Kesan Pertama Begitu Menggoda

10 2 0
                                    

Baiklah. Kukira sudah waktunya untuk menceritakan babak yang membuat setiap orang. Siapa saja. Dimana saja. Apapun jabatannya. Seburuk dan seindah apapun nasibnya. Mereka akan merasa jadi orang yang paling bahagia di dunia.

Barangkali bagi Buldog, sesuatu yang membahagiakan ini adalah hal yang simpel. Bagi Dablo, hal itu adalah mendapat emas ̶ ̶ secara harfiah. Bagi Abang hmm.. kukira hal itu cukup banyak. Dan bagi Joy, hal itu juga cukup banyak. Tapi bagiku, orang yang bersahaja dan sederhana ini, hal yang paling membuatku bahagia adalah jatuh cinta. Apa kalian pernah ingat? Ketika dunia terasa ringan dan riang. Tidak ada hal-hal lain yang terlalu jadi bahan pikiran. Semua sirnah, musnah dan tak ada sesuatu yang lebih berarti saat kita sedang jatuh cinta. Terkadang jatuh cinta itu tak di awali dengan hal-hal yang menyenangkan. Seperti siang itu, di mana babak ini berawal.

Kemalasan sedang tinggi-tingginya ̶ ̶ walau aku tidak ingat kapan terakhir aku rajin. Matahari menembus atmosfer dengan ganas. Mungkin sudah banyak lubang di atmosfer dan akhirnya membuat kita mudah terkena kanker kulit. Ditambah bangunan sekolah yang penuh dengan jendela ini, kupikir sebelum meninggal karena kanker kulit, akan lebih banyak yang meninggal karena dehidrasi. Untungnya sebelum hal mengerikan itu terjadi, sistem kekebalan tubuh kami beraksi. Kami para siswa-siswi SMA DH menjadi sangat malas 1(Sejujurnya, aku tak tahu apa kemalasan bisa menyelamatkan kita dari kematian akibat kanker kulit dan dehidrasi.) dan berkeringat.

Waktu itu, aku sudah masuk kelas dua SMA. Aku sekelas dengan Border alias Buldog dan Abang. Selain siswa-siswinya, untung di siang yang bikin malas itu ibu Yati guru Bahasa Indonesia kami punya pikiran yang sama. "Buka LKS halaman 23, kerjakan soalnya dan kumpulkan di meja ibu setelah beres." Dia pun bergegas pergi meninggalkan kelas. Setidaknya sudah tidak ada yang menghalangiku untuk tidur di kelas. Tapi karena panasnya, aku tidak bisa tidur. Jadi, aku hanya memperhatikan orang-orang sambil duduk di meja dekat jendela di lantai dua. Abang sudah sedari tadi meninggalkan kelas untuk cari angin, katanya. Lalu, kuperhatikan Buldog. Dia yang biasanya rajin dan penuh apresiasi, sekarang hanya membaca komik. Jika dilihat, alangkah kecil buku komik itu di tangan besarnya. Tiba-tiba Buldog melihatku. "Baca komik waktu belajar juga menghargai komikus-komikus Jepang yang lucu. Semoga komik Indonesia ke depan lebih bagus dari komik Jepang!" Selesai bicara, dia terburu-buru memunggungiku. Apa maksudnya? Ah, mungkin cuma GR saja gara-gara kuperhatikan tadi.

Terdengar dari kejauhan suara pak Jaja. "Hayo, anak-anak. Semangat! Itu.. Desti. Jangan berhenti, kamu!" Aku jadi tertarik melirik keluar, melihat ke arah lapangan. Jam 11 siang bolong gini, Pak Jaja bersemangat sekali. Dan pak Jaja yang badannya besar itu, jelas berbeda dari yang lain. Tentu ini membuat kesal para siswa yang tidak ingin cape olah raga dan kepanasan di siang bolong. Pasti mengesalkan berada di luar sama berlari, sit-up, push-up.. OH! Ada anak kelas satu yang menarik perhatianku. Dia memang bukan yang tercantik atau termontok di antara teman-temannya. Tapi, dengan muka merah padam, dia masih terlihat manis bagiku.

Kenyataan bahwa aku terlalu cuek pada siswa lain, padahal ini sudah tiga bulan semenjak tahun ajaran baru dan aku seperti belum pernah melihatnya. Lagi pula, sekolahku ini punya siswa yang lebih sedikit dibanding sekolah lain. Belum lagi, setidaknya aku dapat melihat wajah-wajah baru itu saat sholat berjamaah. Siapakah si Manis itu? Posisi kelas di lantai dua dan bangku yang cocok ini memang tempat yang enak untuk mengamati kejadian-kejadian di lapangan. Momen yang selalu jadi favoritku itu adalah mengamati si Joy yang sering dihukum karena telat. Namun aku tahu sekarang, mengamati dari posisi ideal ini adalah takdir untuk melihat si Manis yang ideal buatku. Baik! Aku akan berkenalan dengannya.

"Udah ngerjain tugasnya, Fus?" Buldog yang tiba-tiba berada di dekatku bertanya dan mengalihkan pandanganku.

"Belum. Maneh udah?" Aku balik bertanya.

Nafas NufusWhere stories live. Discover now