十七

11K 1.9K 71
                                    

Sabtu ini aku jadikan kesempatan membereskan kerja sebelum pulang ke rumah Mama Fenita dan Bapak Syarif Hidayatullah esok hari. Kangen banget menginjak Kemayoran setelah berjibaku bersama hewan peliharaan Keita slash anak-anak majikanku. Keita membantuku memeriksa gudang pangan hewan-hewannya. Dia mencatat setiap pangan yang perlu dibeli, membedakannya dalam dua klasifikasi yaitu 'sagara beli' dan 'nanti nanti bolreh beli'. Aku terbahak saat mengintip buku catatan kecilnya. Keita menghentikan kegiatannya mencatat dan melempar tatapan nggak suka.

"Ada apa?" Tanyanya agak kesal.

"Itu loh," telunjukku teracung ke buku kecil hitamnya yang membosankan, "kamu salah nulis. Ampun deh."

Keita memperhatikan buku berbahan kertas kuning itu dengan alis bertaut. Kemudian balik mengajukan pertanyaan, "Apa yang salah?"

"Sini." Aku merebut buku dan pulpennya. "Ini bukan ditulis 'sagara beli', tapi 'segera beli'. Terus yang ini 'nanti nanti bolreh beli' apa maksudnya?"

"Nanti nanti bolreh beli," jawab Keita dalam suara mantap nan pede.

"Salah, Kei. Walo kami ngerti maksud kamu, tetap aja aneh kedengerannya. Boleh. Ini harusnya boleh. Bukan bolreh. Kamu lupa ya?"

Keita meringis, lalu tertawa malu-malu. "Bahasa kamu susah diingat," akunya.

"Latihan aja yang sering. Itu gunanya Kilau Odelia di sini, Om."

"Om?"

"Om itu Paman."

"Saya... Om?" Keita yang tampangnya masih unyu menunjuk dirinya diikuti tampang plongo menggemaskan. Duh, aku akan kena petisi dari kaum Hawa penyuka cowok kiyut Asia Timur kalau berani menyebut Keita Om-Om.

"Memangnya berapa umur kamu?" Tanyaku yang membuka kesempatan bongkar identitas Keita. Katanya orang Jepang kurang suka berbagi hal personal ke orang asing, mengingat Keita sudah pernah sebut underpant dalam obrolan kami rasanya aku pede kalau posisiku sudah bergeser dari label orang baru kenal.

"Umur saya 26 tahun. Tanggal lahir enam Juli. Warga negara Jepang. Mau tahu apa lagi?" Respons Keita yang enerjik malah membuat latar belakang badanku mendadak mendung. Sepertinya nggak semua orang Jepang menjaga informasi pribadi mereka sebegitu ketat.

"Punya pacar?" Tembakku yang terpancing pada keterbukaan Keita.

Bibir Keita mengerucut dan tatapannya intens ke arahku. Aku nggak merasa pertanyaanku salah, tapi sikapnya mendadak berubah.

"Kamu mau tahu, ya?" Tanyanya hati-hati.

"Random question," balasku acuh tak acuh.

"Sou ka na. Um." Keita bergumam yang nggak aku pahami secuil pun.

"Kalo nggak jawab nggak apa-apa."

"Apa kamu punya pacar?" Tanya balik Keita mendadak.

"Pengen tahu banget?" Godaku.

"Pengen itu apa?"

Yaelah, ngobrol susah dapat klik kalau dikit-dikit Keita gagal paham.

"Pengen itu ingin. Ingin itu mau. Anda paham, Om Keita?"

Bukannya tersentil dipanggil Om, Keita malah terbahak. "Siapa pasangan om?" Tanyanya usai puas tertawa.

"Tante."

"Kamu Tante Odie."

"Om Keita!"

"Tante Odie!"

"Kei, stop! Jadi kamu punya pacar?"

"Tante Odie punya pacar?"

"Jawab aku dulu."

"Jawab aku dulu."

GabbleDove le storie prendono vita. Scoprilo ora