The Twenty First Thread - "Being With You is Something Peaceful"

Start from the beginning
                                        

Aku membantah, "Itu larangan agar tidak menebang pohon, dan juga karena menyampaikan ini dalam keadaan yang kritis. Semacam, hati-hati dan peringatan jika masih dilanjutkan."

Mama malah terbahak setelah mendengarkan penjelasan kami berdua.

Tentu saja aku kebingungan. Memangnya ada sesuatu yang lucu, sampai Mama harus tertawa?

"Jauh sekali ya, pemikiran kalian berdua. Dasar juara kelas," ucap Mama, masih tertawa geli. "Nggak ada yang kepikiran sejauh itu. Kalau dari yang Mama baca di konsep awal, mereka mau pakai warna merah, karena merah itu artinya cinta. Jadi ini semacam cinta alam? Tadinya mereka ingin berdebat menggunakan warna hijau, tapi katanya spanduk merah akan lebih menarik perhatian untuk dibaca daripada yang hijau. Iya, sesederhana itu."

Secara otomatis, kami berdua terdiam. Tentu saja karena jawaban kami ternyata salah.

"Haha, tidak perlu bingung begitu. Jawaban kalian juga benar, kok." Mama tampaknya mencoba menghibur kami.

Konsep mengenai warna memang terlalu luas untuk diperjelas.

"Aku suka cara pikirmu," sahut Arlan Pratama saat aku sedang mengantarnya ke depan pintu.

"Oh," balasku pendek. "Aku juga suka cara pikirmu."

Arlan Pratama hanya melempar senyum pendek, "Terima kasih, untuk makan malam dan kertas folio-nya."

"Seharusnya kamu bisa mencalonkan diri jadi ketua OSIS saat semester ganjil dulu," ucapku yang membuatnya membatu, lalu dia membalikkan kepala dengan heran.

"Ini aku lagi dipuji?" tanyanya. "Tumben."

"Kok tumben?" tanyaku heran. "Kamu nomor satu di angkatan kita. Wajar saja banyak yang memujimu, kan?"

"Enggak, maksudku, tumben kamu yang muji," sahutnya.

Aku menatapnya datar, "Jalannya lihat ke depan. Sudah, ya."

"Selamat malam-nya mana?" tanya Arlan Pratama dengan nada mengejek. Padahal dia sedang menekan passwordnya dengan serius.

"Selamat malam," balasku.

"Jangan kesel begitu, kali," celetuknya, lagi-lagi sambil tertawa.

"Makanya jangan ngeselin," jawabku. Selanjutnya, aku langsung menutup pintu.

Sedetik kemudian, rasa penyesalan langsung datang menghampiriku. Aku bergelut dengan perasaan bersalah dan pikiranku yang terus memberikanku perintah untuk membuka pintu untuk keluar lagi.

Kulirik jari kelingkingku, benang itu masih ada di sana. Namun belum terdengar suara pintu tertutup yang menandakan bahwa Arlan Pratama sudah masuk ke dalam.

Baru saja hendak membuka pintu depanku, suara pintu tertutup dari sebelah terdengar jelas.

Ah, aku melakukannya lagi.

Kupejamkan mataku dan menghela napas berat. Kurasa besok aku harus berangkat ke sekolah lebih lambat dari biasanya, agar bisa satu bus dengannya.

*

Jam makan siang tidak pernah terasa sejanggal ini. Tadi pagi aku tidak satu bus dengan Arlan Pratama, padahal aku sudah sengaja mencocokkan jam keberangkatan kami. Sepertinya dia sudah berangkat lebih dulu, atau mungkin ...

Aku berdiri dari dudukku sambil membawa bekal. Seperti biasa, aku akan makan sendirian.

Kulewati kelas 8-2 dengan langkah pelan, sambil memeriksa apakah Arlan Pratama datang atau tidak. Setelah kupikir-pikir, aku tidak pernah tahu dimana tempat duduk anak itu. Jadi sepertinya ini akan memakan waktu.

LFS 2 - Red String [END]Where stories live. Discover now