Chap - 6

784 80 37
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Anis masih dengan kebingungannya. Berdiri terpanah melihat Sita pergi dengan gerak-gerik yang semakin membuatnya tak mengerti. Ia bertanya-tanya dalam hati, membendung berbagai macam pertanyaan yang mengarah pada sikap aneh sahabatnya. Seolah-olah ada hal yang disembunyikan.

Anis mengerti, terkadang seseorang membutuhkan privasi untuk urusannya sendiri, ada kalanya orang yang terlalu cemas pada dirinya sendiri atau merasa bersalah atas keadaan yang membuatnya takut, mereka harus memendam hal itu sendiri. Menahannya sendiri, menyelesaikan dengan cara mereka sendiri, dan tentu saja mereka tak akan pernah mau ada campur tangan orang lain, sekali pun itu orang terdekatnya.

Anis pernah mengalami hal yang sama seperti ini. Ketika ia dan Sita masih berumur tujuh tahun. Sita selalu bersikap ketakutan setiap kali ada luka tergores di tubuhnya saat habis bermain. Ia sampai tak berani pulang ke rumahnya.

Suatu hari, ketika mereka bermain sepeda di jalanan gang rumah, Anis tanpa sengaja menabrak seorang anak laki-laki yang sedang berlari. Anis yang saat itu baru saja mahir mengendarai sepeda setelah beberapa hari diajarkan oleh Sita benar-benar tak dapat menguasai arah laju sepedanya hingga membuat anak laki-laki itu tertabrak. Memang tidak parah, tetapi anak laki-laki itu langsung marah dan mendorong tubuh Anis hingga terjatuh.

Melihat Anis diperlakukan seperti itu, Sita langsung datang menghampiri anak laki-laki berbadan besar tersebut, menantangnya dan mencoba untuk melawannya dengan cara memukul. Namun, kenyataannya tenaga anak laki-laki itu lebih kuat, hanya dengan menolak tubuh Sita saja sudah membuat Sita jatuh tersungkur ke tanah. Alhasil siku tangannya pun berdarah. Dan anak laki-laki itu langsung melarikan diri.

Sita pun meringis pedih dan menangis. Sedangkan Anis berusaha untuk membuat darah itu berhenti mengalir dan menenangkannya, membantunya untuk pulang ke rumah. Tapi yang ada tangisan Sita malah semakin kuat, ia takut untuk pulang. Ia tak mau pulang dengan luka seperti itu, ia tahu ibunya pasti akan memarahinya. Anis tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan selain memaksa Sita untuk pulang, barangkali dengan begitu ibunya bisa mengobati lukanya dan membuatnya berhenti menangis. Akhirnya, Sita pun menurut. Anis mengantarkannya pulang, meskipun dengan susah payah dan harus memaksa.

Sesampainya mereka di rumah Sita, Anis mencoba menceritakan hal yang sebenarnya pada Sandra, mamanya Sita. Kemudian ia pun disuruh kembali ke rumahnya dengan alasan ibunya akan mengobati luka Sita. Anis memang pergi dari hadapan Sita dan ibunya, tapi ia tak mau pergi dari rumah itu. Ia pun bersembunyi di bawah jendela, mendengarkan kata-kata Sandra yang melarang Sita untuk bermain sepeda di luar, apalagi jika harus berkelahi dengan anak laki-laki. Setiap omelan yang dikeluarkan ibunya selalu dibantah oleh Sita, mengatakan bahwa itu bukanlah kesalahan Anis hingga menyebabkan ia jadi terluka seperti itu. Anis mendengar jeritan kesedihan Sita, ia mendengar ratapan perih Sita, dan ia mendengar pembelaan seorang sahabat yang sangat baik hati meskipun tubuhnya terluka. Di saat itu juga Anis merasakan kepedihan yang sama, ia pun menangis meringkuk dalam persembunyiannya. Dan di saat itu juga ia pun mengerti, mungkin itulah alasan mengapa Sita tidak mau pulang ke rumahnya. Ia takut ibunya melarangnya bermain dengan Anis lagi.

Dan kini, Anis tak ingin tinggal diam menunggu kabar datang dari Sita. Ia lebih memilih untuk mendatangi Sita di rumahnya. Dengan langkah cepat, Anis menelusuri setiap daratan yang tampak tak rata. Menyebrangi jalan sepi lantas membuka pintu pagar rumah megah tersebut. Ketika Anis masuk dan mendapati Sandra duduk di sofa sambil menonton acara gosip selebriti di TV, ia bertanya di mana Sita. Dan ketika ia mendapat jawaban bahwa Sita ada di kamarnya, Anis langsung menaiki anak tangga itu satu per satu menuju lantai dua rumah.

Sesampainya di depan pintu kamar bercat putih tersebut, Anis memutar kenop pintu dan mendapati―tak ada siapa-siapa di dalam sana. Kecuali tas Hermes milik Sita yang tadi ia sandang tergeletak di atas kasur, baju-baju yang masih terlipat tergeletak tak teratur di atas kasur juga, sepatu heels-nya yang tercerai-berai, juga sebuah koper setengah terbuka di samping lemari pakaiannya yang menganga lebar. Anis mencoba memanggil Sita dengan suara setengah pelan, barangkali ia ada di dalam kamar mandi. Ia mendekati pintu kamar mandi itu, suara air yang mengalir dari keran terdengar deras.

"Sita!" Sekali lagi Anis memanggil, sayangnya tetap tak ada jawaban.

Ia semakin bingung, semakin cemas. Maka dengan gerakan pelan, Anis membuka pintu kamar mandi yang tak terkunci itu. Kali ini, ia juga tidak menemukan Sita di sana.

Anis mendesahkan napas kesal, hal seperti ini semakin membuatnya tidak tenang. Melihat keran air itu masih mengalirkan air dengan deras hingga ember meluber, Anis menghentikannya, memutar keran tersebut hingga suara berisik air kini tiada lagi. Sesaat bola matanya mengarah pada kloset duduk yang tertutup di sebelah ember air. Sesuatu yang membuat matanya sekejap mendelik, dan tanpa ragu tanganya langsung meraih benda tersebut. Ada dua alat tes kehamilan di tangannya, Anis terdiam hampir tak bisa bernapas tatkala melihat kedua alat itu sama-sama menunjukkan tanda positif.

Tangan Anis hampir tak bisa bergerak, ia tak percaya dengan apa yang ia dapati saat ini. Kenapa hal ini harus terjadi untuk yang kedua kalinya pada Sita, ia ingat Sita pernah berjanji untuk tidak akan melakukan perbuatan keji itu lagi pada pria mana pun. Ia butuh keterangan, apa saja yang dapat menjelaskan semua ini.

Hingga ketika Sita akhirnya muncul di depan pintu kamar mandi dan terkejut melihat benda rahasianya diketahui oleh Anis, ia pun pucat pasi.

Anis menengadahkan wajahnya, bertanya dengan nada menghakimi. "Sita? Kamu hamil?"

***

Dengan cara apa pun Anis memaksa, kali ini Sita berusaha untuk tidak menurut. Ia memang pernah berjanji agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi padanya, tapi semua ini telah berlaku di luar kesadarannya. Ia menjerit ketika baru mengetahui bahwa ia positif hamil, bahwa mual-mual yang tadi ia alami di rumah Anis adalah karena ada janin di dalam rahimnya. Di saat itu juga ia ingin bunuh diri agar tak ada satu pun dari orang-orang terdekatnya tahu, atau pergi dari kehidupan mereka. Itu sebabnya ia memutuskan untuk memasukkan baju-bajunya ke dalam koper dan secepat mungkin pergi.

"Katakan padaku siapa yang harus bertanggung jawab atas kehamilan kamu, Ta!" Sita tetap diam, sama sekali tak ada suara yang keluar dari mulutnya selain isakan tangis dari tenggorokan yang tercekat itu saat Anis memaksanya mengaku.

Salah satu orang yang tidak boleh mengetahui kehamilannya adalah Anis, tapi kenapa justru dia menjadi orang pertama yang tahu akan hal itu. Di sudut dinding putih kamarnya, Sita meringkuk, melipat lutut sambil menangis atas kesesalan yang telah terjadi. Tatapan mata yang menguat padanya itu seolah menjadi tipukan keras yang menghantam jiwanya.

"Kamu diam?" Itu adalah suara bentakan keras pertama yang pernah Sita dengar dari mulut Anis. Dan tubuh yang berdiri tegak itu seolah menghakiminya dengan cara yang tak pernah Sita sukai. "Apa kamu lebih memilih diam daripada mengakui kebodohan kamu sendiri?"

Sita masih tidak mau bicara.

"Tetap diam?" Anis memangguk kecil tanda kesal. "Okey! Aku minta jawaban dari kamu, tapi kamu tetap nggak mau ngomong. Aku yang akan cari tahu sendiri jawabannya!" Ia langsung menghela pergi meninggalkan Sita sendiri meringkuk di sudut dinding itu, tapi Sita tak membiarkan itu.

Setidaknya, ia harus mengatakan sesuatu kepada Anis, meskipun sangat menyakitkan bagi dirinya sendiri. "Tunggu, Nis," panggilnya ketika hendak meraih bahu gadis itu untuk mendengarkan pengakuannya. "Levin!" Astaga! Sita sendiri hampir tak percaya mengatakan nama itu. "Levin yang melakukannya."

Ia tahu reaksi apa yang akan dimunculkan dari wajah Anis. Kerutan tajam, amarah yang tampak menggumpal di hatinya dan―keinginan untuk memberi perhitungan pada nama yang Sita sebutkan tadi. Namun entah kenapa tak ada kalimat apa-apa dari Anis. Ia malah mengambil tindakan untuk membawa Sita kabur dari kamarnya dengan paksa kemudian menyetop sebuah taksi. Sita tahu Anis akan melakukan hal ini, ia sudah berusaha untuk menahan diri, menurutnya lebih baik ia menyelesaikan masalahnya itu sendiri.

Akan tetapi tampaknya usaha untuk tidak membiarkan Anis pergi membawanya telah gagal.

Cinta Butuh JeraWhere stories live. Discover now