Monokrom - 18 - Mangkokmu dan Aku

Start from the beginning
                                    

Netta berjalan dengan tergesa dari parkiran menuju kelas. Cuaca hari ini sangat panas. Awan seolah enggan memberi perlindungan dari kejamnya sinar matahari pukul sebelas kurang.

Kelas sudah dipadati mahasiswa. Beberapa tampak panik masih berusaha mengerjakan tugas Nirmana yang sebentar lagi selesai. Beberapa justru mengobrol santai di kursi masing-masing.

Netta bergerak ke kursi biasanya. Ray dan Aru tampak sudah santai mencorat-coret buku sketsa masing-masing. Gadis itu selalu takjub. Kedua pemuda itu tak pernah membiarkan waktu tersia-sia begitu saja. Jika ada kesempatan, mereka akan membaca atau mencorat-coret apa pun di atas buku sketsa ukuran A5 yang selalu dibawa ke mana pun. Sedikitnya, ada rasa iri terselip di dada.

Ah, kenapa harus iri? Bukankah keduanya memiliki kemampuan seperti sekarang karena kerja keras mereka sendiri? Berapa jam yang dihabiskan dalam sehari untuk menggambar dan memperbaiki diri? Kini, mereka tinggal memetik hasilnya.

Mengingat itu, Netta menjadi lebih bersemangat. Dia berjanji akan berjuang lebih keras lagi untuk menyusul ketertinggalannya.

"Wow! Bokap udah percaya sama kemampuan lo!" Ray berseru riang ketika Netta menceritakan tugas dari Papa. Ruangan kelas masih juga ramai karena dosen tak kunjung tiba meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Maka ketiganya masih melanjutkan obrolan dengan santai.

Netta ternyata mengurungkan niat untuk meminta bantuan dari keduanya. Dia hanya meminta doa agar proses desainnya berjalan dengan lancar. Jika bisa, ia akan menyelesaikan semuanya sendirian.

"Kamu sudah ada konsepnya?" Aru mengeluarkan buku catatan mungilnya ke atas meja. Notes yang sering Netta lihat sebagai buku penyimpan doodle-doodle ide dan catatan acak sepanjang kuliah.

Netta memperlihatkan flyer lama milik Mama di gawainya. "Aku harus ngerombak ini. Hanya aja, kepenginnya, sih, warnanya jadi bernuansa hitam-emas. Soalnya target marketnya orang-orang menengah ke atas."

Aru mengangguk-angguk sembari mencorat-coret sesuatu di atas notes mininya. "Kalau sudah punya konsep dasar begitu lebih mudah. Bagus malah. Sudah mulai kumpul moodboard-nya?"

Netta menggeleng. "Baru semalam kan Papa minta tolongnya. Ini aja masih ngambang mau remake logo apa enggak." Pandangan perempuan itu menerawang sejenak.

"Satu-satu aja. Moodboard dulu, lalu pikirin cocok nggak logonya. Kalau cocok, ya, lanjut, kalau enggak, ya, re-branding. Setelah itu baru, deh, kita mikirin soal iklan-iklannya." Kali ini Aru memgeluarkan gawainya dan mulai mengetikkan sesuatu.

"Oh, gue punya beberapa koleksi gambar untuk moodboard di komputer kos."

Tiba-tiba salah seorang pengurus kelas mengetuk papan tulis beberapa kali. Semua mata langsung tertuju padanya. "Dosennya ada masalah mendadak hingga kelas diundur lusa. Buat yang belum kelar bikin tugas nirmana, bisa ngelanjutin lagi, tuh!" Perempuan dengan rambut diekor kuda itu terkikik lega. "Sekarang boleh pulaaang!"

Sorak-sorai langsung terdengar di penjuru kelas. Semua langsung bergegas menyiapkan tas dan pulang.

Netta berdecak kecewa. Mau bagaimanapun, dia sudah sangat siap untuk mengumpulkan tugas. Menunda dua hari rasanya menyebalkan. Harusnya dia bisa lebih santai lagi dalam menegaskan tepian gambar karena tenggat masih lama. Namun, ia tak boleh egois. Toh, banyak juga teman-temannya belum selesai. Lagi pula, bukankah dia juga bisa selesai berkat keberadaan Ray?

"So, mau ke kosan gue? Ntar, gue kasih lihat koleksi moodboard." Ray mencangklong tasnya dan bangkit berdiri sembari memainkan alis tebalnya naik-turun.

"Kurasa itu bisa menghemat waktu, daripada kamu mencari sendiri." Aru memasukkan peralatan tulisannya ke tas. "Aku rasa kepekaan Ray dalam warna juga cukup terasah. Apalagi dia komikus, kan? Untuk membuat karakter, beberapa komikus menggunakan moodboard sebelum mendesain."

END Monokrom x Akankah Asa Terhalang Warna?Where stories live. Discover now