01

23.1K 720 212
                                    

MAVIN SANJAYA

Everyone looks busy. Event dalam hitungan minggu. Dan kami masih berkutat dengan sripilan-sripilan masalah yang belum kelar sampe sekarang. Mba Zuhrina beberapa kali mengecek laptopku, memeriksa sampai mana aku kerja. Of course, aku melakukan seperti yang diminta. Gila, aja. Ini udah kesekian kalinya aku mengganti Latar Belakang proposal. Yang nggak habis pikir, sepenting itukah bagian Latar Belakang? Bukannya anggaran yang harusnya menjadi poin penting?

"Ganti lagi, Vin?" Bahkan, senior Sekretaris seperti Mba Zuhrina pun sampai dibuat terperangah.

"Iya. Kata Pak Witoto kurang meyakinkan."

"Terus kamu ganti gimana?"

"Ya lebih ngejelasin aja tujuan kita ngadain pensi ini tuh apa. Terus konsepnya gimana, gitu-gitu lah, Mba." For god's sake, aku nggak tahu lagi mau ganti apa seandainya ini direvisi lagi.

"Terus yang lain gimana? Aman?"

"Nah itu, aku belum yakin, aku nggak tahu Pak Witoto udah ngecek bab lainnya atau belum."

"Yaudah, kalo ada bingung ngomong ya, Vin. Semangat!" ucap Mba Zuhrina. Nyatanya nggak berefek apapun buatku.

Ya, aku ini OSIS. Seksi bidang Ketaqwaan yang sedang dilatih untuk mencicipi menjadi sekretaris. Semua event berbau agamis sangkut pautnya sama aku. Meskipun, aku sendiri belum paham betul mengenai hal-hal berbau keagamaan secara mendetail. Aku masih butuh banyak belajar, tentu.

Pada dasarnya semua pernah kebagian jadi sekretaris, mmmm... nggak semua, sih. Beberapa aja. Dari semua cowok, hanya aku yang diberi mandat ini. Lainnya perempuan. Yang pada dasarnya memang "identik" dengan Sekretaris, atau memang akunya yang nggak tahu kalau ada Sekretaris cowok di luar sana. Untungnya Mba Zuhrina dengan sabar membantuku.

"Mavin, anggarannya udah jadi?" Entah dari mana, Mas Yuba muncul di hadapanku entah sejak kapan.

"Udah."

"Disuruh ngadep Bu Yuli. Ada yang direvisi katanya."

"Oke." Aku beranjak. Meninggalkan laptop di meja. Aku nggak tahu apa lagi yang mau diganti, padahal beliau sendiri bilang kalo semuanya udah fix. Dengan membawa proposal gagal yang sudah dicorat-coret, aku menghadap Bu Yuli.

"Mas tolong yang ini kuotanya ditambah. Katanya dari Raisanya sendiri mau bawa crew. Terus yang buat gladi malam juga. Kasian kan mas-mas sound-nya kalo nggak dikasih makan. Oh, iya. Kalian nggakpapa kan cuma makan dua kali? Atau kurang?" Setelah mencorat-caret proposal, beliau menatapku.

"Kalo saya sih nggakpapa. Kalo yang lain saya nggak tahu. Terserah Ibu saja."

"Masalahnya anggaran kita udah overbudget. Pak Witoto bakal menolak kalo anggaran tahun ini akan lebih besar dari tahun lalu. Jadi sebisa mungkin kita menekan di bagian konsumsi. Gimana kalo makan ketiganya diganti snacks?"

"Nggakpapa, asal kami tetep makan." Selaku bergurau. Dibalas senyuman lembut di bibir beliau.

Mungkin kalian belum tahu kalau Bu Yuli ini guru paling ditakuti di sekolah. Selain Bu Mardianti-guru BK-Bu Yuli juga mempunyai sisi tegasnya sendiri di mata anak-anak. Tubuh pendeknya nggak memberi kesan imut, kacamata mlorotnya selalu memberi kesan mengitimidasi. Jangan harap bisa kabur ketika berhadapan dengan beliau. Penggaris kayu satu meter menjadi senjata andalannya ketika bertugas. Murid-murid badung kalang kabut! Tapi, jangan salah. Di antara Pembina OSIS yang lain, beliau lah yang paling royal. Apalagi soal makanan. Beliau paling nggak tega melihat anak-anak OSIS, atau siapapun itu, yang telah melakukan tugasnya dengan baik namun justru malah kelaparan. Makanya, ada momen spesial tersendiri ketika melihat beliau tersenyum seperti ini. Jarang-jarang aja gitu.

AKU DAN DIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang