7

1.3K 125 14
                                    

Dulu, aku tidak pernah membayangkan akan seperti apa menjalani hari-hari tanpa dia. Tidak akan ada lagi tempatku menyandarkkan kepala. Tidak ada lagi tempat tangan ini terpaut. Tidak ada alasan buat menunggu sebuah pesan atau panggilan pada gawai. Mada, salah satu alasanku hidup. Mungkin terdengar berlebihan, tapi memang seperti itu adanya.

Bukan aku tidak bisa hidup tanpa dia. Buktinya, aku masih sehat sampai hari ini meskipun dia meninggalkanku bertahun-tahun. Bahkan lebih lama dari pada umur hubungan kami. Hubungan kami 4 tahun, dan dia pergi 6 tahun. Perbandingan yang sangat tidak imbang.

Jadi jomblo 6 tahun bukan perkara mudah. Awalnya aku risih dengan predikat "Ratu Jomblo". Tapi lama-lama aku paham, ini bisa menjadi salah satu alasanku untuk tetap melajang, alih-alih tidak bisa move on dari mantan. Adakalanya ketika grimis datang, aku teringat dia. Saat aku meratap, dia sudah tidak lagi disebelahku. Mungkin dia duduk di sebelah wanita lain di belahan bumi bagian lain, meskipun langit yang kita pandang tingginya masih sama.

***

Kelas mendadak sepi beberapa menit setelah bel istirahat berbunyi. Aku masih di kelas sendiri dengan novel yang baru saja kubeli kemarin sebagai hiburan. Lina tadi pergi ke kantin bersama pacarnya yang juga masih sekelas dengan kami.

Novel ini ber-genre teenlit. Cocok dengan usiaku yang masih memakai seragam. Isinya bercerita tentang seorang anak perempuan yang sekolah di tempat elite dengan beasiswa dan menjadi bahan taruhan beberapa anak laki-laki yang berasal dari keluarga kaya raya.

"Kurang ajar,"gumamku gemas.

"Siapa yang kurang ajar?"

Aku mencari asal suara itu dari balik novel yang kupegang. Dia lagi. Aku membuang napas sebal. Bola mataku berputar dan kembali tenggelam dalam novel tanpa merasa perlu untuk menjawab pertanyaan itu.

Suara derit kursi mendekat di sisi kanan mejaku. Tanpa melihat, kali ini aku tahu siapa pelakunya. Rasa dingin yang tiba-tiba menempel di tangan membuatku berjengit. Aku lirik ada minuman berwarna coklat satu cup lengkap dengfan serpihan es batu yang terlihat berkilau. Aku meneguk ludah pelan agar tidak terlihat begitu menginginkan minuman itu.

"Bi, lihat dulu," dia mengambil paksa novelku dri tangan "ini diminum ya. Hasil eksperimenku. Kamu nggak mau tanya ini apa?"

Aku mengedikkan bahu tetap menatapnya. "Kembalikan novelku." Kutadahkan telapak tangan tepat di wajahnya yang saat ini duduk di sebelahku."

"Ck. Ini diminum dulu. Jus alpukat yang aku campurkan dengan pop ice coklat. Kamu suka kedua minuman ini kan, Bi?" tangannya dengan lincah melipat bagian terakhir yang aku baca lalu melanjutkan memasang sedotan pada cup minuman berwarna coklat itu. "Nih minum."

Aku menerimanya dengan ragu. "Kenapa? Tenang saja, aku tidak akan meracunimu kok." Alisnya naik turun seiring dengan senyumnya yang mungkin lebih manis dari pop ice yang kini sudah ku pegang.

Dengan gerakan lambat aku mulai menyedot minuman ini. Rasa yang unik. Rasa alpukatnya kuat tapi manisnya tidak tenggelam. Teksturnya yang lembut bikin nagih.

"Enak?"tanyanya ragu.

Aku menatapnya setelah hisapan kedua pada cup manis ini. sirat matanya mengharap untuk jawaban yang baik. Dan aku, cuman bisa mengangguk tanpa berkata karena mendadak aku menyukainya berada di dekatku.

***

Aku sudah mengajukan pengunduran diri dari proyek yang sedang kukerjakan, iklan showroom milik Mada. Ini salah satu cara untuk meminimalisir pertemuan diantara kami.

Seperti dugaanku, caraku ini berlangsung sangat alot untuk mendapat persetujuan. "Ada masalah apa Rubi? " Pak Herman itu susah diyakinkan. Tidak mau dicap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, mau tidak mau harus kujelaskan secara garis besar saja, "Saya ada masalah intern dengan dia, Pak," tegasku tanpa basa basi.

Pak Herman menghempas punggung kesandaran pintu. Matanya menelisik rautku untuk menemukan alasan lain dibalik pernyataanku. "Tidak bisa, dari awal dia yang memilihmu untuk ini."

Tunggu, dari awal? apa maksudnya?. "Berarti dia sudah tahu saya bekerja disini?" aku berganti menilisik Pak Herman.

Tubuh tambunnya terlihat tidak nyaman pada sandaran kursi yang baru saja menopang tubuhnya. Tatapannya tidak lagi tertuju padaku, melainkan ke atap. Apa bagusnya atap dari pada wajahku. Tangannya mencari pegangan yang lebih kuat. Kalau kutafsirkan, tingkahnya seperti orang salah tingkah.

"Kalau itu saya tidak mengerti,"ucapnya.

"Bapak gugup? Apa yang saya tidak tahu?"desakku.

"Saya baik-baik saja, dan saya juga tidak menyembunyikan apapun dari kamu."

"Bohong!"cecarku.

"Sungguh." Aku masih menatapnya tak percaya.

"Saya resign,"tegasku.

"Tidak bisa! ikatan kerjamu belum selesai."

Aku hampir lupa, penaltinya cukup membuatku kere mendadak. "Oke, tapi hari ini saya ijin pulang!" Pak Herman membuka tangannya mempersilahkan aku pulang hari ini.

Barang-barangku tidak banyak, jadi tidak memakan waktu untuk mengemasnya dan segera pulang.

"Mau kemana, Bi "tanya Mbak Putri yang baru saja datang dari luar.

"Pulang Mbak Put."

"Kok...? "

Aku berlalu begitu saja tanpa ingin menjelaskan apapun dengan Mbak Putri. Langkah lebar-lebar kupikir bisa untuk membuatku lebih cepat sampai tujuan. Tapi sama sekali tidak memperdulikan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi.

Brak..

Tubuhku terpental kebelakang beberapa langkah sebelum bokongku mendarat pada lantai berwarna putih ini.

"Ada yang sakit?"

Suara itu datang bersamaan uluran tangan tepat didepan wajahku. Tanpa pikir panjang tanganku menyambut ulurannya. Aku belum sempat menatapnya ketika sudah berdiri. Tapi aku merasa tubuhku terseret ke ruang tamu sebelah resepsionis untuk didudukan menghempas bokong lagi, tapi kali ini kedaratan yang lebih empuk.

"Rubi? "

Follow ig: @coronna.s

RATU JOMBLOWhere stories live. Discover now