Daseot

1K 240 47
                                    

Risa POV

Hujan turun pagi ini. Seolah menjadi pelengkap atas perasaanku yang berkecamuk namun didominasi oleh perasaan sedih bercampur marah yang berujung sesak.

Tak selangkahpun aku keluar dari kamar sebelum hari mulai gelap. Pagi, siang dan sore hanya aku habiskan dengan duduk menatap keluar jendela sampai mataku sembab karena terlalu banyak menitikan air mata—menangisi sesuatu yang padahal tak akan pernah berubah tak peduli sebanyak apapun aku menangisinya.

Aku keluar dari kamar saat hari telah gelap yang artinya malam telah tiba. Dengan atasan hitam berlengan panjang dan rok hitam selutut.

Di waktu yang sama dengan saat aku membuka pintu kamar, Kak Doyoung membuka pintu kamarnya. Kami saling menatap dalam hening. Dia terpaku waktu melihat pakaian serba hitam yang aku kenakan.

Sebelum dia mengajakku bicara, aku melangkah pergi.

Sesuai rencana, tempat pertama yang aku tuju adalah toko bunga. Kupesan 10 tangkai krisan putih sebelum melanjutkan perjalanan menuju suatu tempat.

Aku berhenti di sebuah persimpangan jalan. Mendudukkan diri di tepi jalan, lalu meletakkan krisan-krisan yang kubawa tepat di sampingku.

Mataku menatap ke tengah jalan, namun hanya sesaat. Karena langsung terpejam bersamaan dengan sesak yang memuncak, begitu teringat detik-detik saat kulihat seorang gadis tergeletak dengan darah bercucuran di sana 4 tahun lalu, juga saat seorang laki-laki terduduk merengkuh jasad gadis itu sambil menangis histeris.

Bulir-bulir air jatuh bertubi-tubi membasahi pipiku. Aku hanya bisa menangis pilu tiap kali datang ke sini. Menangisi kepergian gadis cantik yang wajahnya tak pernah aku lupakan selama 4 tahun terakhir dan menangisi berbagai hal yang harus aku tanggung setelah kepergiannya.

Tak pernah lupa aku menyempatkan untuk berdoa dengan sepenuh hati, agar gadis cantik itu pergi ke tempat yang jauh lebih baik dari dunia kejam yang dihuni oleh orang-orang brengsek seperti keluargaku.

Aku bangkit setelah duduk selama lebih dari satu jam di tepi jalan itu. Tanpa memedulikan apa yang dipikirkan orang-orang yang melihatku duduk termenung dan menangis sendirian di sana.

Saat kembali ke rumah aku merasa begitu pusing. Pasti karena terlalu banyak menangis sejak pagi.

"Risa, sapa Kakek dulu sini."

Papa bersuara dari sofa, waktu aku datang. Di sana ada Kakek yang sayup-sayup kudengar sedang membanggakan cucu kesayangannya-Kim Doyoung.

Aku menurut. Mendekat ke hadapan beliau, lalu membungkuk untuk menyapa. Walau aku tau Kakek hanya akan menatap sinis padaku seperti biasanya.

"Anak perempuan bisanya keluyuran setiap hari, senang-senang, sampai kebiasaan pulang malam. Apa gak ada sedikitpun kamu merasa gak enak pada kakakmu ini? Yang siang malam belajar, bekerja keras untuk membanggakan kami. Gak seperti kamu, yang taunya hanya bersenang-senang saja. Pacaran terus ya kamu?" tanya Kakek. Nada bicaranya selalu dingin tiap kali bicara padaku.

Mendengar pertanyaan beliau, aku jadi merasa takut. Jangan-jangan selama ini beliau memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengawasiku.

"Engga, Kakek." Aku menjawab sambil menunduk.

"Terus dari mana kamu sampai baru pulang ke rumah malam-malam begini?" Kakek bertanya lagi.

Kali ini kuberanikan diri menatap sepasang mata tajam milik beliau. "Dari tempat di mana aku menabrak seorang gadis sampai kehilangan nyawa 4 tahun lalu," jawabku memberanikan diri untuk mengatakannya dengan nada bicara yang begitu dingin.

Tatapanku teralih pada Kak Doyoung yang matanya berkaca-kaca begitu mendengar jawabanku.

Kuamati raut wajah Mama dan Papa yang berubah panik, antara khawatir dan merasa takut. Mereka menatap takut-takut ke arah Kakek. Sedangkan Kakekku yang begitu terpandang itu seperti berusaha mengendalikan ekspresinya setelah mendengar jawabanku.

Beliau langsung bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dengan dengan raut wajah kesal. Mama dan Papa terburu-buru mengekori beliau.

Aku tak berlama-lama berdiri diam, tentunya kulangkahkan kaki menuju kamar. Walau tak berbalik aku bisa mendengar saat Kak Doyoung beranjak dari sofa dan berjalan mengekori aku.

"Risa ..." Dia menahan lenganku, menarikku perlahan untuk berbalik menghadapnya, "berhenti datang ke sana," ucapnya dengan mata berair. Dia jelas tau bahwa aku selalu datang ke sana pada tanggal ini di setiap tahunnya.

Dengan kasar aku melepaskan lenganku dari genggamannya. "Pikir sebelum bicara! Pantas atau engga Kakak bicara kaya gitu?" tanyaku marah sekali.

Dia tak bisa berkata-kata.

"Gimana kalau aku yang ada di posisi dia?!" tanyaku lagi.

Air matanya luruh di saat yang sama dengan air mataku.

"Cuma hari ini aku bisa luangin waktu untuk datang mendoakan dia. Sementara di hari-hari lainnya dalam setiap tahun? Aku selalu berharap 4 tahun lalu aku yang tergeletak di sana dalam keadaan berlumuran darah dan akhirnya kehilangan nyawa!"

Aku masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu. Sama sekali tak kuhiraukan Kak Doyoung yang menangis tersedu-sedu di tempatnya berdiri.

Karena aku pun sama. Aku menangis meluapkan segala macam perasaan dalam dada yang tak pernah bisa aku ungkapkan dengan cara lain selain menangis pilu.

Gadis cantik itu ... aku selalu teringat dia. Mungkin dia punya kehidupan yang sempurna dan menjalani hari-hari yang penuh kebahagiaan sebelum kejadian nahas 4 tahun lalu merenggut nyawanya. Kenapa bukan aku yang tertabrak malam itu? Kenapa harus gadis cantik itu?



















Note: Umur Doyoung di sini 7 tahun lebih tua dari Risa ya~

Fiance || Kim Seunghun✔Where stories live. Discover now