12. I Miss You.

7 2 0
                                    

***

"Tadinya mau ngerayain Valday's sama kamu, tapi Dilan 1991-nya baru rilis 28 Februari," Ucap Nic disela-sela perjalanan kami.

"Emang kalau valentine-an harus nonton Dilan?"

Nic mengangguk semangat.

"Biar sekalian ngebuktiin kalau aku ga kalah romantis sama Dilan," katanya dengan senyum bangga.

"Lah, di 1991 kan Milea sama Dilannya putus, Cho," protesku.

Nic tersenyum, "masa?" Tanya-nya dengan senyum, "kok aku gak tau ya?"

"Oh iya, kan belum nonton," jawabnya kemudian seraya menepuk dahinya sendiri, "makanya nanti tanggal 28 kita nonton berdua."






Tapi itu ucapan Nic di 14 Februari, sore harinya.

Kenyataannya hari ini Dilan 1991 tayang perdana di seluruh Bioskop dan aku nonton seorang diri--ah engga, lebih tepatnya salah satu diantara banyak manusia lainnya yang memenuhi bioskop.

Aku padahal udah sengaja belum booking tiket karena janji nonton bareng itu, tapi kemarin sore dengan tiba-tibanya Nic telpon aku,

"Chey, maaf besok aku gak bisa. Tiba-tiba Om Gio telpon dan bilang kalau besok ada pemotretan lain."

Om Gio, manajer Nic. Iya, Pria yang tempo hari aku temui secara tidak sengaja di lokasi pemotretan.

"Atau gimana kalau kamu ikut dan pulangnya kita nonton?" Tawar Nic.

Aku sempat membuka website Bioskop yang menayangkan Dilan 1991 guna memastikan jam-jam yang tersedia.

"Memang selesainya jam berapa?" Tanyaku balik.

"Eung...."

Nic terdiam, cukup lama.

"Om Gio gak ngabarin aku jelasnya kapan sih, tapi mungkin agak malam..."

Kini giliranku yang terdiam cukup lama seraya melihat-lihat jadwal penayangan paling malam yang tersedia yang ternyata jatuh pada pukul 20.45 WIB.

Dengan dahi berkerut, mataku beralih pada durasi film tersebut.

Aku menggeleng, "kemaleman, Cho."

"Aku bisa minta Om Gio--"

"--enggak, Cho. Kamu harus profesional dong!"

Walau samar, aku masih bisa mendengar helaan nafas Nic.

"Ya makanya begitu selesai kita langsung aja. Ya, Chey?"

Aku menggeleng, "enggak!" Finalku yang membuat Nic meringis.

"Enggak, Cho. Gak apa, kita bisa nonton lain kali," bujukku.

"Nanti kemalaman, kamunya yang capek, mending selesai pemotretan kamu langsung pulang dan istirahat aja. Ya?"

Memang samar, tapi aku bisa mendengar suara lemah Nic, "okay, have fun then!" Sebelum sambungan diputus olehnya secara sepihak.


Nic sepertinya tahu bahwa aku memutuskan untuk menyaksikan film itu sendiri.

Hey, aku tak sepenuhnya berdusta untuk ajakkan nonton dengannya lain kali. Karena aku benar-benar gak masalah menonton film ini untuk kedua kalinya dengan Nic.

Dan hari ini.

Disinilah aku berada.

Seorang diri, di tengah-tengah ratusan pasang mata yang tengah menyaksikan film yang sama, dalam ruangan yang sama denganku.

BEHIND : The TruthWhere stories live. Discover now