8. Obrolan di Kedai Kopi (Rendi-Rani)

19 2 0
                                    


Aku tersenyum saat melihat Rani menguap untuk yang kesekian kalinya, entahlah mungkin yang ke delapan kali?!

Sabtu malam, tepat setengah jam lagi hari akan berganti menjadi Minggu. Tetapi percayalah gadis disebelahku ini masih asyik mengoceh dan mengomentari peristiwa yang sedang marak belakangan ini-- tentu saja aku tidak keberatan mendengarkannya. Aku lebih banyak diam mendengarkan dan sesekali menanggapi.

Memang setiap akhir pekan kami selalu bertemu di sebuah kedai kopi pinggir jalan di kawasan Jakarta Barat, untuk sekadar menceritakan sesuatu-- mungkin lebih tepatnya menceritakan apapun. Bahkan kadang ada saja obrolan tidak begitu penting yang kami bahas. Ini sudah menjadi agenda mingguan.

"Mau pulang sekarang?" tanyaku ketika melihatnya menguap lagi disela bercerita.

Dia tersenyum miring ke arahku, "Besok aku libur."

Mendengar jawabannya seperti itu, tentu saja aku tahu maksudnya-- ia masih ingin di sini.

Tanpa menunggu tanggapan dariku, ia sudah membahas topik baru tentang hukum yang semakin tidak adil memperlakukan masyarakat.

Aku hanya tersenyum dan mulai mendengarkannya lagi. Dia selalu bersemangat.

"Kamu tau Ren? Sekarang hukum itu bisa dibeli. Makanya udah nggak aneh sih kalau si Kaya makin sesuka hati melakukan apapun tanpa takut ada hukum yang bakal menjeratnya. Sedangkan si Miskin yang terkadang mencuri hal sepele untuk sekedar mengganjal perutnya yang lapar malah dihukum beberapa tahun. Padahal menurutku hal sekecil itu masih bisa diselesaikan secara baik-baik sebagai bentuk rasa peduli sesama."

Dia menjelaskan apa yang menjadi pendapatnya, terkadang ia selalu melibatkan emosi jika sudah membahas persoalan Hukum di Indonesia. Namun entah kenapa, aku lebih suka memperhatikan berbagai ekspresi yang ia ciptakan saat berbicara.

"Aku setuju dengan pendapatmu. Tapi sudah sering sekali terjadi suap-menyuap di pengadilan, semua bisa saja terjadi kalau sudah berkaitan dengan uang, Ran. Mungkin seharusnya diantara kita ada yang menjadi seorang Hakim untuk membela kebenaran ha-ha-ha," timpalku ketika berusaha menanggapi. Lucu memang, dia selalu memberiku kode dengan mengangkat kedua alis untuk mempertanyakan bagaimana pendapatku.

"Itu tidak mungkin Rendi. Kita berdua sama sekali tidak cocok menjadi seorang Hakim," timpal Rani dengan tertawa, kemudian memperbaiki posisi duduknya, "baiklah! Sepertinya aku sudah terlalu banyak mengoceh, pasti kamu sudah mulai bosan Ha-ha-ha. Lagipula terlalu berat jika membahas tentang Negara di jam segini. Ayo Ren, sekarang giliranmu bercerita," tambahnya, lalu menopang dagu dan menungguku untuk bercerita.

Aku tertegun sesaat, lalu segera menyesap kopi yang mulai mendingin. Sedang Rani hanya memperhatikanku dengan posisi yang sama, menungguku bercerita-- lucu sekali.

"Jangan melihatku seperti itu Rani. Nanti kamu bisa jatuh cinta padaku ha-ha-ha" ujarku berusaha bercanda, padahal memang aku tengah salah tingkah diperhatikannya.

"Ha-ha-ha aku hanya sedang menunggumu bercerita, Rend. Ayo, sekarang giliranmu yang mulai," jawabnya cepat, gadis di sebelahku ini tidak peduli perihal hari yang sudah berganti, bahkan aku pikir rasa ngantuknya memudar setelah meminum kopi.

Aku sama sekali tidak keberatan untuk membuka topik baru, hanya saja aku bingung apa yang akan aku bahas?! Sedang aku lebih suka mendengarnya bicara.

"Hmm kapan kamu akan memiliki pasangan lagi Rani?" tanyaku terlontar begitu saja tanpa bisa dikontrol, rasanya pertanyaanku barusan ingin kutarik kembali.

Dia kembali terkekeh. Apakah pertanyaanku itu hal lucu baginya?

"Aku tidak mau memikirkan soal itu Rend, sudah bosan." Dia menjawab tegas, harusnya aku tahu bahwa pertanyaanku akan berakhir tragis tanpa memiliki jawaban yang sebenarnya.

"Bagaimana jika pertanyaan itu untukmu saja Rend, kamu kapan memperkenalkan kekasihmu padaku?" Rani malah balik bertanya.

"Aku masih mencari yang tepat Ran, dan sampai saat ini belum menemukannya," jawabku santai. Tentu saja aku belum menemukan yang tepat jika yang aku inginkan masih santai dengan status kesendiriannya.

"Baiklah, kita sama-sama jomblo ngenes kalo begitu."

"Kamu saja Ran, aku sih enggak ngenes," timpalku membuatnya tertawa, lalu dia memukul bahuku pelan. Kami tertawa bersama, menertawakan nasib masing-masing. Kita adalah dua insan yang sama-sama pernah dikecewakan ketika menjalin sebuah hubungan.

"Bagaimana kalau begini... Jika kamu punya kekasih, kenalkanlah padaku. Setelah itu aku juga akan berusaha mencari pacar. Jadi ingat ya, masa depanku ada di tanganmu," ujarnya sambil terkekeh.

Apakah dia hanya bercanda? Aku langsung tersenyum kaku.

"Hmm sepertinya aku tidak bisa melakukan itu, Rani. Tidak usah menungguku dulu!"

"Kenapa?!"

Aku memperhatikan wajah bingung darinya, lalu aku tersenyum.

"Aku bukan Tuhan yang bisa memegang masa depan seseorang, kita tidak akan tau soal nanti. Mungkin saja besok kamu yang punya pacar duluan," ujarku lalu mengacak rambut poninya.

"Atau mungkin saja hari esok, masing-masing kita sepakat untuk menjalani hubungan?" harapku dalam hati yang aku ucapkan tulus kepada Tuhan.

Kamu merapikan rambut ponimu, lalu menatapku, "Hmm yaa... kamu bukan Tuhan."

Kemudian kita sama-sama terkekeh.

___________

#Flash fiction
Septi Agisti
Desember, 2018.

ImaginationWhere stories live. Discover now