25. Mencoba Menerima

2.9K 511 62
                                    

"Apa yang menurutmu baik belum tentu berakhir bahagia. Dan apa yang menurutmu buruk, belum tentu berakhir sengsara.
Allah tahu apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan."

🌈🌈🌈

Suara-suara pak Ali seperti alunan yang terus terngiang di kepalaku.

"Mira.. percaya dengan Ayah." Dia bahkan sudah melangkah mendekati seperti hendak memeluk.

Namun lengannya kutepis. "Pak Ali bukan Ayah, Mira!"

Hujan di mataku sudah turun ke pipi, menggeleng tegas seolah enggan menerima kenyataan ini.

"Kalau pak Ali adalah Ayah, kenapa baru sekarang mencari Mira? Pertemuan kita waktu dulu, kenapa bapak baru mengakui?"

Kulihat wajah pak Ali pias, dia berhenti melangkah. "A-ayah, waktu itu masih ragu. Tapi itu dulu, Mira, sekarang Ayah sudah punya bukti."

Ucapan pak Ali tidak kuindahkan. Aku memilih membalik badan dan membuka pintu rumah pelangi.

"Seorang Ayah tidak mungkin ragu akan keberadaan anaknya sendiri! Karena kata Ibu Minah, ikatan Ayah dan anak kuat," tutupku dengan masuk ke dalam meninggalkan pak Ali yang sudah mengejarku dengan terlambat.

"Mira.. Ayah minta maaf. Ayah perlu bukti, dan lagi, Ayah masih belum menerima."

Aku menangis mendengar penuturan pak Ali, belum menerima katanya? Jadi, itu alasannya membuangku dulu? Jika benar dia adalah Ayahku, dia adalah Ayah terjahat yang menyia-nyiakan anaknya.

"Almira.. Ayah memang salah. Tidak menerimamu dulu karena dibutakan cemburu oleh Ibumu yang justru membuatnya pergi dengan kenangan yang buruk."

Ucapan pak Ali sontak menghentikan tangisanku. Tunggu.. Ibu pergi katanya? Aku mengusap air mata di pipi, maksud pak Ali.. Ibuku sudah meninggal?

"Ayah tidak bermasuk membuatnya pergi, bahkan di akhir hidupnya, Ayah malah menyia-nyiakannya, lalu membuangmu. Tapi, percayalah di sudut hati Ayah, Ayah menyayangimu. Menyanyangi kalian."

Tangisku makin pecah, menutup mulut enggan membuat pak Ali mendengar. Bukan, ini bukan tangisan karena bahagia atas kejujurannya, namun ini tangisan ketidakterimaanku atas hadirnya.

Aku masih tidak membukakan pintu, namun ketukan di pintu masih terasa. Kurasa pak Ali juga menangis.

Remasan di hatiku makin terasa sakit, mendengar penuturannya, membuatku makin tidak mengerti cobaan ini akan berakhir bagaimana.

Harusnya bukankah aku merasa senang karena akhirnya, Ayah yang kucari selama ini telah datang? Namun, mengapa dia membawa luka? Bukan sebuah bahagia yang justru membuatku makin menambah rasa penasaran tentang apa yang terjadi sebelumnya.

"Mira.. buka pintu. Ayah akan jelaskan, semuanya, selengkapnya. Sampai Mira tau yang sejujurnya, tapi Ayah mohon percaya dengan Ayah."

Aku menggeleng kuat, kakiku lemas tidak kuasa menahan rasa marah dan sedih yang berkecamuk.

"Almira.. itu siapa di luar, Dek?" Aku mengusap sudut mata saat melihat kak Diandra mendekat dengan wajah yang bertanya karena gedoran pintu yang terasa.

Anak-anak rumah pelangi seperti biasa jika siang sibuk dengan rutinitas mengamen, dan Abi yang bekerja.

"Nak, siapa di luar itu?" lagi, Ibu bertanya. Berjalan dengan kak Diandra mendekati.

"Jangan di buka pintunya!" pekiku dengan menggeleng pelan.

Enggan membukakan pintu yang menampilkan pak Ali. Dan penjelasan beliau yang membuatku menambah sakit.

Rumah Pelangi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang