18 . Ungkapan Hati

3.4K 528 69
                                    

Terlambat. Satu kata yang membuat penyesalan Ali semakin menguat.

Dia memijat pelipisnya, saat memikirkan ucapan Bi Minah yang menjelaskan apa yang tidak ia ketahui selama ini.

Dia.. memang laki-laki terjahat yang menyia-nyiakan ketulusan istrinya, mengganggap bahwa semua salah Emira, lalu melampiaskannya pada anak mereka; membuangnya, bahkan ego Ali yang tega tidak mencarinya selama belasan tahun.

Sampai saat ini Ali bahkan baru menyadari bahwa usia putrinya sudah menginjak remaja, pikirannya pasti sudah dewasa, dan hatinya pun sudah mengerti apa yang baik atau tidak.

Dan, apakah jika ia bertemu dengan putrinya, dia akan dimaafkan atas semua kekhilafannya? atas semua praduganya selama ini?

Ali mengusap wajah kasar, sekali lagi dia melirik ponsel yang masih belum menandakan balasan pesan dari seseorang.

Saat malam kemarin Bi Minah memberitahu, Ali langsung menghubungi seseorang yang bisa menjelaskan semuanya, seseorang yang--mungkin--Ali tahu membenci dirinya, dia Alandra.

Sudah saatnya mereka berdamai dengan masa lalu, meluruskan semua kejanggalan yang ada. Walau Ali ragu apakah Alandra akan memaafkannya, atau tidak mengingat kesalahannya selama ini yang tersadar saat Bi Minah menjelaskan semuanya kemarin malam.

"Tuan, tau kan bahwa batas meninggal seseorang itu tidak terpaut usia? Bukan hanya orang yang sudah tua, namun anak muda bahkan anak-anak kecil sekalipun jika Allah sudah menakdirkan umur seseorang, maka terjadilah. Karena masalah rezeki, jodoh, kematian, itu sudah Allah tulis di lauhul mahfudz," tutur Bi Minah pelan.

"Termasuk, meninggalnya Emira." Sontak membuat Ali memandang wajah Bi Minah yang menunduk, dia tahu bahwa Bi Minah menahan tangis.

"Jangan salahkan takdir, apalagi menyalahkan anak Emira yang membuat Tuan kehilangan Emira. Jika berbicara kesedihan, siapa yang tidak sedih kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup kita?" Bi Minah sedikit mengangkat wajah untuk mengusap air matanya yang mengalir.

"Anak itu titipan Allah, Tuan. Dia bukan hanya sebuah rezeki, namun juga sebuah bukti cinta kalian berdua sebagai orang tua. Allah tidak mungkin menitipkan kesembarang orang, jika Dia telah memberi, maka Dia percaya bahwa kalian mampu menjaganya." Ali merasa tersindir, dia sadar tindaknnya salah, kedua lengannya mengepal menahan rasa marah pada dirinya sendiri.

"Jujur, saat Tuan memaksa saya membuangnya, hati saya sakit. Bukan saja kehilangan Emira yang sudah saya anggap sebagai anak, namun Tuan juga telah mengandakan rasa sakit saya karena membuang anak Emira." Tangisan Bi Minah pecah, dia bahkan menutup mulutnya agar isakan itu mereda.

"Emira memiliki penyakit, Tuan. Penyakit yang tidak pernah ia ceritakan pada Tuan--" Belum sempat Bi Minah melanjutkan Ali segera memotong ucapannya.

"Penyakit?" Bi Minah mengangguk pelan.

"Kardiomiopati atau lemah jantung. Penyakit itu yang membuat Emira meninggal saat anak kalian lahir, dan dia tidak pernah menceritakannya pada Tuan."

"Kenapa, Bi?" Ali membulatkan mata, dia bahkan berdiri dari duduknya. "Kenapa kalian menyembunyikannya? Kenapa Bibi tidak cerita masalah serius ini?"

Bi Minah menangis, dia tidak sanggup memandang wajah Ali.

"Apa karena Emira hanya mampu bercerita pada Alandra, Iya?" Ali memandang arah lain, dia mengusap wajahnya kasar.

Bi Minah yang awalnya tidak berani menatap Ali, kini ia ikut berdiri memandang dalam Ali. Bukan sebagai majikannya, namun sebagai anak laki-laki yang salah. Jujur itu membuat Bi Minah kecewa karena tuduhan Ali.

"Hentikan, Tuan! Emira tidak ada hubungan apa-apa dengan dia. Kenapa Emira tidak bercerita?" Bi Minah memandang Ali tajam dengan deraian air mata.

"Sekarang jika saya bertanya apakah Tuan peduli dengan Emira? Tidak 'kan?" mata Bi Minah memicing ke arah Ali.

"Sejak praduga Tuan yang menuduh Emira, saya tidak berniat ikut campur urusan Tuan, itu adalah masalah pribadi keluarga kalian. Namun, saat sering melihat Emira menangis di dalam kamar, lalu dia pura-pura tersenyum, saat dia bercerita bahwa Tuan tidak pernah sekalipun mengelus perutnya yang mengandung anak kalian dia menangis di kamar saya. Saat Tuan malah sering memarahinya saat ia ingin membantu Tuan pembereskan pakaian, padahal ia hanya ingin memenuhi kewajibannya sebagai istri. Saat dia mengajak saya berbelanja membeli perlengkapan bayi, lalu menaruh baju itu di lemari diam-diam. Apakah Tuan ada? Apakah Tuan peduli padanya?" Bi Minah sampai menekan hatinya yang nyeri, rasanya sakit saat menjelaskan semua itu, dia meluapkan perasaan yang Emira pendam selama ini, anggap saja bahwa ia memarahi Ali karena tidak pernah memandang Emira baik.

"Lalu penyakit itu saya tau saat Emira menangis memegang jantungnya, katanya hanya kecapekan setelah menangis. Namun, saya tau itu tidak wajar. Dan saat sebelum Emira meninggalkan kita semua, dia bercerita bahwa ia memiliki penyakit itu, dan memilih menyembunyikan semuanya, termasuk pada Tuan."

Rumah Pelangi [SELESAI]Where stories live. Discover now