8

943 105 14
                                    


Aku masih terkejut, kejadiannya terlalu cepat untuk dapat langsung dipahami. Rasanya seperti lemot sekali. Celingukan mencari tasku yang terlepas entah kemana.

"Kamu cari ini?"tangan itu mengulurkan tasku.

"Terimakasih." Aku mendongakan kepala, menatap laki-laki yang menolongku.

"Bi, kamu nggak apa-apa? Kita pulang aja ya!"

Tanganku mulai berkeringat dingin, "Saya pulang sendiri aja, Pak!" Aku bergegas keluar gedung ini. Langkahku mendadak terhenti, tangan yang tercekal terpaksa membuat tubuh berbalik arah menghadapnya. " Apalagi Pak Mada?" kutahan volume suara agar terlihat sedikit lebih sopan dengan klien. Tidak cukupkah dia datang tiba-tiba dan menghancurkan usahaku untuk move on? Atau dia akan melengkapi rasa sakit ini?

Tanpa berkata apa-apa, Mada menarikku menuju mobilnya dan membuat terduduk di kursi penumpang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menghembuskan nafas lelah. Kenapa dia selalu ada disekitarku? Apa tidak ada pekerjaan lain, selain beredar di sekitarku?.

Aku hanya diam. Menyandarkan kepala ke sandaran kursi sambil melihat kearah jendela. Sengaja memejamkan mata untuk menghindari percakapan dengan dia.

"Rubi."

Aku pura-pura memejamkan mata.

"Rubi, aku tahu kamu hanya memejamkan mata. Tapi pasti masih bisa mendengar." Helaan napasnya menyapa indra pendengaranku."Setidaknya bicaralah sedikit padaku. Lihatlah meskipun cuman beberapa detik saja."

Aku ingin secepatnya sampai rumah.

***

Aku menatap langit gelap sambil menarik tali ransel. Menghembuskan napas kesal dan kaki menjejak tanah. Rasanya ingin segera sampai rumah dan melepas penat dengan rebahan di kasur kesayangan. Menikmati segarnya es teh meski hari sedang hujan. Tapi kenyataannya malah terjebak di balik pagar tinggi sekolah.

"Rubi?"

Aku menyipitkan memperjelas penglihatan yang agak tertahalangi kabut hujan lebat. Tubuhnya yang menjulang tinggi berjalan semakin dekat ke arahku.

"Rubi, belum pulang?" tanyanya lagi.

Aku hanya menggeleng dan tidak terkejut saat melihat dengan jelas siapa yang menghampiri. Akhir-akhir ini dia sering beredar di sekitar jangkauan mataku. Ada saja keperluan yang selalu bersinggungan denganku.

"Nunggu jemputan?"

"Tidak. Nunggu hujan reda." Aku menepi pada dinding terdekat untuk duduk di bangku semen permanen. Dia mengikuti duduk .

"Sepertinya hujan agak lama kalau nanggung gini, Bi." Pandangannya beralih ke padaku,"aku antar pulang saja ya?"

Aku menggeleng. Rasa-rasanya mulai tertebak maksudnya seperti apa. Walaupun aku belum pernah pacaran, setidaknya sudah pernah mengalami fase pendekatan seperti ini.

"Kalau tunggu reda bakal lama,"bujuknya.

Harusnya aku tidak memudahkan jalannya mendekat jika tahu akhirnya akan sangat menyakitkan sampai hamper membuat gila. Harusnya aku bisa mencari ribuan alas an untuk menolak ajakannya. Harusnya tidak perlu menggapai perhatiannya. Harusnya tidak perlu hanyut pada pesonanya yang selalu manis.

Aku tidak punya opsi lain saat itu selain menggangguk sambil menatapnya. Tapi badanku sudah terlalu lelah untuk mencari angkutan dan menunggu hujan reda sebab mama tidak bisa menjemput hari ini. ulangan pelajaran sepanjang hari ditambah dengan rapat koordinasi pengurus OSIS awal bulan menguras tenagaku. Membiarkan otak ini menyetujui usulannya kurasa tidak begitu buruk.

Bodohnya, aku terlelap begitu beberapa meter mobil yang kami tumpangi meninggalkan gedung sekolah menuju rumah.

***

Hari ini aku datang lebih awal dari biasanya. Deadline dari proyek iklan Mada semakin dekat dan semakin rewel. Kadang aku merasa ini hanya akal-akalanya saja agar proyek ini tidak cepat selesai sesuai kesepakatan awal.

Aroma makanan yang sangat akrab di indra penciumanku terasa mengganggu konsentrasiku karena memang dari rumah belum sempat sarapan. Aku menggeleng pelan. Mungkin hanya halusinasiku saja karena kondisi lapar ini.

"Loh, tumben datang pagi?" Andra menyapa dari luar kubikelku. Aku menatapnya sekilan sambil tersenyum sebagai jawaban agar tidak menjadi obrolan yang membuat kerjaan ini tertunda lagi. Karena aku tidak bisa jika hanya sebentar saja ngobrol dengan Andra sambil menghibah pagi-pagi.

Aroma tadi makin menusuk hidungku bagai nyata. Andra berjalan ke arahku setelah meletakkan tas pada mejanya.

"Nih sarapan dulu. Aku bawakan soto ayam dari warung mamakku." Andra menata rantang di samping laptopku.

Jika digambarkan pada tokoh komik, mungkin di mataku sudah bergambar bintang-bintang karena apa yang dari tadi aku pikirkan bukan hanya halusinasi saja efek lapar. Tanpa disuruh dua kalipun segera ku sambar sendok yang diulurkan Andra.

"Terimakasih ya, Ndra. Kamu selalu datang di waktu yang tepat."

"Syukurlah kalau waktunya tepat, Bi. Semoga saja tidak pernah telat kalau urusannya sama kamu." Andra tersenyum. Manis, cuman perasaanku saja atau memang tiap hari dia selalu manis ya?

***

Aku dan Andra menemui Mada untuk finishing iklan media sosial sekaligus proyek penutup pada kerjasama ini. kami datang 10 menit lebih awal dari jam yang telah disepakati.

Tempat pertemuan kali ini membuatku flashback pada cerita yang sedang berusaha kulupakan. Salah satu tempat yang dulu sering kami kunjungi untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Dadaku berdegup kencang kala melewati ambang pintu masuk dan melihat seseorang sedang melambai dari arah kanan. Persis seperti beberapa tahun lalu, saat kami sedang membuat cerita untuk kisah ini.

Hangat yang melingkupi telapak tanganku menyadarkan bahwa aku belum bergerak sejak selangkah dari ambang pintu. Andra menuntunku tanpa tergesa. Seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan. Aku menunduk, menatap tangan kami yang terpaut. Hangat yang menyelimuti menjelar ke dadaku dengan nyaman. Mencoba mengatur napas agar tidak terlihat gugup dan sanggup mengangkat kepala.

"Sudah lama menunggu Pak Mada?" sapa Andra sambil menjabat tangan Mada. Tautan tangan kami terlepas dan rasanya aku seperti kehilangan.

Tanganku mengulur salam kearah Mada juga demi kesopanan. Sedikit tersenyum untuk basa-basi sebelum dia mempersilahkan duduk.

"Silakan pesan minum dulu,"ucap Mada.

"Iya. Kamu mau minum apa, Bi?" tanya Andra.

"Apa ya?" aku masih membolak-balik buku menu meskipun hapal apa yang disuguhkan di sini.

"Bi, caramel macchiato kesukaanmu di kafe ini rasanya masih sama kok. Minum itu saja?" tawar Mada.

"Jangan, ini baru jam 11 pagi tapi gelas ketiganya baru tandas sebelum datang kemari. Greantea less sugar saja sebelum asupan kalori siang ini,"usul Andra yang masih membaca buku menu.

"Oke. Aku mau itu saja, Ndra,"ucapku sambil menutup buku menu.

Brak...

Aku terlonjak mendengar debuman dari buku menu yang lumayan tebal berbenturan dengan meja karena dilempar oleh Mada.

Follow ig aku ya @coronna.s
Langsung aku follback. Terimakasih, selamat membaca

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 28, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RATU JOMBLOWhere stories live. Discover now