23. Pilihan Hati

3K 467 81
                                    

Keheningan melingkupi kebingunan kami. Aku duduk di antara dua bapak yang secara garis besar belum kukenal lebih dalam. Namun sorot mata mereka seolah mengatakan kepemilikan dan penjelasan yang panjang.

Kami duduk di teras rumah, enggan untuk ribut dan membuat khawatir penghuni rumah pelangi.

"Jadi," keduanya memandangku dalam, "pak Alandra dan pak Ali ini sebenarnya siapa?" tanyaku dengan memandang wajah mereka satu persatu.

"Almira saya yang akan jelaskan," ujar pak Alandra dengan melangkah mendekatiku.

Namun langkahnya terhenti karena pak Ali juga ikut berdiri menghalangi.

"Saya yang akan jelaskan!" seru pak Ali dengan memandang wajah pak Alandra tegas.

Aku menggeleng pelan, mengapa semua jadi rumit? Siapa sebenarnya mereka?

"Stop!" ucapku dengan berdiri di antara keduanya.

Memandang wajah mereka satu persatu, ada rasa hangat melingkupi diri karena merasa berharga dipedulikan oleh dua bapak yang mungkin di antara keduanya adalah salah satu bagian keluargaku.

Pak Alandra mengambil lenganku dia memandangku agar sepenuhnya menghadapnya, "Percaya dengan saya, jangan dia."

Aku memejamkan mata, aku percaya semuanya.

Pak Alandra baik, dia bahkan menceritakan soal Ibuku, dia mengajakku bermain dengan Sena tadi, bahkan perasaan sayang darinya bisa kurasakan sebagai sosok kehadiran Ayah.

Namun tepisan lengan pak Alandra dalam genggamanku terasa, karena pak Ali melerai genggaman kami.

"Dia.anak.saya!" ujar pak Ali menekan setiap kata yang keluar. Matanya memandang pak Alandra dalam, dan aku hanya bisa mematung mendengar penuturannya tadi.

Aku mematung mendengar ucapannya. Aku anak pak Ali? Tapi, bagaimana bisa? Bertemu dengannya pun baru beberapa kali.

"Apa?" aku memandang wajah pak Ali dalam. Tidak percaya dengan ucapannya barusan.

"Almira, Ayah bisa jelaskan." Kulihat pak Ali mendekat ingin memegang lenganku, namun ku tepis dan menjauh.

"Almira akan menjadi anak saya!" timpal pak Alandra. Matanya menyorotiku dengan berusaha agar aku percaya.

Aku kembali memejamkan mata, sebenarnya aku ini anak siapa? Pertanyaan tentang keberadaan orang tuaku sekarang menjadi membuatku kesal, pasalnya di saat aku sibuk mencari, mengapa status kepemilikan ini mudah sekali dinegosisasi? mudah sekali di balik menjadi kepemilikan yang bisa ditukar sana-sini? Apa aku hanya anak yang dipermainkan dalam hidup mereka?

"Sudah! pak Ali, pak Alandra!" ujarku menengahi keduanya.

"Maaf, ak-ku belum bisa menerima kebenaran dari salah satu kalian, kepercayaan kalian Almira belum bisa terima," ujarku dengan memandang keduanya.

"Almira memang menginginkan status keluarga, tapi tidak dengan cara mudah mempermainkan seperti ini," aku menghela napas dalam.

"Maaf, Almira masih enggan membuka hati untuk menerima kalian salah satu Ayah Almira. Siapapun kelak, Almira hanya butuh bukti yang pasti, bukan sebuah ucapan dengan perkelahian ini," tambahku dengan menundukkan pandangan.

"Almira butuh waktu," putusku dengan selangkah maju mendekati pintu rumah.

"Pak Alandra," ujarku pelan, beliau lantas tersenyum lembut. "Terima kasih untuk hari ini," tambahku dengan menunduk.

"Sena, terima kasih juga." Sena hanya mengangguk, sedari tadi dia diam karena mungkin persaannya juga campur aduk melihat keributan soal status Ayah untukku.

Terakhir, aku ragu ingin mengucap namanya, namun mengapa hatiku seolah sedih melihat wajah pak Ali yang melihatku dalam seolah menyiratkan sesuatu.

"Dan pak Ali, terima kasih sudah menyenangkan sedikit hati Almira," aku menggigit bibir resah, "mengaku sebagai Ayah tanpa bukti, dan lagi.. jika memang pak Ali, mengapa baru sekarang?" Aku menatap nanar sorot wajah pak Ali yang pias, dia mengusap wajah dan selangkah mendekatiku.

"Bukan Almira, Ayah--"

Rumah Pelangi [SELESAI]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora