14.1K 2K 33
                                    

Jantung berdebar itu biasa diakibatkan jatuh cinta. Ada juga karena kebanyakan olahraga. Saat ini jantungku berdebar. Alasannya baru bagiku. Rasa-rasanya bukan cuma jantung yang berdebar, napas pun ikut sesak, dan aliran darah ke otak tersumbat.

"Streamlining? Kenapa?" Tanyaku nggak percaya.

"Perusahaan kita diakuisisi sama Torrent. Management diambil mereka. Gue juga nggak paham detailnya, yang gue dengar mereka mau mengurangi karyawan untuk low budget," jawab Frankie.

"Gue mau habis kontrak beberapa bulan lagi. Gue bisa jadi masuk ke dalam list mereka nih," kataku getir. Aku menantikan kontrakku habis dan beralih status menjadi karyawan tetap. Bayangkan saja apa yang ditunggu lama, ujungnya nggak jelas. Dibawa ombang-ambing di atas takdir alam.

"Jangan pesimis. Performa lo bagus. Resepsionis plus plus pasti diperhitungkan untuk stay longer."

"Wanjay plus plus. Lo kira gue karyawan apaan?"

"Plus OG kalo kepepet si Gito lelet. Plus sekretaris direktur kalo sekretarisnya nggak masuk. Plus notulen rapat juga. Plus HR input absen. Kadang lo bantu procurement, kan? Kurang plus plus apa skill lo?" Frankie adalah satu dari segelintir karyawan yang pernah mencak-mencak karena aku dioper ke sana ke sini demi memenuhi kekosongan struktur. Aku sendiri woles. Namanya kerja, ya mematuhi atasan. Kecuali permintaannya di luar kebutuhan perusahaan. Aku sih NO. Kerja itu bukan sekedar kirim laporan ke atasan dan terima gaji. Ada loyalitas di dalamnya. Bagaimana kita menerima keberadaan kita dalam perusahaan, sebagaimana perusahaan menerima kita bekerja di dalamnya. Kecuali, kamu tipe itung-itungan. Yang capek dikit mengeluhkan nasib. Aku bercuap panjang pun belum tentu dipahami.

"Makasih udah mencoba menenangkan gue," ucapku tulus. Kami mengalihkan pembicaraan pada topik lain. Melupakan sejenak streamlining yang berembus. Acara makan mi ayam berlanjut ke es campur dan ditutup cimol. Bekerja di Jakarta belum sah sebelum ngemil cilok berbumbu kacang. Frankie mengajakku makan pentol pedas, sayang abang yang biasa mangkal sedang nggak berjualan.

"Keita gimana?" Frankie bertanya seperti baru melihat setan. Dia sepertinya baru ingat membahas hal ini setelah menyebarkan gosip ke seisi kantor.

"Nggak tahu."

"Gimana bisa nggak tahu?" Tanya Frankie sewot. Aku hanya lirik sebentar sebelum menusuk satu cilok montok yang menggoda. Makan di trotoar Jekardah dengan lalu lintasnya yang ruarr binasa memang penuh seni. Kadang rasanya tersusupi bau oli tengik, atau ketika mengunyah ada klakson yang mengejutkan lalu lidah tergigit.

"Terakhir ketemu ya di FX itu. Memang lo maunya gimana?" Aku dan Frankie belum berkesempatan berbagi cerita. Kami digempur pekerjaan. Dokumen dan barang masuk yang aku terima waktu itu ternyata salah satu pertanda perusahaan kami memasuki peralihan menejemen. Frankie pun sama. Dia dan segenap prajurit marketing harus meeting ini itu bersama para petinggi Torrent. Siang ini kantor lumayan lengang, tapi siapa sangka penurunan ritme kerja tak lain karena BOD sedang menggodok rencana masa depan kami.

"Nggak ngobrol banyak? Chatting? Meet up lagi kek. Teleponan."

"Nggak."

"KIL!" Seruan Frankie membuatku kaget dan satu cilokku jatuh menggelinding setengah meter di depanku, lalu 'jlep' diinjak orang.

"Ya." Aku menarik napas panjang, berusaha mengikhlaskan sebutir cilok.

"Lo sok jual mahal ya!" Tuduh Frankie sewot.

"Nggak usah jual mahal juga Keita nggak suka ama gue. Kelasnya beda."

"Nggak mungkin." Frankie menggeleng kuat dan langkahnya terhenti mendadak. Ucetdah, ini cewek seenaknya saja berhenti berjalan di tengah trotoarーpadat pejalan kakiーmenyebabkan pejalan di belakang menggerutu.

"Sini, ah," kataku sembari menarik Frankie ke pinggir trotoar dan duduk di kursi kayu yang tersedia. "Gue cerita detail, nggak usah komplen."

"Depends on your story."

Aku mendesis kesal. Frankie duduk menyilangkan kaki dan menikmati ciloknya, baru dia memerhatikanku, masih dengan mulut mengunyah.

"Gue nggak sengaja ketemu Irfan habis lo tinggal-"

"Siapa Irfan?"

"Mantan gue."

"Yang lo ajak kondangan bukannya Bambang?"

"Itu teman Tiar yang diminta nemenin gue. Kita nggak pernah jadian."

"Oh, salah. Terus Irfan yang mana?"

"Yang selingkuh ama sepupu gue." Aku sebal pada kapasitas memori Frankie yang rendah. Keterlaluan sekali dia melupakan kisah mengiris hati yang pernah aku cerita.

"Aah, Irfan. Oke, gue ingat sedikit. Terus?"

"Keita paham gitu gue nggak nyaman ketemu Irfan. Dia beralasan kita mau meeting. At the end, gue dan Keita pisah setelah ninggalin Irfan."

"Pisah? Lo nggak ngobrol ama dia?"

"Nggak."

"Kenapa, Kil?"

"Karena gue nggak mau. That's it."

Frankie menarik sejumput rambutku yang menggantung di atas bahu. Aku memekik sakit. "Lo sok iye banget," gerutu Frankie, "Keita cakep loh."

"Buat lo. Buat gue, he's not the one I looking for," bantahku.

Topik Keita ditutup di situ. Frankie mengerti keputusanku dan nggak bisa berbuat banyak. Kami menghabiskan cilok di pinggir trotoar menuju kantor. Begitu habis, kami kembali ke kantor. Kabar perusahaan akan mengurangi karyawan sampai di telingaku melalui Gito sang penyampai pesan. Belum sempat bersedih, meja kerjaku disibukkan barang-barang kiriman dari Torrent.

△△△

"Menurut lo, gue harus gimana?" Tanyaku pada Tiar yang duduk di seberang meja. Kami nggak sengaja bertemu di perjalanan pulang ke rumah. Kemudian kami tergoda aroma nasi goreng Bang Mi'in. Jadi, di sinilah kami, mengisi perut dengan seporsi nasi goreng ekstra pedas, ekstra ati ampela, ekstra baso, ekstra pete, dan ekstra irisan kol.

"Cek Jobstreet apa Jobsdb. Bikin LinkedIn biar perusahaan gampang nyari cv lo," saran Tiar. Dia meraih gelas teh hangat tawar free flow yang disediakan Bang Mi'in.

"Posisi gue nggak kece. Cuma resepsionis," kataku rendah diri, "umur juga sudah segini. Apa masih bisa diterima?"

"Rezeki bukan kita yang atur. Coba-coba aja. Lo kan sarjana bahasa Inggris. Little little can speak English," sahut Tiar.

"Yang bukan sarjana bahasa inggris banyak yang lebih jago. Minder gue."

"Kalo gitu usaha lo kalah dari mereka, Andi Lau. Belajar lagi sono." Tiar mengibaskan sendoknya.

Aku mendesah. Memang itulah fakta yang berjalan. Menghabiskan empat tahun bersitatap kamus, rumus grammar, dan tetek bengek pronunciation nggak membuktikan aku siap terjun lapangan berhadapan bule. Pekerjaanku memang mempertemukanku dengan bule, baik itu menerima tamu maupun terima telepon. Tetap saja, dalam dunia kerja bahasa inggris yang dibutuhkan lebih mendalam. Aku takut bila dituntut membuat laporan bisnis dalam bahasa inggris atau job desc mempresentasikan materi bahasa inggris. Bisa cuap-cuap sedikit, bukan menjamin aku jago di bidang itu.

"Buka aplikasi nyari kerja deh. Mulai pilih-pilih yang sesuai sama lo. Kalo nggak jago bahasa inggris, lo masih jago ketik sebelas jari," kata Tiar lagi.

Aku menatap kedua tanganku. Lalu mengangkat wajah dongkol kepadanya. "Jari gue sepuluh, Botak. Bukan sebelas," desisku.

"Jari lu gendut, Malih. Bikin gue salah ngitung." Tiar tertawa atas lelucon garingnya. Aku pura-pura nggak peduli. Mending makan nasi goreng daripada menimpali Tiar. Bukan kenyang, malah tekanan darah.

###

04/02/2019

Streamlining itu macam efisiensi perusahaan ato pengurangan karyawan.
BOD itu board of director.

GabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang