L17

1.3K 217 9
                                    

Don't forget to klik ⭐

****

Hening. lorong yang didominasi warna putih itu terasa dingin dan hampa. Tiga orang berdiri dengan gusar, berdiri di depan pintu bertuliskan UGD. Khansa menurunkan pandangannya, tidak menyangka akan hari ini. Hamil? Khansa ikut terkekeh dibuatnya, ini tidak bercanda kan? Padahal Khansa mencoba untuk percaya pada sang Kakak, tapi lihat sekarang, kenyataan bagai pedang menghunus hati Khansa telak. Ternyata Khansa salah orang untuk dipercaya.

Aaron mengusap wajahnya kasar, kakinya tidak bisa diam sedari tadi. Pandangannya bergulir pada Arsen yang nampak menundukkan wajahnya, yang Aaron lihat, Arsen tidak menunjukan emosi apapun. Diam membisu dengan wajah sedingin es, Aaron tidak tau apa yang dipikirkan Arsen, segala emosi tampak tenggelam dalam manik hitam Arsen yang menggelap.

Aaron terkesiap saat mendengar suara derit pintu, Arsen bergerak cepat disusul Aaron dan Khansa setelahnya. Napas Arsen terasa memberat kala menatap mata dokter pria itu.

"Umur janinya baru memasuki dua bulan, hanya pendarahan kecil, disebabkan stress yang berlebihan dan kelelahan. Puji Tuhan kalian membawa Bu Mishall dengan cepat." Jelas Dokter. Dokter pria itu tersenyum simpul, menepuk bahu Aaron.

"Semuanya baik baik saja, baik istri dan anak anda tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Lalu Dokter pria itu pergi meninggalkan Aaron yang terpaku, anaknya? Bahkan Aaron ragu untuk mengakuinya, Aaron masih terlalu waras, dia tidak akan melakukan hal di luar batas dengan Mishall.

"Lo puas sialan?! Gue gak nyangka yang jadi selingkuhan lo itu temen gue sendiri?" Arsen membuka suara. Suara berat Arsen yang menggema membuat Khansa beringsut mundur perlahan. Tubuhnya bergetar saat matanya bersiborok dengan mata tajam Arsen.

"Hah, seharusnya dari awal gue gak pernah anggap perempuan busuk itu temen gue."-apa lagi mencintainya kayak gini.

Tentu saja kalimat selanjutnya hanya bisa Arsen telan bulat bulat dalam hatinya. Arsen meremas saku jinsnya, meremas kalung yang sempat Arsen beli untuk Zoey. hatinya benar benar mencolos saat ini, sakit, kecewa dan marah bercampur menjadi satu.

"Dan lo tau." Ujar Arsen sarkas pada Khansa. Arsen ingin tertawa, betapa menyakitkannya melihat kakak kandung sendiri berlinang darah, menahan rasa sakit selama ini. Sekarang, dengan seenak dua kakak beradik di depannya ini menyakiti Mishall, setelah apa yang dilakukan Arsen untuk membuat senyuman manis Mishall terbit walau sedikit, terlebih Khansa yang notabenenya adalah teman Zoey. Rasanya Arsen ingin tidak percaya ini.

****

Zoey terbangun karena sinar matahari pagi yang menelusup masuk di cela cela gorden putih tipisnya. Menguap lebar lalu mengucek matanya yang membengkak, terdiam untuk beberapa detik. Matanya bergulir ke seluruh ruangan, behenti tepat pada hoodie merah muda tergeletak di ujung kasurnya. Mendengus remeh saat mengingat semalaman dia menangis dengan memeluk hoodie itu.

Kesiangan, Zoey melirik jam weker di atas nakas tempat tidurnya, pukul tujuh pagi. Zoey enggan untuk pergi sekolah hari ini, tidak menghiraukan teriakan Mama yang sudah memanggilnya.

"Zoey sekolah, kamu udah terlambat!" Mama membuka pintu asal, menatap sang anak yang balas menatapnya datar. Sebenarnya Mama bertanya tanya karena kemarin Zoey pulang dengan keadaan menangis, mengurung diri bahkan melewati makan siang dan makan malamnya kemarin.

Mama mendekati Zoey, duduk di sebelah kanan anaknya. Mengelus lembut surai hitam Zoey. Mama tersenyum, wanita paruh baya itu tidak akan memaksa Zoey untu bercerita jika memang Zoey belum siap. Mama tau, Zoey perlu waktu.

"Ya udah, Mama telpon wali kelas kamu aja." Ucap Mama lembut. Memeluk sang putri saat melihat bibir Zoey kembali bergetar dengan mata menerawang jauh. Seingatnya ini bukan peringatan hari kematian Suaminya ataupun hari ulang tahun sang Papa. Zoey memang akan selalu menangis dan mengurung diri di kamar pada hari hari yang menyangkut Papa.

"Selamat ulang tahun, anak gadis Mama." Ujar Mama, menghirup aroma rambut Zoey. Bahu Zoey bergetar, kemarin adalah ulang tahun terburuknya. Mama semakin mengeratkan pelukannya saat merasakan bahunya basah karena Zoey yang menangis tanpa suara. Mama mengelus surai hitam sang anak, merasakan hatinya ikut mencolos dengan isakan tertahan Zoey.

"Zoey kamu masih percaya miracle?" Ujar Mama lembut. Mama melepas pelukannya, mengusap air mata Zoey dengan sayang. Mama tersenyum menenangkan, tangan Mama menyentuh dada Zoey tepat pada jantungnya.

"Di sini, Mama yakin bukan Cuma Papa 'kan?" dan setelah perkataan Mama, pertahanan Zoey kembali runtuh, napasnya tersendat dengan isakan keras. Sungguh, rasanya Zoey ingin bertemu Papa dan memeluk sosok hangat itu sekarang.

Mama benar, kotak miraclenya kembali bertambah lagi. Zoey membencinya, seharusnya mereka tidak perlu bertemu, seharusnya Zoey menolak saat Aaron mengajaknya bicara dalam lift dan seharusnya Mishall pun tidak ada.

***

Well... Menurut gue ini chapter paling failed di Liebe. Salah satu alasan gue ngaret buat update hehehe..
Maaf pendek kayak uco :v

See you next chapter
With love :*

LIEBEWhere stories live. Discover now