Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)

Mulai dari awal
                                    

Marga, Henrietta, dan dua orang itu, benar-benar licik. Hukuman sengaja dilakukan di luar, agar aku tidak bisa menuntut siapa pun di dalam sana. Mereka bisa berkilah hanya menyuruhku pulang.

"Hey! Where are you going?" Aidan menjajariku. Sepertinya ia gagal menangkap dua orang itu.

"Pulang," sahutku pelan. Melirik cowok itu heran. Sempat-sempatnya berbahasa Inggris dalam situasi seperti ini.

"Jalan kaki?"

"Terbang. Sudah tumbuh bulu angsa di kepalaku. Kamu bisa lihat!"

Aidan tergelak. Lalu buru-buru menutup mulut, saat aku pelototi.

"Say it!" kataku, mendadak pengin menangis.

"Say what?" Aidan berdiri mengadang, mengulurkan kedua tangan untuk meraih bahuku.

Aku mundur. Sejak kapan ia berani pegang-pegang? Kubiarkan tangannya di udara. Aidan menggaruk kepala sendiri. "Kamu mau bilang sudah mengingatkan aku, kan? Ini akibatnya karena aku membandel, kan?"

Cowok itu menggeleng. Memandangku begitu intens. Aku balas menatapnya. Di bawah sinar lampu jalan, wajahnya bersemu merah. Ia melengos duluan. "I didn't warn you. Kamu enggak bandel. Kamu lakukan apa yang kamu anggap benar. Aku yang salah, karena telat datang."

Pengakuannya melelehkan hatiku. "Kamu sudah bilang enggak bakal datang."

"Ya. Tapi itu bodoh. Mementingkan urusan lain dan membiarkan kamu sendirian ke sini."

Lucu sekali cara Aidan menyalahkan diri sendiri. Berbeda dengan sikap acuh tak acuhnya di sekolah sore tadi. Aku ingin tersenyum, tapi wajahku kaku oleh lem yang mulai mengering.

"Kamu harus mandi," kata Aidan, menyadari masalahku. "Berendam air hangat."

"Ya, aku harus pindah kos ke apartemen mewah dulu," sahutku, setengah bercanda setengah kesal. Memangnya semua orang tajir kayak dia.

"Eh, sungguh kamu mau pindah ke apartemen? Di sebelah tempatku kosong."

Aku terbelalak. Apa Aidan salah makan, ya? Caranya berbicara dan bersikap tidak seperti biasanya. "Maksudku, di tempat kosku tidak ada bath tub dan air hangat."

"Oh." Aidan garuk-garuk lagi. Lalu matanya menangkap sesuatu di halaman rumah JJ. Tanpa peringatan, ia menarik lengan bajuku. Aku terpaksa mengikutinya. Tidak terlihat satpam di mana pun. Mungkin sudah diatur begitu, pikirku, agar mereka aman mengerjaiku.

Di sudut taman, ada kran air dan selang yang biasa dipakai menyemprot tanaman. Airnya mengalir saat kran diputar Aidan. "Jongkok!"

"Apa?"

"Eh, maksudku, posisi begini," kata Aidan, mencontohkan membungkuk. "Bow like a Japanese."

Keningku berkerut. Kenapa Aidan seperti lupa kosakata begitu, ya? Gerakannya pun kaku, tidak seperti pebasket andal. Tapi tidak ada waktu bertanya, kepalaku sudah ditekan Aidan dengan lembut. Tanpa peringatan lebih dulu, ia mencuci rambutku. Gerakan tangannya terasa kikuk dan ragu. Aku malah merasa seperti dirayapi laba-laba besar, yang membuat bulu kudukku berdiri. Beberapa kali, jemarinya terjerat keruwetan ikal-ikal yang saling menempel.

Aku mengaduh. "Sudah deh, biar kucuci sendiri." Kusodorkan tangan meminta selang.

"Diamlah. Let me do it." Aidan bersikeras. "Close your eyes, jangan sampai kemasukan lem."

Aku menurut. Tangan Aidan lebih mantap menggosok sekarang. Aku bersyukur, tidak ada clairtangency di kulit kepala. Walau tetap saja, kegiatan ini membuat seluruh badanku panas dingin. "Sudah?" tanyaku, mencoba menghentikannya. "Aku mau cuci muka. Sendiri."

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang