"Halo?" sapaku pada suara di seberang sana. "Sudah sampai, ya?"
"Halo. Iya. Kamu lagi di mana sekarang?" tanya Arlan Pratama.
"Di bus," balasku.
"Oh. Kalau gitu aku jemput di halte, ya," ucapnya.
Kukerutkan keningku, "Enggak usah repot-repot."
"Enggak repot, kok. Lagian aku lagi nggak ngapa-ngapain," balasnya enteng.
Percakapan yang tidak asing.
Kubalas ucapannya dengan nada menyindir, "Lagi nggak ngapa-ngapain atau...?"
Aku terdiam. Oke, akan sangat memalukan kalau aku yang mengucapkannya.
Arlan Pratama menghela napas, "Gini, ya. Coba kamu lihat tanganmu."
Kulirik tangan kiriku yang memperlihatkan benang merahku. Aku agak terkejut juga, karena sebelumnya kami sudah pernah menelepon dan aku tidak pernah menyadari keberadaan benang merah itu. Mungkin yang kupikirkan selama ini tentang benang merah adalah hal yang benar. Dia benar-benar muncul jika sedang berkomunikasi denganku, secara langsung atau pun tidak.
Diam-diam, jantungku memacu dengan gelisah. Atau mungkin aku melihat keberadaannya, tetapi tidak terlalu mempedulikannya karena sudah terbiasa melihatnya?
"Nah, ada sesuatu di tanganmu?" tanya Arlan Pratama dari seberang telepon.
"Ada ben--" Kuhentikan kata-kataku karena menyadari bahwa aku nyaris salah bicara, walau kenyataannya memang benar. "Ada benda yang sedang kugunakan untuk menelepon. Memangnya kenapa?"
"Bukan itu. Kamu tidak ada payung, kan? Memangnya kamu mau kehujanan dan sakit di minggu pertama?" tanya Arlan Pratama yang mendadak terdengar seperti sedang menceritakan cerita horor kepadaku.
"Enggak mau," balasku pelan.
"Nah, makanya. Sudah sampai mana?" tanya Arlan Pratama.
"Sebentar lagi sampai halte, sih," balasku agak ragu-ragu. "Tunggu, memangnya kamu benaran mau ke sini?"
"Menurutmu? Sudah, ya. Aku bakal tinggalin HP-ku di rumah, jadi, see you there."
"See you," balasku agak canggung.
Dan sambungan telepon dimatikan.
Apa tadi sebaiknya aku menjawab "ya" saja? Atau sebaiknya aku jawab "oke"?
Kugelengkan kepalaku berulang kali. Tidak seharusnya aku memusingkan hal kecil seperti ini. Lagipula Arlan Pratama juga tidak peduli dengan apapun jawabanku.
Bus akhirnya berhenti sepenuhnya dan aku turun setelah membayar. Kurasa aku harus mengatakannya sekali lagi, bahwa aku beruntung hari ini. Tenda halte bus ini cukup baik jika dibandingkan dengan beberapa halte bus lain yang kondisinya tidak terawat. Di sini cukup lebar dan tidak akan membuatku kehujanan.
Ada tiga orang yang sudah berada di halte bus. Namun karena mereka bertiga tidak tampak tertarik untuk naik ke bus yang satu ini, bisa saja mereka hanya berteduh di sana atau mungkin menunggu bus lain yang akan mengantarkan mereka ke kota.
BẠN ĐANG ĐỌC
LFS 2 - Red String [END]
Viễn tưởng[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twentieth Thread - "Those Rain That Passes By"
Bắt đầu từ đầu
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)