"Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan waktu itu," gumamku.

"Mungkin sama dengan yang kamu pikirkan." Aidan menjawab.

"Kamu kepikiran tentang apa yang aku pikirkan tentang kamu?" Aku terbelalak. Ah, mulai lagi deh bahasaku berputar-putar.

"Wah! Jadi, kamu kepikiran tentang aku?" Aidan tertawa, menggoda. "Misalnya?"

"Misalnya, apakah kamu tidur nyenyak semalam, sudah sarapan belum, adakah buku yang ketinggalan, kenapa kamu enggak menyapaku dengan nama."

Aidan berbalik untuk menghadapku. "Kamu baik sekali, memperhatikan aku. Tapi berarti pikiran kita beda. Aku memikirkan moto sekolah. Pengin tahu sejarahnya. Apakah pernah dipakai pencetusnya untuk nembak gebetan? Memang bagus kok untuk nembak. Tapi berat buat yang ditembak."

Aku terperangah sendiri dengan jawaban Aidan. Ah, pasti karena banyak isu tentang moto yang dijadikan modus. Dan Aidan cowok populer, pasti sering menerima permohonan cewek untuk membuka hati, pikiran, dan pintu ... rumah atau mobilnya. Berat bagi Aidan mengabulkan. Tapi menembak Aidan juga bukan perkara sederhana. Menurut desas-desus, cewek yang berani maju berarti mempertaruhkan kehidupan sosialnya di sekolah. Sudah ditolak Aidan, dicibir dan dijauhi pula oleh kaum perempuan. Entah apa konsekuensi sosial bagi cewek yang diterima, karena belum pernah terjadi saat Aidan di SMA.

Mendadak aku penasaran tentang River. Semua orang tahu kedekatannya dengan Aidan. Seperti aku, banyak yang mengira mereka jadian. Bagaimana perlakuan teman-teman cewek padanya? Adakah yang berani macam-macam karena iri? Walau setelah mengenal River, kupikir, gadis itu tidak akan peduli. Ia terjamin aman di tengah Aidan dan Kei.

"River bukan cewek lemah. Aku enggak perlu jagain dia." Aidan menyela pikiranku.

"Aku enggak lemah dan bisa jaga diri. Aku enggak pernah nembak kamu jadi harusnya aman dari cewek-cewek itu. Tapi kamu melindungiku. Kenapa?" Aku memandangnya dengan wajah panas. Nekat menantang kenangan Aidan, memaksa otakku untuk spontan membangkitkan ingatan terkubur.

Tapi Aidan balas memandangku dengan ekspresi geli. Mengangguk, dan pergi menaiki tangga, melewati dua undakan sekali langkah. Rambutku! Aku menggeram kesal. "Kamu menertawakan rambutku."

Kudengar tawa Aidan. "Sudah kubilang, rambutmu unik. One of the kind. Jangan dipotong ya. Ikat saja kalau gerah."

Aku berdecak. Itu sih bukan ingatan terpendam. Aidan benar-benar bilang begitu dalam insiden bulu angsa. Insiden yang terjadi di luar sekolah. Belakangan saja kukunjungi lagi tempatnya. Sekarang, lanjutkan napak tilas di lingkungan sekolah. Kata-kata Kei bahwa Aidan mungkin menyimpan perasaan untukku harus dibuktikan. Aku ingat di mana saja pernah berpapasan dan berbicara dengan Aidan. Apa yang dulu tidak teramati, mungkin memberi makna lain kalau dipandang dengan cara baru.

Bahwa Aidan menyukaiku. Aidan menyukaiku.

Kemarin, aku mempertanyakan, untuk apa tahu itu setelah Aidan tiada? Mengungkit ini hanya akan menyakiti hatiku sendiri.

Tapi aku nyaris tidak tidur memikirkannya. Lebih sakit rasanya selalu bertanya-tanya tanpa ada jawaban. Menduga-duga dan resah. Tidak adil juga bagi Aidan. Dengan caranya, mungkin ia berusaha menjangkau aku. Tapi pesannya tidak sampai karena aku terlalu bebal, terlalu takut. Kalau ingin Aidan tenang di sana, aku harus memastikan pesannya sampai padaku. Demi Aidan. Tidak peduli apa pun efeknya untuk aku sendiri.

Dengan mata batin kubuka lebar sekarang, kenangan sekecil apa pun mungkin dapat membuktikan perasaan Aidan.

Di tangga dari lobi ke lantai dua. Aku berlari naik, dan Aidan berlari turun. Bertemu di bordes, sama-sama terkejut. Aidan seperti hendak mengatakan sesuatu. Aku menunggu. Tapi segerombolan anak perempuan muncul. Aidan tersenyum tipis dan meninggalkan aku.

CLAIR [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now