Set

1.1K 258 94
                                    

Risa POV

Berjalan di tengah keramaian, mengekori kedua orang tuaku menyapa para tamu undangan, rasanya masih begitu tak nyaman.

Ada banyak mata, yang melirik sinis padaku, dibalik senyuman palsu yang mereka sunggingkan. Tak sedikit, orang yang masih berbisik-bisik sambil melirik sinis padaku, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu.

Sebaris ucapan salah satu tamu undangan sayup-sayup sampai ke telingaku.

"Dia, kan, cucu Presdir Kim yang beberapa tahun lalu menabrak seorang gadis sampai meninggal di tempat?"

Orang terpandang yang biasa orang-orang sebut Presdir Kim adalah kakekku—dari pihak Papa.

"Itu dia, si pembunuh."

Tanganku gemetar begitu mendengar bisikan itu.

"Liat, bahkan setelah menabrak seseorang sampai kehilangan nyawa gara-gara dia mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk, dia masih sepercaya diri itu menampakkan diri di hadapan orang-orang."

"Dia bahkan bebas dari hukuman."

"Dia pasti memanfaatkan kekuasaan kakeknya."

"Gak tau malu."

Air mataku serasa akan segera luruh mendengar semua perkataan itu.

"Kami? Seperti biasa, kabar kami baik. Doyoung masih belajar menjalankan tugasnya sebagai penerus di K-corp. Sedangkan Risa sebentar lagi lulus. Dia mahasiswi semester akhir."

"Kami akan sangat senang jika bisa menikahkan putra kami dengan putri kalian," ucap seorang wanita paruh baya dengan penampilan amat berkelas yang sejak tadi mengajak orang tuaku bicara. Dia tersenyum seraya menatapku.

Senyumnya palsu.
Tentu aku tau, karena ada kesinisan dari sorot matanya waktu menatapku.

Mungkin seluruh tamu undangan yang hadir dalam acara ulang tahun perusahaan Kakekku telah mengetahui julukanku—Si Pembunuh.

"Mungkin satu atau dua tahun lagi putri kami akan menikah. Dia telah memiliki pasangan," ucap Mama sedikit berbisik, lalu tertawa bersama wanita paruh baya tadi.

"Saya masih tidak menyangka Risa sudah sedewasa ini," ucap seorang laki-laki seumuran Papa.

Aku bahkan tak mengenal siapa dia. Mungkin salah satu rekan bisnis Papa atau Kakek.

"Di mata saya, dia masih tetap anak kecil." Papa setengah berbalik menatapku yang berdiri tepat di belakang Mama. Tangan kanannya terulur membelai pipiku. Gelak tawanya bersahutan dengan tawa laki-laki tadi dan juga Mama.

"Sepatunya diganti aja kalau gak nyaman. Mau minta pelayan bawain sepatu yang lain?"

Aku menoleh sekilas, menatap Kak Doyoung yang berdiri tepat di sampingku. Entah bagaimana dia menyadari bahwa aku merasa tak nyaman dengan heels yang aku pakai.

Sekilas, keluarga kami memang sempurna.
Orang tua yang hangat dan penyayang, seorang kakak yang perhatian, dan aku yang beruntung karena paling banyak menerima kasih sayang ataupun perhatian dan mereka.

Tapi aku ... benci mereka setengah mati.

Aku memutuskan untuk pamit duluan sebelum acara berakhir.

Sambil menenteng heels yang rasanya ingin aku lempar ke tempat sampah karena benar-benar tak nyaman untuk dipakai, aku berjalan tanpa alas kaki menuju halte terdekat.

Malam ini jalanan tak begitu ramai. Di halte pun hanya ada aku seorang. Sebelum duduk, kujatuhkan heels begitu saja.

'... Si pembunuh.'

'Gak tau malu.'

Ucapan orang-orang yang menatapku sinis di acara tadi, terus terngiang di telingaku. Dadaku bergemuruh, batinku ingin berteriak tapi tak diizinkan. Memikirkan ... sebegitu buruknya aku di mata orang-orang.

"Gak baik perempuan cantik ngelamun sendirian di halte."

Suara itu menyadarkanku.
Suara laki-laki manis yang sukses membuat kedua sudut bibirku tertarik ke atas.

Aku mendongak, lalu tersenyum menatap wajah manisnya. Dia berdiri tepat di hadapanku. Dia ... kekasihku—Kim Seunghun. Hampir genap satu tahun kami menjalin hubungan asmara.

"Kamu kok ada di mana-mana sih?" tanyaku diikuti kekehanku sendiri, mengingat tak jarang dia datang saat aku duduk diam sendirian di suatu tempat dalam keadaan perasaanku kacau.

"Jangan heran, aku bisa tau kamu ada di mana aja setiap saat," ujarnya.

Aku tertawa kecil, "Kok bisa?"

"Ikatan batin?" sahutnya seraya menaikkan kedua alisnya, aku tergelak lagi. Dia menarik tanganku, sampai aku berdiri berhadapan dengannya.

Dia memelukku cukup erat. "Ngelamun mikirin apa sih?" tanyanya.

Aku menggeleng dalam pelukannya, "Cuma ngerasa muak, pengen pergi jauh dari sini." Selama ini, tak jarang aku mengatakan ingin pergi jauh dari sini karena muak dengan keluargaku. Walau aku sama sekali tak bisa memberitahu Seunghun lebih dalam, tentang apa yang sebenarnya membuatku merasa muak dengan mereka—padahal mereka begitu baik padaku.

Dia melonggarkan pelukannya, menatap kedua mataku lekat-lekat sebelum mendekatkan bibirnya ke telingaku, "Lusa aku ulang tahun," bisiknya. Seolah mengingatkan bahwa lusa usianya tepat 27 tahun dan juga rencananya untuk menikah begitu menginjak usia itu.

"Mau kado apa?" tanyaku, selalu tak bisa untuk tidak tersenyum tiap kali menatap wajahnya.

Dia menggeleng dengan wajah menggemaskan, sebelum mendekatkan bibirnya pada telingaku lagi. "Lusa, aku punya kejutan buat kamu," bisiknya lagi. Jantungku berdebar tak karuan dibuatnya.

Memikirkan, kejutan macam apa yang akan dia berikan lusa nanti? Mengingat apa rencananya saat menginjak usia 27 tahun.

Seketika aku membayangkan, menikah dengan dia setelah kuliahku selesai beberapa bulan lagi dan dia telah menginjak usia 27 tahun. Lalu dia akan membawaku pergi jauh dari sini, membawaku agar terlepas sepenuhnya dari keluarga terpandang yang selalu membuatku merasa sesak.

Lalu aku akan memulai sebuah kehidupan baru yang penuh kebahagiaan bersama dia.















Haihai~
Fyi, Kim Doyoung yang jadi kakaknya Risa di sini adalah Doyoung NCT yaa^^
Jangan lupa vote dan komen😉

Fiance || Kim Seunghun✔Where stories live. Discover now