16. Takdir Tak Berpihak

3.3K 497 81
                                    


"Ketika Allah memberi waktu untuk menunggu. Bukan berarti Dia tidak ingin kau segera bahagia. Dia hanya ingin lihat perjuanganmu. Sampai kapan kau berusaha, sampai kapan rasa sabar terus bergelung dalam hatimu."

🌈🌈🌈

Sore ini udara mulai terasa dingin, lembayung muncul mengiringi langkah kami, sorotnya cerah menapaki jalan, semoga saja secerah harapanku yang berharap menjadi sebuah kenyataan.

Pernah mendengar 'kan bahwa Allah tidak akan pernah memberi cobaan berat pada setiap hamba-Nya di luar batas kemampuan? Ya, aku percaya itu.

Melihat alamat di secarik kertas yang aku genggam, senyumku merekah. Apakah hari ini Allah akan mengabulkan semua permintaanku? Memudahkan segala ujian dari-Nya kemarin? Mengangkat semua bebanku dengan mempertemukanku dengan Ayah dan Ibu?

Sungguh, aku tidak sabar bertemu mereka. Bagaimana nanti hari-hariku akan berjalan bersama mereka? Kebahagiaan apa yang aku akan rasakan kedepannya? Setelah hampir 16 tahun kami terpisah.

DUK!

"Aw." Aku meringis karena tidak sadar memikirkan kedua orang tua membuatku kehilangan kesimbangan—jatuh terduduk karena tersandung batu, dan menyenggol bahu seseorang.

"Lo engga apa-apa?" Aku memandang Sena yang berjongkok di depanku, lalu aku menggeleng mengusap pelan rok sekolah yang kotor terkena debu.

Dia berdiri, memandang seorang pemuda yang menabrakku tadi. "Mas, jalannya hati-hati dong!" gerutu Sena. Kulihat Mas itu berlari setelah menunduk meminta maaf.

Sena kembali memandangku. "Makanya jangan senyam-senyum terus!"

Aku mencemberutkan bibir mendengar gerutuan Sena.  Aku begini kan karena tidak sabar bertemu kedua orang tuaku, tapi Sena tidak mengerti.

"Kamu tuh engga ngerti tau." Sena mencebik lantas mengulurkan tangan membantuku.

"Engga usah, aku bisa sendiri." Aku mengabaikan lengan Sena yang mengudara, toh lagian kami belum muhrim untuk saling berpegangan.

Lantas aku berdiri sembari masih menepuk-nepuk pakaian sekolahku yang kotor.

"Sorry," cicitnya. Aku hanya mengangguk samar.

Sena menungguku membersikan diri, dia memilih membuka ponselnya melihat sudah sejauh mana kami berjalan.

"Coba kertas tadi mana, biar disamakan ulang." Aku mencoba merogoh saku yang berisi kertas alamat tadi.

Namun nihil. Tidak ada kertas di kantong bajuku. Seingatku tadi aku menyimpannya.

Berpikir sejenak, mengingat. terakhir aku memegang kertas itu. Saat dalam genggaman, saat memikirkan bagaimana rasanya bertemu kedua orang tuaku.

Tapi, di mana?

Aku terus mencari, bahkan membuka tas di punggung. Berjongkok untuk mempermudah pencarian. Lagi-lagi nihil.

Aku mengangkat wajah, mengingat saat kertas tadi dipegang, lalu.. apa kertas itu jatuh?

"Lo nyari apa, sih?" seru Sena saat mungkin dia heran melihatku sibuk mencari sana-sini.

"Kertas, Sen," jawabku memandangnya sekilas, lalu mencari kembali.

"Kertas?" Sena sepertinya mulai mengerti. "Jangan bilang kertas alamat itu?"

Aku mengabaikan pertanyaan Sena, lantas mencari ke jalan awal yang kami lewati. Siapa tahu kertas itu tidak sengaja jauh dalam genggaman dan terseret angin.

"Di mana?" Aku menggeleng. Kami masih mencari.

Ya Allah mengapa sesulit ini saat selangkah lagi mungkin aku akan bertemu dengan kedua orang tuaku, mengapa?

"Al, stop dulu." Aku mengabaikan, meneliti setiap jalan takut kertas itu jatuh di sana.

"Almira," seru Sena saat panggilannya tidak digubris. Dia bahkan menarik tasku agar aku menghadapnya.

Napasku terengah, air mataku bahkan berlinang dengan debu yang menempel. Namun aku tidak memperdulikan keberadaan kertas itu jauh lebih penting.

"Tenang dulu, coba lo inget-inget di mana." Suara Sena memelan, dia sepertinya melunak saat melihat wajahku tidak karuan.

Rumah Pelangi [SELESAI]Where stories live. Discover now