naskah kita udah jadi dan tinggal latihan meragainnya. Masih dengan kelompok yang sama.

Hampir setengah jam kita latihan dan Wawan masih aja gak serius.

Padahal dia itu peran utama di drama ini. Tapi kok ya ngeselin. "Pantes aja gak punya pacar, serius aja enggak" Celetuk gue karena kesel sendiri, lagi - lagi gagal.

Wawan tertawa heboh gak berenti hingga matanya menyipit. Lalu berhenti mendadak dan berkata. "Bacot lo ah, udah kayak nenek - nenek aja!"

"His kok ngegas?!"

"Lo duluan yang ngegas!" sahutnya tak mau kalah.

Gue memejamkan mata sebentar lalu berniat membalasnya kembali tetapi terhenti saat tersadar jika seperti ini tak akan selesai.

"Kalian berdua ini mending mingkem aja, kasian nih Feroo kayak ayam sakit" Ini suara Sinta.

Gue menoleh kearah Fero, mukanya pucet banget. Dengan narik napas panjang, akhirnya gue narok tangan gue di dahinya bentar, tapi kok gak panas. "Anjir kok gak panas?"

"Lo ngapain, Mal?" Tanya Kadek bingung melihat kelakuan gue.

"Ngecek kondisi Fero, lo kira gue lagi makan ayam?"

Fyi, Kadek ini pecinta ayam garis keras. Apapun makanan yang ada ayamnya, pasti tu bocah bakal ngantri paling depan.

Kadek merperlihatkan giginya yang putih itu ke gue. "Kok gue jadi laper"

Mentari ngedecak lalu nyibir. "Laper apa baper?"

Fero yang sedari tadi nyimak, negakin kepalanya dan natap kita satu persatu. "Ini gak jadi drama dan kalian pada baper-baperan?"

Lutfiatus mengangguk dan menyenggol lengan Angel untuk membaca naskah dan melanjutkan kembali.

"Ini beneran pemerannya lo sama Kadek, Wan?" Tanya Angel saat selesai membaca teks lalu melihat siapa saja pemeran utama dan kedua yang akan dipasangkan dalam drama tersebut.

Wawan mengangguk setuju lalu menatap kita semua satu persatu dengan satu alis keatas. "Gue sih terserah kalian aja"

"Halah klise, Wawan mah mau lo pada jodohin sama Bunda Musai juga di embat" Ini suara Fero, entah kenapa hari ini Fero jadi gas gini sih? Biasanya dia paling tak komentar apapun.

Fyi, Bunda Musai itu guru Bahasa Indonesia yang ngasih tugas drama ini. Gue juga bingung, sebenernya gue recom drama yang fantasi gitu, tapi kok kata Bunda Musai cocoknya kelompok gue itu drama teen fiction.

Gue sih ngikut aja, ngikut kepala istilahnya. Toh juga yang bakalan ngasih nilai ya tetep Bunda Musai.

Gue gerah lama - lama sumuk juga di dalam kelas kayak gini, mana bagian masih Wawan sama Kadek ngomong panjang lebar dan bagian gue masih jauh di tengah - tengah.

"Brukk"

Kardus yang ada di lemari itu jatuh sendiri. Gak ada angin, gak ada apa - apa.

Gue menoleh ke sumber suara sedikit mundur dikit. Kan gue parnoan, takut tiba - tiba hantu dateng kan gak lucu. Tiba - tiba Fero di samping gue ngedeket ke gue. Insting gue sih, tu bocah parno juga.

Tapi kok gue penasaran, agak lama gue ngeliatin dan keluarlah.


Anak kucing enam biji.

Iya masih anak kucing yang piyik - piyik itu loh, kan menggemaskan banget.

Gue menarik napas lega dan langsung nyamperin anakan kucing, kasian abis jatuh dari atas kan ya.

Gue elus - elus terus gue masukin ke kardus lagi dan gue taro di depan teras kelas.

Kasian kalo di balikin di atas lemari takut jatuh lagi. Kalo gue tarok kelas, satu kelas bakal murka sama gue.

Pilihan terakhir ya gue tarok di teras kelas dan gue elus - elus kepalanya satu persatu.

Gemes gitu, mau gue remet tapi gak jadi.

Tiba - tiba ada langkah kaki ngedeket ke gue, gue diem aja sampe langkah itu disamping gue jongkok.

Fero jongkok juga di samping gue, dengan gaya yang sama persis kayak gue. "Lo gak masuk lagi, bentar lagi scene lo tuh"

Gue menggelengkan kepala dengan tangan yang masih ngelus - ngelus kepala kucing itu. "Bentar lagi deh, sampe gue bisa nenangin anak kucing ini. Kasian baru jatuh dari atas gitu, pasti degdegan"

Beberapa detik hening diantara kita. Gue sibuk dengan kucing, Fero diam aja gak tau sibuk apaan. Tetapi akhirnya Fero berbicara. "Kucing ini gak lagi jatuh cinta, Mal"

Lah?
Gue berhenti ngelus dan noleh ke Fero. "Lo ngelawak gini biar gue ketawa atau biar gue kesel?" Tanya gue.

Bukannya merasa bersalah, Fero malah nyengir dan ketawa kecil. "Lagian segitunya suka sama kucing, Mal ? Lo gak punya kucing dirumah?"

Gue mengangguk gak tau jawab pertanyaan dia yang mana. "Gue sebenernya punya kucing dirumah, makanya gue suka aja sama kucing"

Fero ber'o'ria seraya menganggukkan kepalanya.

"Lo gak mau nanya gue suka kucing kenapa?" tanya gue lagi. Kenapa gue jadi sering nanya gini sih kalo sama Fero?

Bisa terlihat jelas kalau Fero ngerutin dahinya. "Kok?"

"Iya, lo gak mau nanya?"

"Boleh?"

Gue ketawa. Astaga kenapa jadi izin segala kalo mau nanya sih. "Ya jelas boleh lah"

Fero menganggukkan kepala dan kembali bertanya. "Kenapa lo suka sama kucing?"

Gue diem bentar, mikir buat nyari kata -  kata yang bagus dan berkesan gitu kan lumayan. Siapa tahu bakalan viral di kalangan Fero dan teman - teman olimpiade-nya. "Karena kalo gue suka sama kucing, gue gak harus menuntut timbal balik buat kucing itu suka juga sama gue"

Gue berdecak karena Fero tak ada respon sama sekali, dengan senang hati melanjutkan omongan gue. "Tapi kalo gue suka sama seseorang, gue gak bisa nuntut bukannya gak mau nuntun biar di balas perasaannya ke gue. Tapi kalo misalnya suka sendirian itu dikira enak?"

Fero lagi - lagi diam. Entahlah sifat pendiamnya itu masih saja ia pertahankan. Akhirnya gue berbicara lagi. "Lo tau apa yang bikin gue suka dari kucing? Karena kucing bisa buat kebahagiaan sendiri, walaupun disiksa bagaimanapun juga kucing tau gimana caranya bahagia" jelas gue.

Fero mandang gue bingung dan akhirnya ngomong sekitar 2menit kita sama - sama diam. "Bagian suka sendirian itu, kok jadi nanya gue Mal?"




Lah? Iya juga ya kenapa gue jadi nanya Fero?

Pemilik Otak Rumit [TERBIT-OPEN PO✅]Where stories live. Discover now