Monokrom - 17 - Inikah Namanya Cinta?

Start from the beginning
                                    

Papa pun membiarkannya dan kembali melanjutkan makan malamnya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tak lama. Tepat ketika Papa selesai menghabiskan tetes air terakhir, ia kembali berujar, "Jadi, Papa masih penasaran. Kamu pilih Ray apa Aru?"

Kali ini Netta berhasil menahan dirinya agar tidak tersedak kembali. "Aduh, Pa, kami nggak pacaran! Kami Three Musketeers yang tak terpisahkan. TRIO! Bukan pacaran! Nggak percaya amat, sih!" gerutunya.

Pria paruh baya itu mengangguk-angguk. "Papa percaya, kamu belum pacaran dengan salah satu dari mereka."

"Siiiip ...." Netta menyandarkan punggungnya ke kursi dengan lega.

"Apa perlu Papa aja yang pilihin?"

"PAPAAAAAAAAAAAAAAA!!"

Tawa Papa meledak hingga bahunya berguncang. Netta hanya bisa mengembuskan napas pasrah melihat bagaimana Papa menggodanya habis-habisan.

"Papa beneran udah nggak marah lagi sama Ray?" takut-takut Netta memberanikan diri untuk bertanya.

Papa memiringkan kepalanya sedikit. Berusaha mengamati ekspresi anaknya yang masih dirundung khawatir. "Hei, justru Papa pengin minta nomor telepon dia."

Alis Netta naik ke atas tanpa sadar.

"Papa mau minta maaf." Pria paruh baya itu melengkungkan bibirnya ke atas. Ia menanti reaksi putrinya yang hanya mampu membuka mulut dan lupa menutupnya kembali.

Sejenak ada kekehan kecil Papa yang menyentak Netta untuk kembali tersadar dari kagetnya. "Papa udah salah paham. Papa cuma khawatir anak kesayangan Papa hilang. Kamu kan tahu banyak penculikan akhir- akhir ini. Namun, sekhawatir apa pun, selama kamu sudah kembali, harusnya Papa bisa berpikir lebih jernih."

Netta merasakan kesejukan mengalir dalam batinnya. "Terima kasih."

Kali ini giliran Papa yang terbeliak kaget. "Untuk?"

"Untuk mencintai Netta sepenuh hati, selalu mengkhawatirkan Netta, dan menjaga Netta sampai kapan pun." Netta tiba-tiba bangkit dan memeluk papanya yang masih terduduk.

Sejenak Papa mematung menerima kehangatan yang kini mendekapnya. Anak gadisnya sudah begini dewasa, ia merasa bersyukur memiliki Netta yang begitu mencintainya dengan tulus. Menemaninya menghadapi pahitnya kehilangan istri tercinta bertahun silam. Tangan Papa pun terulur dan membalas dekapan hangat Netta penuh kasih.

"Terima kasih sudah mengerti kalau Ray bukan orang jahat. Makasih udah mau dengerin penjelasan Aru. Papa memang terbaeeeek!" Netta mempererat dekapannya. "Ray nggak marah kok sama Papa. Netta yakin!"

Papa membelai kepala Netta sebelum akhirnya gadis itu melepaskan dekapannya dan kembali duduk di kursi.

"Eh, tapi 0apa serius. Kamu tinggal pilih. Dua calon itu kayaknya ideal dijadikan suami."

"Udah, ah, Pa! Capek bercandanya itu mulu." Netta merengut.

Kali ini Papa menyerah. "Ya udah, kita tunda pembicaraan soal ini."

Netta mengembuskan napas lega.

"Omong-omong, kamu kayaknya udah bagus di DKV. Udah bisa dimintai tolong, nih?" Papa memberikan isyarat dengan kepala agar Netta mengikutinya ke ruang kerja.

💖💖💖

Di kamar berukuran 3 x 3 meter itu, Papa mempersilakan Netta duduk di kursi bersandaran empuk di depan meja jati berpelitur halus.

"Papa mau bikin promo umroh plus travel ke Turki, nih." Papa mengeluarkan sebuah album tebal berisi kumpulan flyer yang pernah dibuat almarhum Mama. Sejenak ia membalik-balik sebelum akhirnya menemukan yang dicari.

END Monokrom x Akankah Asa Terhalang Warna?Where stories live. Discover now