5

1K 126 8
                                    

Aku merasakan hangatnya genggaman telapak tangan Andra. Aku tersenyum kearahnya. "Tidak.. Tidak apa-apa,"bisikku.

"Kalau kamu kurang sehat, mending aku aja yang nerusin ini," kata Andra meyakinkan dengan mata sedikit redup. Gengaman ini seperti ada aliran semangat yang menyalur. Rasanya nyaman.Tatapannya menelisik, tapi rautnya kentara cemas. Aku terpaksa tersenyum dan membalas genggaman tangannya untuk meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.
"Tanganmu gemetar, Bi."

"Ehm... gimana kalau kita makan dulu," interupsi suara di depan memutus pandangan kami. Aku mengangguk, lalu menyuruh Andra dengan isyarat mata untuk mengikuti intruksi dari Mada. Kami bertiga makan dengan keadaan hening, hanya denting sendok garpu menghantam piring yang terdengar.

Aku meraih gelas. Kunikmati aliran air yang mendorong makanan di dalam kerongkongan. Segar dan melegakan. Ketika mengangkat kepala rasanya aku akan tersedak. Melihat sepasang mata yang menatap tajam kearahku. Tanganku dengan sigap menutup hidung dan mulut bersmaaan. Aku terbatuk, sungguh tidak elegan.

"Kamu tidak apa-apa, Bi? " Andra menepuk-nepuk punggungku pelan. Aku menggeleng, lalu meraih gelas lagi untuk minum. Aku tidak lagi merasakan aliran air dalam tenggorokanku.

"Minum ini dulu, gelasmu sudah kosong. "Aku tak sempat melihat siapa yang menyodorkan gelasnya karena rasanya sudah sesak nafas karena tersedak. Gelas yang kupegang sudah tandas isinya ku letakkan kembali ke meja. Aku membersihkan ujung bibirku dengan tisu sambil melihat jam di pergelangan tangan kiriku.

"Lebih baik, tunda dulu saja pembahasannya."

Aku melihat kearahnya, "Tidak bisa, Pak. Iklan ini besok sudah jadwalnya naik media cetak." Tegasku. Seenaknya mau merubah jadwal, aku paling anti sama jadwal yang ngaret karena itu bisa merusak tatanan semuanya.

"Ya udah, pake yang ada aja. Sama yang tadi saya sampaikan,"sahutnya santai sambil menyadarkan punggung ke sandaran kursinya.

Aku melongo. Sialan!. Kalau tau gini kenapa tadi pake acara meeting gini segala. Padahal hari ini jadwal buat finishing ke produksi buat fix cetak besok.

"Kalau begitu saya permisi duluan, mau kejar anak produksi buat naik cetak besok," aku merapikan semua barang-barangku dan menarik Andra berdiri "Ayo Ndra. Permisi Pak Mada. " Aku tidak memperdulikan tatapan bertanya Andra. Langkahku lebar-lebar supaya cepat sampai pada anak produksi, karena cut off bahan masuk jam 15.00 untuk terbit di media cetak besok dan saat ini sudah pukul 14.12

Setelah berkejaran dengan waktu, aku kembali pada kubikelku. Rasanya lelah terhempaskan bersamaan dengan mendaratnya bokongku pada kursi kerja kesayanganku. Aku melirik Andra yang menyeret kursi mendekati mejaku. Aku masih tidak peduli dan memejamkan mata menyamankan diri.

"Bi, kamu sudah baikan,"tanyanya pelan.

"Hmm,"gumamku sambil mengurut pangkal hidung dengan ibu jari dan jari telunjuk.

"Aku curiga,"katanya kemudian. Jari-jarinya mengelus dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu namun tampak selalu rapi.

Aku menoleh padanya , "Apa?"

"Kamu tadi gemetar karena lihat cowok seganteng Pak Mada. "

Aku melotot kearahnya, "Teorimu enggak mutu, Ndra."

"Seriusan, atau tadi kamu kelaparan?"

"Emboh"

"Habis kamu makan, jadi kayak punya tenaga super dan bisa lari-lari gitu. Atau karena kamu minum bekasnya Pak Mada?"

"What? " Aku tidak bisa kalau tidak terkejut "Maksudmu apa Ndra? Yang tadi nyodorin gelas bukan kamu? "

"Bukanlah, sejak kapan aku minum air dingin?"

Aku menutup mulutku, astaga. Harusnya tadi tidak usah ada acara keselek segala.

"Kayaknya, dia yang akan melengserkan gelarmu deh, Bi"

"What the hell" kulempar gulungan kertas karton kearahnya "Nggak usah mulai dengan teorimu yang sama sekali nggak mutu. "

"Seriusan ini. Aku juga laki-laki, dan aku tahu kode-kodenya. "

"Bukan harta karun, ngapain pake kode. Minggir deh, aku mau pulang. "

Andra tertawa keras, aku tendang kursinya sampai dia hampir terjungkal. Bodo ah, nyebelin sih.

***

"Ma, ini bubur kuah kuning punya siapa? " Aku sangat lapar.

"Buat kamu aja," sahut mama.

Duh, mama bikin terharu. Baru saja tadi aku membayangkan, eh tahu-tahu sudah ada di meja makan.

"Dimakan dulu" tanpa disuruh 2 kali pun, akan tetep aku habisin. Tangan mama kurasakan hangat mengelus pundakku. "Obat kamu masih diminum, Bi? " aku menggeleng. "Udah nggak diminum lagi, Ma. Lama. Aku sudah sembuh kok,Ma." Seulas senyum terbit di bibir wanita cantik ini.

"Masih trauma ketemu Mada? " Sendok yang akan menuju mulutku mendadak berhenti di udara. Aku menarik nafas dalam, sendok yang tadi ngambang kembali mendarat dipiring lagi. "Aku sudah sembuh mama."

Mama tersenyum,"Yakin? " Aku mengangguk dan terus melanjutkan makan bubur.

Tangan halusnya mengusap kepalaku. Aku tahu, mama cemas. Tapi aku merasa sudah sembuh, meski reaksi tubuhku berlebihan saat bersinggungan dalam satu ruang bersamanya.

Kursi disebelahku berderit ketika suapan terakhir bubur kuning ini. Kudorong mangkuk menjauh dariku dan meraih gelas yang tadi sudah diisi air putih sama mama. Satu tanganku meraih kotak tisu yang agak jauh. Orang disebelahku mendekatkan kotak itu. "Makasih Bang."

"Iya." Aku terpaku, bukan suara bang Dika. Jantungku memompa lebih cepat. Tisu masih menempel pada bibirku dan aku menoleh ke kursi sebelahku. Kurasan keringat dingin mulai muncul di dahi dan telapak tanganku.

"Rubi, aku tidak akan menyakitimu."

Aku tidak bisa biasa saja. Aliran darahku semakin deras. Tanganku terkulai di meja, keringat dingin mulai menganak sungai dari dahi. Kakiku juga lemas, pasti akan rubuh jika berdiri. Aku paksakan untuk melihat kearahnya.

"Nga.. Ngapain ka.. Kamu disini" aku melihatnya menarik tisu dari kotak, dia semakin dekat. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Rasanya, ada yang halus menyapu keringat dikeningku. Aku masih tidak berani membuka mata, bahkan menahan nafas. Sesuatu yang hangat melingkupi wajahku.

"Buka matamu, tatap aku. Kita harus meluruskan kesalah pahaman ini, Bi. Kamu nggak bisa terus-terusan menghindar."

Aku masih tidak bergeming.

"Bi.. Buka matamu sayang,"suaranya melemah.

Jantungku tertikam mendengar kata terakhirnya. Sungguh, aku susah bernafas. Ingatanku seakan memaksa untuk kembali keenam tahun lalu, saat kami masih bersama. Aku tidak lagi bisa menahan bendungan air mata yang akan luruh. Tidak... Aku harus kuat. Kuat seperti enam tahun lalu ketika dia meninggalkanku.

"Pe.. Pergi!"

"Buka dulu matamu, setelah itu aku janji bakal pergi."

Janji lagi. Bahkan dimasa lalu, tidak satu pun janjimu yang terealisasi. Aliran sungai air mata semakin deras, udara semakin susah masuk kedadaku. Mendadak aku merasa lubang hidungku tak selebar biasanya.

Aku mencoba membuka mata, perlahan tapi pasti. Aku ingin dia cepat pergi.

"Buka, jangan ragu." Aroma mint ini aku yakin berasal darinya. Tidak berubah, dulu aku nyaman dengan aroma ini tapi sekarang aku merasa gemetar jika aroma ini terhirup hidungku.

Sepenuhnya aku membuka mata, tubuhku lemas. Tapi aku harus yakin, bahwa aku sudah sembuh dari trauma ini.

"Tatap mataku." Tangannya yang masih menangkup wajahku, diarahkannya tepat di depan wajahnya. Aku mencoba untuk menatap matanya, tapi sesak ini tidak juga hilang.

"Maaf, Bi. Gara-gara aku jadi begini. Keegoisanku menghancurkanmu, aku tidak tahu. Aku pikir, kamu akan baik-baik saja setelah aku pergi. Katakan... Katakan apa yang bisa aku lakukan?"

Follow ig: @coronna.s

RATU JOMBLOWhere stories live. Discover now