"Aku hanya ingin menghitungnya," kata dia lagi. "Pagi ini, aku dapat tiga surat cinta. Ayolah, aku hanya ingin tahu milikmu ada berapa hari ini."

"Aku bukan sainganmu," kataku singkat.

Dia diam untuk beberapa saat, kemudian menggebrak mejaku. "Jadi, kamu pikir. Kamu yang paling cantik di sekolah ini? Sombong sekali! Kamu pikir siapa dirimu?"

Ratu drama.

Aku menoleh ke arahnya. Wajahnya memerah karena marah, kuambil surat-surat tidak penting yang kurasa jumlahnya lebih dari lima—padahal aku selalu membuangnya tanpa kubaca setiap sore—dan berdiri. Aku menunjukkannya pada Sari. Kulemparkan surat-surat itu ke wajahnya.

"Mereka untukmu," kataku yang kemudian melangkah pergi.

Aku tahu, wajah-wajah anak di kelas ini langsung menoleh ke arahku. Aku diam saja saat Sari mengataiku murahan atau sebangsanya. Dia tidak punya cermin di rumah. Saat dia berteriak menanyai berapa harganya diriku, aku memilih diam. Kelas ini membuatku benar-benar marah.


Kuperhatikan wajahku di cermin kamar kecil. Jika aku harus memilih, kuingin memiliki wajah biasa saja. Karena setiap orang yang melihatku, mereka akan memuji rupaku terlebih dulu. Kurapikan rambutku, menata poni agar tampak sempurna.

Wajahku memang cantik, maksudku sangat cantik. Hidung mancung yang sempurna, ukuran mata yang pas dengan bulunya yang lentik, bibirku yang mungil dan merah alami, lalu bentuk rahang, pipi, bahu yang bagus. Aku juga cukup tinggi. Namun, kecantikan ini tidak terlalu banyak membantuku—justru membuatku harus berurusan dengan orang macam Sari. Mungkin, di masa depan akan berguna.

Andai saja aku tidak mengidap asma. Mungkin kehidupanku akan lebih baik. Tidak perlu ada yang kusembunyikan. Menghirup inhalerku secara diam-diam, aku kembali fokus pada cermin. Kupandangi wajahku dengan saksama.

Aku kaget.

Seseorang muncul di balik tubuhku. Aku menoleh ke belakang. Hani. Walau dia berdiri membelakangiku, menatap tembok. Aku tahu itu dia dari rambutnya yang tampak tidak terurus itu. Dia sedang menghitung, entah apa yang dia hitung. Akan tetapi, aku tidak ingin berurusan dengannya. Aku memilih ke luar.

"Rema!" seorang gadis mengagetkanku.

Aku mengatur napas dan menatapnya kesal. "Apa?"

Gadis manis dengan rambut keriting dan berbando itu tampak khawatir, dia menarik tanganku. "Kamu kelahi sama Sari?"

"Tidak."

"Dia lagi bacaian surat-suratmu di kelas, yang lain juga ngetawain kamu, Ma," ungkap Naya. "

Aku tertawa getir. "Mereka menertawakan pengirim surat itu," kataku. "Lagi pula, apa dia tidak punya otak? Dia juga mendapatkan surat-surat semacam itu—kalau dia tidak mengarang."

Naya ikut terawa. "Ya udah, ayo ke kelas. Sebentar lagi bel masuk."

Aku mengangguk, lalu kurasakan ada yang mengikuti kami saat berada di lorong kelas. Hani, dia ikut berjalan di belakang kami. Aku tidak bisa mengerti gadis dengan tahi lalat di dahinya itu. Keanehan sosoknya terkadang membuatku merinding.

"Ini yang terakhir," suara Sari.

Saat aku dan Naya masuk ke kelas, kulihat Sari sedang berdiri di atas meja. Dia sedang membaca surat-surat itu. Menyadari keberadaanku, semua orang menoleh. Pandangan paling tajam kudapat dari Dewi. Gadis yang sedang memegang buku RPUL itu tampak sangat membenciku. Dia duduk dengan gadis berambut pendek bermana Ajeng yang tampaknya sedang menggambar—satu-satunya yang tak menatapku."

"Si kembang sekolahnya datang," sindir Sari.

"Padahal kau yang ingin sekali dibilang seperti itu," siswa laki-laki yang bajunya tidak dimasukkan itu menertawai Sari.

"Danu, diam!" suruh Sari.

Aku dan Naya sudah duduk berdampingan. Kami berdua satu meja. Mencoba tak mempedulikan tingkah Sari. Aku kembali membuka buku.

"Tidak usah munafik, Sar. Kamu kan selalu iri dengan Rema. Semua orang juga tahu siapa yang lebih cantik," seru Danu yang kembali tertawa.

Naya tertawa di sebelahku. "Danu membelamu."

"Tidak. Dia mengolok Sari, bukan membelaku," jawabku.

"Dilihat-lihat, Danu itu ganteng juga tahu. Dia kan pernah tolongin kamu pas olahraga. Dia yang bawa kamu ke UKS pas kamu kecapaian. Kalau aku jadi kamu, aku mau saja sama Danu," kata Naya yang tidak kugubris.

Aku kembali terusik saat melihat Hani lewat. Dia selalu duduk di belakang. Semua orang tak ada yang mempedulikan gadis itu. Dia selalu sendiri dan dikucilkan. Kadang, aku merasa kasihan. Akan tetapi, aku tetap bersikeras tak ingin menyapa apalagi berteman dengannya. Dengan Naya saja sudah cukup menyusahkan.

"Kalian debat terus, katanya mau baca suratnya," suara Gilang menghentikan perdebatan tidak penting antara Sari dan Danu. Walau aku mencoba tak melihat, tetap saja telingaku mendengar.

"Aku mau cerita soal perangko Ratu Victoria, kalian pasti penasaran," Hendra sepertinya ingin menginterupsi Sari.

"Tidak ada yang peduli dengan perangko di sini," sindir Gilang.

"Untuk Dahlia," mulai Sari. "Dahlia Putri Rema. Gadis cantik yang juga cerdas. Maaf untuk apa yang akan terjadi di kemudian hari padamu. Kau mungkin akan merasa sangat takut, sedih, dan marah. Namun, kau akan akan baik-baik saja."

Mendengar isi surat itu, aku merasa jantungku terteakan. Aku langsung menoleh ke arah Sari yang sudah turun dari meja.

"Apa maksudnya?" Sari tampak bingung.

"Rema akan diperkosa oleh pengirim surat itu," celetuk Gilang.

"Hei! Jangan bicara sembarangan!" Naya membentak.

Sari tampak tertawa. "Masuk di akal juga."

Aku menahan emosiku. Dia membicarakan hal itu tanpa rasa bersalah sedikit pun. Aku pun berdiri. "Berikan surat itu padaku!"

Sari memandangku dengan mimik seperti meremehkan. "Kamu bilang ini jadi milikku."

"Itu artinya kau yang akan diperkosa, Sar?" tanya Danu.

"Tidak apa-apa. Asal dia ganteng dan kaya," jawab Sari.

Tamparan keras tiba-tiba datang ke arah Sari. "Bodoh! Dasar cewek murahan!" Naya menarik kertas di tangan Sari. Namun, Sari tak mau melepaskannya. Dia tampak sangat marah dengan tamparan itu.

Saat semua orang memperhatikan Naya dan Sari. Aku diam-diam menghirup inhalerku. Tidak ada orang yang melihatku melakukan itu. Mungkin. Kecuali Hani yang menatapku dari bangku pojok.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Hantu apa yang paling kalian takuti?

Me: Pocong, tapi seringnya ketemu kunti. Pocong cuma sekali.

Hadiah permainan di Bagian 28: Bermalam dengan pocong di kuburan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hadiah permainan di Bagian 28: Bermalam dengan pocong di kuburan.

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang