"Kita harus siap, apa pun yang terjadi sayang," aku mencoba mengingatkan dalam kekalutan. 

"Lisa lebih baik kamu diam," setelah ucapan tajam Saga aku memilih diam. Dia sedang marah, dan aku tidak mau membuatnya semakin marah.

"Maaf," sesal Saga dengan lirih beberapa menit kemudian. Namun masih belum mau berpaling padaku.

"Aku juga minta maaf. Aku berlebihan," ucapku lembut dan menatapnya. Pria itu masih terpaku dengan jalan di depannya.

"Semua akan baik-baik saja," balas Saga dan menepuk pelan tangan milikku yang tengah bertaut di atas pangkuanku tanpa menoleh, apalagi melirik.

"Hmmm," jawabku singkat. Selebihnya kami memilih diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing di sisa perjalanan menuju rumah. Hingga kami tiba di rumah pun, Saga tetap tak mengucapkan sepatah kata. Begitu dia turun dari mobil untuk menutup pagar rumah, aku juga ikut turun dan bersandar sebentar di badan mobil sambil menunggu Saga.

Aku menoleh ke samping ketika Saga berdiri di sana. Jarak kami tidak terlalu jauh, hanya beberapa langkah.

Kami hanya saling melihat dari masing-masing tempat kami berdiri dalam diam dikeheningan malam. Ekspresinya tidak bisa dibaca. Entah dia sedang sedih atau masih marah padaku.

"Ada apa?" Tanyaku ketika dia tidak juga bicara meski dari matanya aku tahu, ingin mengatakan sesuatu.

"Pre eklampsia tidak akan merubah apapun. Kita tetap orang tua bahagia yang sedang menunggu kelahiran anaknya," ucap Saga dan tersenyum.

Tangisku pecah seketika. Aku terisak hebat hingga napasku agak sesak. Pria itu mengambil langkah lebar dan memerangkap tubuhku dalam hangatnya pelukan Saga yang menenangkan. Pelukan yang selalu berhasil membuatku bisa merasa aman, cinta dan kasih sayangnya.

"Kita akan menghadapi ini bersama-sama seperti biasa. Kamu nggak akan sendirian, jadi jangan takut. Kita pernah menghadapi masalah yang berat, tapi kita berhasil melalui dengan baik," ucapnya lagi.

"Aku takut," hanya itu yang bisa aku ucapkan.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu punya Tuhan yang akan selalu membantu kamu, kamu punya saya, kamu punya keluarga, kamu punya sahabat, kamu punya dokter kandungan yang hebat. Kami semua akan selalu mendukung dan membantu kamu,"

"Terima kasih," aku terisak di dada Saga. Pelukan kami terelai dan saling menatap. Jarinya bergerak menghapus air mata yang masih saja mengalir.

"Kamu harus tetap optimis. Bayangkan saja bagaimana kehidupan kita bersama ketiga anak kita. Pasti sangat membahagiakan," Saga mengecup kedua mataku pelan. Aku mengangguk, bisa tersenyum kali ini. Tidak ada yang perlu aku takutkan jika ada Saga. Suamiku.

"Aku sayang kamu. Aku nggak akan takut, selama ada kamu di samping aku," aku tersenyum dan mengecup bibir Saga. Pria itu ikut tersenyum diantara ciuman kami. Ciuman kami terelai, kemudian saling tertawa ketika pandangan kami bertemu.

"Ayo kita masuk," Saga memeluk pinggangku erat sambil berjalan ke dalam rumah.
***
"Hei!" Marly memukul pundak Saga. Sengaja membuatnya kaget karena tatapan pria itu terlihat kosong. Saga tersentak sesaat, kemudian melanjutkan laporannya yang belum selesai.

"Ngelamun apa Lo?" Tanya Marly meski dia sudah tahu apa yang membuat pria itu resah beberapa hari ini.

"Nggak ada. Bukannya Lo ada jadwal SC?" Saga mencoba mengalihkan fokus Marly tentang dirinya.

"Udah selesai dari tadi malah. Lo aja yang banyak melamun. Pasti ini tentang Lisa dan pre eklampsianya,"

"Gue selalu bilang ke Lisa everything's fine, but, I'm the one who was worried," ujarnya terdengar mengalah dan tidak bisa menyimpan apa yang menjadi beban pikirannya seminggu ini. Lisa sudah mulai cuti lebih awal karena kondisinya. Berdiri dalam waktu lama saja dia kesulitan. Tidak mungkin dia bisa bekerja dengan normal.

Are We Getting Married Yet?जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें