11. Apa Benar Dia?

3.6K 547 52
                                    

Seseorang bisa berubah kapan saja ia mau, jika memang sudah saatnya Allah mengizinkan untuk mengetuk pintu hatinya. Karena hidayah itu mudah dicari namun yang sulit itu adalah istiqomah.

Dan pernyataan Sena yang tempo hari bahwa ia ingin belajar ternyata tidak main-main, aku menatap heran Sena yang masih fokus menatap ke bawah dengan wajah ditutupi buku.

Kelas sudah kosong, kebiasaan kami menjadi penghuni kelas terakhir.

Aku memberanikan diri mengunjungi mejanya di bekang, duduk di kursi dengan mata mengintip melihat tingkah Sena.

Apa yang dia perhatikan, sih? Sampai aku di sini saja, dia tidak respon.

"Sen," aku menyaut pelan. Fokus mataku ke arah depan, berharap Sena menurunkan buku yang menghadang wajahnya.

"Hm."

Eh, dia benar-benar lagi baca apa, sih?

"Kamu lagi ngapain?" Tidak ada jawaban.

Aku menghembuskan napas pelan. Menurunkan gengsiku dan menghadap Sena. Tanganku pelan mengambil buku yang menghalangi wajah kami.

"Kamu baca ap--" Aku menutup mulut yang hampir berseru kencang karena sedari tadi dicueki, melihat apa yang Sena lakukan.

Dia memandang wajahku, menutup dengan menyimpan pembatas di dalam juz amma saku yang sedari tadi dia baca.

"Kamu baca juz amma?" Aku menatapnya heran, bergantian melihat wajah Sena dan juz amma di lengannya. Dia hanya mengangguk. 

"Gue udah bilang kan kalau mau belajar."
Aku diam, tidak enak hati karena rasa penasaran ini. Kukira Sena sedang membaca komik kesukaannya, atau buku pelajaran. Namun, ternyata..

"Maaf, Sen... ganggu kamu lagi--" Sena menggeleng, tersenyum kecut.

"Gue nutupin, soalnya gue malu." Aku menautkan alis, "Kenapa?"

"Malu karena umur segini masih baca Juz amma." Aku tersenyum tipis, tidak enak hati melihat Sena yang benar-benar belajar.

"Gue belajar sendiri, dan mau ngasih tau lo nanti pas udah lancar."

Maksunya itu kejutan? Tapi cara belajar Sena justru menonjol dan buat orang penasaran.

"Maaf, rasa penasaranku jadi kamu malah--"

"Udah, gapapa." Kulihat Sena merapihkan buku pelajaran yang tadi menjadi penghalang, dia lalu menutup juz amma dan memasukkannya ke dalam tas.

Allah, sungguh memang kekuasaan-Mu bisa mengubah semuanya, termasuk sikap Sena yang dulu aku kenal bisa berubah.

"Pulang, yuk," ajaknya, aku mengangguk.

Kami jalan beriringan dengan membagi jarak, aku meliriknya yang berjalan dengan seperti memikirkan sesuatu. Terlihat dari gestur wajah dan tangan.

"Kamu ngapalin apa?"

Pak Yamin memang memberi kami tugas minggu depan, tapi bukan tipikal Sena yang memikirkannya hingga saat di jalan.

Sena tidak menjawab, dia tetap bergumam tak jelas. Aku mengangkat bahu tetap berjalan.

Kami memutuskan untuk menuju rumah pohon sebelum kembali ke rumah pelangi. Sejak saat itu rumah pohon menjadi tempat favorite kami.

***

Aku duduk di ayunan, Sena duduk di rumput. Dia masih sibuk menghapal, aku memilih memandang pohon rimbun.

Bayangan wajah pak Ali muncul, ucapannya saat menyuruhku hati-hati, dan saat tangan kami bertautan, rasa seperti 'saling menemukan' muncul kembali. Didekatknya aku seperti bertemu dengan separuh hidupku.

Rumah Pelangi [SELESAI]Where stories live. Discover now