Aku bersumpah demi apapun yang ada di dunia ini, keadaan ini sangat canggung untukku. Aku bukan tersinggung karena mereka tidak mengajakku berkenalan, tetapi rasanya aku tidak terlalu penting di sini dan rasanya aku benar-benar mengharapkan Arlan Pratama segera datang.
Metta berdiri, menghampiriku dan tersenyum hangat, "Namamu siapa?"
Astaga. Ini terlalu tiba-tiba.
"A-Alenna," balasku dengan suara kecil.
Aku menjabat tangan mereka satu persatu, sambil bersyukur dalam hati karena untung saja aku tidak menggigit lidahku karena terlalu terkejut tadi.
Benang merah mereka satu persatu mulai muncul. Tentu saja aku tidak bisa melihat ujungnya, karena ini masih hujan lebat dan tidak ada siapapun yang berkeliaran di jalanan pada saat seperti ini.
Semuanya terlihat berbeda saat aku berjabat tangan dan berkenalan dengan Tyara. Bukan karena tangannya yang terasa dingin karena dia memang basah kuyup. Namun karena ...
Karena benang merahnya adalah satu-satunya yang mengarah ke atas, bukan mengambang tenang seperti yang lainnya.
Ini pengalaman pertamaku melihat benang merah sejenis ini. Apakah benang merahnya Tyara sedang naik pesawat terbang saat ini?
Kucoba mengamati benang merah Tyara. Benang itu melintang ke atas dan ujungnya hilang tertutup oleh keberadaan awan gelap.
Dari ujung jalan, tiba-tiba kulihat payung merah bergerak mendekati halte. Tentu saja aku sangat familier dengan payung merah itu. Arlan Pratama yang membawa payung merah itu. Dia memakai pakaian kasual. Aku bisa merasakan bahwa semua mata di sini fokus menatap kedatangan Arlan Pratama.
Jarak semakin dekat dan akhirnya Arlan Pratama berhenti tepat di depan halte. Arlan Pratama mengangkat sebelah alisnya ke arahku, dan akhirnya membuatku langsung masuk di bawah payung itu.
"A-aku ... pulang dulu," ucapku. Saat melihat mereka menganggukan kepala mereka, aku kembali bersuara, "S-sampai bertemu lagi."
Arlan Pratama mengikutiku berjalan dan menatap ke arahku dengan agak kaget. "Temanmu?"
Aku mengangguk kecil, sebenarnya senang karena berhasil membuat teman baru secara tidak sengaja.
"Maaf ya, aku agak terlambat," ucap Arlan Pratama dengan nada menyesal.
"Tidak apa-apa, terima kasih sudah karena sudah terlambat," ucapku sungguh-sungguh. Karena kalau dia datang lebih cepat selama semenit, maka aku tidak akan mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan empat orang sekaligus.
"Tidak perlu nyindir. Aku beneran minta maaf."
"Aku nggak nyindir, kok," balasku.
Arlan Pratama menatapku datar, "Tadi mendadak mati lampu, jadi liftnya nggak jalan."
Aku langsung terbungkam, "Jadi kamu turun dengan tangga?"
"Iyalah, tidak mungkin aku lompat, kan?"
Aku memelototinya, "Tidak lucu!"
"Sudah dibilang, aku tidak sedang melucu," balas Arlan Pratama dengan nada bosan.
Aku diam saja. Memang, sejak awal aku tidak pernah suka dengan lelucon yang berhubungan dengan hal-hal seperti itu, apalagi jika Arlan Pratama yang mengatakan lelucon itu.
Arlan Pratama tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya keluar dari payung, menyentuh air hujan dalam diam. Tangan kirinya masih memegang payung dan dia juga masih berjalan.
"Kamu lagi ngapain?" tanyaku.
"Lagi megang awan," balasnya.
Baru saja aku hendak mematahkan argumennya, dia bersuara lagi, "Mereka pernah ada di tempat yang sangat tinggi dan harus jatuh karena sudah tidak ada lagi tempat untuk menampung mereka. Mereka pasti sangat sedih."
Aku terdiam, lalu ikut mengulurkan tanganku keluar dari payung.
"Tidak apa-apa, kok. Kamu tahu siklus hidrologi, kan? Mereka akan kembali jadi awan," sahutku.
Arlan Pratama menatap ke arahku.
"Mereka akan dapat tempat mereka lagi. Tidak ada yang perlu dibuat sedih, lagipula mereka mendapat pengalaman selama proses itu," ucapku.
Arlan Pratama menarik tangan kanannya, berhenti menyentuh air hujan, lalu tiba-tiba saja mengusap kepalaku, sampai membuat rambutku berantakan.
"Kamu ngapain, sih?!" tanyaku kesal, sambil menjauhkan tangannya dari kepalaku.
"Habisnya, kamu jawab kayak gitu," balasnya, tidak mau disalahkan.
"Aku kan menjawab sesuai dengan teori yang kita pelajari," ucapku ketus.
Arlan Pratama tertawa saat itu, dan itu membuatku mulai berpikir ulang.
Sepertinya aku tidak membenci senyumannya.
***TBC***
8 Mei 2019
Cindyana's Note
Halooo! Semoga ini bisa menemani sahur kalian! YEE.
Akhirnya bisa menuliskan chapter Those Rain That Passes By! Dengan begini, aku tinggal ngutang tiga Those Rain that Passes By! Hehe.
Aduh chapter ini manis sekali dong, aku sampe salting sendiri dong.
Ini lumayan panjang. 2300 kata, padahal Red String seharusnya hanya 1000 kata. Waduh overdosis kita lama-lama. Eh, bukan, diabetes maksudku wkwkwkw.
AKU TIDAK SABAR INGIN MEMPERLIHATKAN PUNCAK KONFLIK RED STRING AAAAAAA. STAY TUNE YA! Karena Those Rain udah lewat, maka waktunya buka-buka konflik! Hore!
Dan menurut kalian Red String bakal berapa chapter?
Terkadang aku mendapat mimpi buruk kalau dia lebih dari 40 chapter :')
Sebenarnya gapapa sih over 40 chapter, tapi cerita lain jadi nggak keurus. Tapi kalau memang harus 40 chapter untuk menjelaskan yang terbaik, ya berarti aku memang harus mengikhlaskan. Wkwkwkwkw.
Di Air Train, chapter 21 udah chapter terakhir dong :D
Tapi di Red String masih panjang wkwkwkw.
Cindyana H / Prythalize
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twentieth Thread - "Those Rain That Passes By"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)