Kesan Pertama Begitu Menggoda

Começar do início
                                    

"Udah." Jawabnya sambil menunjuk buku LKS.

"Urang nyontek punya maneh, lah?" Kataku sambil sedikit memohon.

"Ya udah, nih!" Buldog mengasongkan LKS-nya yang membuatku gembira. Oh, nama wanita itu siapa? Kataku dalam hati sambil dibantah bahwa itu bisa diurus nanti ketika istirahat.

Setelah aku mengerjakan eh.. setelah aku mencontek tugas yang sudah Buldog kerjakan, bel istirahat kedua datang. Jam istirahat kedua ini waktunya satu jam dipotong salat zuhur berjamaah dan hal ini bisa menjadi dua hal di SMA DH atau dalam kasusku tiga hal. Pertama, waktunya makan siang, cemil-cemil atau melakukan hal lainnya di sekolah. Dua, bisa menjadi pilihan kabur dari sekolah. Dan ketiga, yang akan kulakukan adalah mendapatkan nama si gadis manis itu. Karena aku adalah seorang Sherlock Holmes generasi baru, maka tentu saja investigasi pencarian nama korban akan mudah kudapatkan. Sebagai seorang siswa SMA yang sedang bermain detektif untuk urusan penasaran akut. Aku akan mulai menanyakan kepada teman sekelasnya ̶ ̶ Tunggu! Mengapa insting detektifku berkata bahwa ada di antara kalian yang berpikir, 'kenapa repot banget pengen kenalan doang?' Ini sangat mengganggu ritme narasiku. Percaya atau tidak. Hal ini lebih menyenangkan dan sedikit bau-bau petualangan.

Masih mengenakan seragam olah raga dan masih bermuka merah karena kecapean, dia memegang botol air mineral serta mengobrol dengan teman-temannya. WOW! Sekarang saatnya. Tidak boleh kusia-siakan kesempatan ini. Cara investigasi Sherlock tak jadi kupakai. Lalu, aku berjalan sampai berjarak beberapa centimeter darinya. Sambil memandang si Manis ini, kurasa jantungku berdegup begitu kencang hingga aku agak kesulitan bernafas. Dan entah kenapa kata 'hai' terus menggantung di pangkal lidahku, tak kunjung keluar. Saat itu aku jadi gagap total!

"Nanti kita mau jajan apa, Fus?" Tiba-tiba si Buldog bertanya tanpa melihat kondisi.

"Eh.. apa, Dog?" 2(Jangan di tiru! Ini bisa diartikan "eh, apa anjing?" Kalimat ini terlalu kasar buat anak-anak.)

"Hmm.. yang.. segar mantap aja, deh! (.)(.)" Aku menjawab lagi dengan gugup dan tidak menentu.

"Eh, bentar! Dompetku ketinggalan." Sambil sesekali curi-curi pandang pada si Manis itu aku menunggu si Buldog yang kembali ke kelas mengambil dompet. Tadi aku bertekad untuk berkenalan, tapi sekarang aku sadar lebih memilih melawan lima belas preman Cicaheum 3(Terlalu hiperbola dan dibuat-buat memang. Oh, iya. Cicaheum yang aku maksud adalah terminal di Bandung. Dan seperti semua terminal, selalu dipenuhi preman, ORMAS yang isinya preman, dan pegawai DISHUB yang kepreman-premanan.) dari pada kenalan dengan si Manis. Sepertinya aku tak akan berkenalan sekarang. Dan hal itu membuatku menyadari bahwa cewek yang enggak terlalu montok dan terlalu cantik ini, bikin orang sepertiku yang sudah malang melintang dan melegenda malu dan gugup. Memang sudah takdir sepertinya untuk menjadi seorang Holmes lagi.

"Hei, Fus. Kenapa sih dari tadi melongo terus?" Si Buldog bertanya dan tanpa menunggu jawabanku dia mencengkram pundakku lalu menyeretku menuju kantin yang ada di lantai satu. "Hayu ke bawah. Anak-anak pasti udah nungguin."

"Dari mana aja?" Si Dablo bertanya ketika kami sampai di kantin.

"Ah, paling kalian pada adu pedang dulu di WC. Maneh pada tobat sebelum rumah maneh berdua di balik tanahnya kayak Sodom dan Gomorah!" Timpal si Joy yang melihat Buldog merangkul bahuku dan aku merangkul perut buncitnya ̶̶ ̶ Buldog memang besar. Dengan spontan aku mencoba melepaskan diri, tapi si Buldog hanya diam sambil senyum-senyum. Lalu dia berbicara seperti gorilla polos, "apa sih? Hayu jajan, ah." Dan aku tetap tak bisa melepaskan rangkulan monster ini.

"Mending naik dulu ke lantai empat. Udah mau mulai salat, nih!" Si abang buka suara menghindarkan kami dari ejekan Joy dan Dablo lebih lanjut.

"Ah, baru turun ini, bang. Makan dulu lah!" Protes Buldog sambil berjalan sendiri ke kantin.

"Si Buldog, warkop pisan! Turun asik naik ogah." Timpal Dablo.

Tak lama kemudian, Buldog kembali lagi dengan membawa banyak gorengan. Ketika sedang asik makan gorengan, dari jauh terdengar suara Pak Djelal. "Hei! Hayo semua ke musala. Kamu jangan kabur, Dani!" Kami pun bergegas ke lantai 4 karena tidak mau kena sabet pak Djelal.

Selesai Salat, kami duduk menunggu absen salat. Aku melihat sekeliling dan terpaku melihat si Manis ada di barisan pertama tempat salat wanita. Akhirnya aku putuskan untuk bertanya pada teman-temanku. "Heh, maraneh enggak ada yang kenal sama cewek itu?" Sambil kutunjuk si Manis.

"Gue enggak tau namanya dia. Tapi kayaknya gue kenal sama temennya. Mau tahu, lo?" Ujar Dablo.

"MAU! Mana temennya? Kataku tak sabar

"Sepuluh ribu rupiah, ujang Nufus! Biaya informasi." Dablo berkata sambil menyorongkan tangannya.

"Tai maneh, Blo! Aslinya ngebet pisan urang." kataku memohon, memelas, mendesak atau bisa dibilang.. Enggak penting lah.

"Enggak bisa, Fus. Kalau mau tanya sama yang lain sih boleh, tapi gue ingatkan sekali lagi, mereka enggak ada yang tahu. Hmm.. hmm.. hmm.. Hahaha." Jawab Dablo sambil tertawa licik.

"Buat ongkos balik, Blo. Enggak ada lagi. Gini aja, di masa depan yang enggak bisa ditentuin waktunya, gua pasti bantuin lo. Apapun jenis bantuannya."

"Racun! gue enggak akan tergiur."

"Gua janji. Kalau gua nanti bisa beli emas batangan, gua potong setengahnya buat, lo!"

"Emas batangan? Bo'ong lo, Fus?" Tanya Dablo mulai tergoyah keimanannya.

"Beneran. Asal setengah biaya beli, patungan lo juga, hahaha." Kupermainkan si Dablo, lalu kulanjutkan. "Besok gua bayarin warnet tempat maneh biasa maen game, 1 jam, Blo!"

"Sori, sekarang infonya enggak jadi gue jual." Jawab Dablo sambil mengalihkan pandangan dariku.

"Ayo, Blo.. Siapa, Blo? Yang mana orangnya, Blo?" Kutarik kuping si Dablo, kujambak rambutnya dan akhirnya kuambil kacamatanya.

"OI! Balikin kacamata gue. Burem oi, Fus."

"Yang mana temennya dia? Jawab cepetan, Blo!" Aku berkata sambil menghindar dari si Dablo.

"Aduh.. yang mana, ya? Gue hilang ingatan. Hah, siapa nih? Kok muka lo kayak familiar." Dablo meraba-raba muka orang lain.

"Maaf, kang! Jangan megang-megang muka saya." Kata orang itu.

"Ah, tai nih si Nufus. Balikin oi! Siapa sih ini?" Dablo yang kebingungan meraba wajah siswa lain lagi.

"Jawab dulu, Blo?" Aku berkata sambil terus menghindari si Dablo.

"Gue enggak bisa tunjukin kalau gue enggak bisa lihat, fus."

"Racun! Urang enggak tergiur."

"Andri. Namanya Andri. Anak kelas satu yang rambutnya keriting, punya tahi lalat di pipi dan jenggot kambing tipis."

"Nih, kacamata maneh!" Sambil kusodorkan kacamatanya.

Dablo kembali memakai kacamatanya. "Nah, ini orangnya!" Dablo menunjuk muka orang yang tadi wajahnya dia raba.

"Eh, temen kamu yang itu, siapa namanya?" Tanpa berlama-lama kutunjuk si Manis.

Dia masih bingung, lalu berubah jadi ketakutan karena Abang, Buldog dan Joy yang awalnya terkikik ikut menatapnya dengan tajam. Dengan ketakutan dia berkata. "Lani!"

Hahahaha.. aku tertawa girang. Abang mulai memainkan gitar. Dablo bernyanyi dengan merebut mik muadzin. Buldog memukul lantai dengan keras tapi berirama. Joy dan aku mulai menari latar dengan tempo yang teratur. Semua teman-teman kelas dua pun ikut menari, lalu kakak-kakak kelas tiga, dan terakhir kelas satu mengikuti kami. Tadinya aku dan Lani akan menari di tengah mereka semua, tapi tempat itu sudah diisi guru-guru yang ikut bernyanyi dan juga menari. Seperti Pak Yudi guru matematika yang dingin dan menakutkan. Lalu, pak Djelal yang suka menyuruh push-up. Kemudian Pak Arif guru kesenian menatapku, lalu dia berteriak berirama merdu, "HEI.. SEPERTI YANG MEREKA BILANG DI KLATEN. ADA BOCAH YANG KENA BADAI ASMARA SECARA PATEN!" Layaknya drama-drama musikal Hollywood atau Bollywood, musik kian riuh kemudian mereka semua mengarak aku dan Lani. Memaksa kami berciuman di depan umum 4(Aku tak menyangka guru-guru sangat mengapresiasi cinta monyet anak SMA dengan hiperbola seperti ini. Hingga lupa batasan moral di Indonesia.). Lalu.. Sudah! Jangan dibaca terlalu serius. Nanti ceritanya kulanjutkan lagi.

Nafas NufusOnde as histórias ganham vida. Descobre agora