Bab 1. Perubahan Sikap Hendra Seminggu Ini

767 23 0
                                    

Mata Maya nanar menatap kenyataan di smartphone milik suaminya, Hendra. Antara percaya dan tak percaya, apa yang selama ini dikhawatirkan Maya terhadap perubahan sikap Hendra seminggu ini. Jari jari Maya gemetar menggeser percakapan percakapan Hendra dengan Dinda, tetangga sebelah rumah, yang menjurus kearah hubungan yang tak lazim dikatakan sebagai hubungan teman atau tetangga. Begitu intim dan... di baca berulang ulang kalimat kalimat itu, seperti mimpi. Semua terlambat, kata – kata yang di gunakan begitu mesra. Memang obrolan di aplikasi chat, antar Hendra dan Dinda bukan hal baru, pada awalnya sering mereka melakukan percakapan percakapan intens yang Maya anggap sebagai hubungan antar tetangga, sama-sama diorganisasi di perumahan tempat mereka tinggal, Maya sering mengabaikannya, karena ya dianggap suatu kewajaran. Namun semenjak suami Dinda meninggal, semenjak perubahan sikap Hendra padanya yang semakin romantis. Semua membuat Maya menaruh seribu tanya, gusar dan gundah, semua kekhawatiran dan kecurigaan kini terpampang jelas di layar smartphone suaminya, Hendra.

Dari awal menikah 12 tahun yang lalu, hingga terakhir minggu yang lalu, Hendra tak pernah memeluknya tiba tiba, menyerukkan hidungnya di lekukan leher Maya, dan mengecupinya lembut, tidak pernah. Tapi kemaren, tanpa sebab, tanpa kata ketika tengah memasak di dapur Hendra pulang dan memeluknya dari belakang, mengecupi cerukan lehernya lembut, menciumi aromanya hanya sekedar menanyakan menu masakan hari ini. Suara beratnya mengalun dengan mesra, dan itu tidak biasa seperti itu, belum pernah seperti itu, ini yang pertama kali. Kecurigaannya yang sempat dipendam kini muncul, kecurigaan akan perubahan sikap Hendra kini telah mendapatkan sebuah jawaban, lewat sebuah percakapan singkat yang dia temukan di dalam smartphone suaminya. Dada Maya serasa sesak, bibir nya bergetar, matanya memanas.

"Mamaa.. Iza mimic cucu!" Maya mengusap air matanya yang bergulir di pipinya sigap. Lamunannya pun buyar seketika ketika baju panjangnya ditarik tarik Iza, anak ke tiganya yang masih usia 3 tahun. Diletakkan Smartphone Hendra kembali ketempatnya dengan gundah, setelah menghapus percakapan terakhir yang terbaca olehnya, untuk menghilangkan jejak telah di baca tanpa ijin. Kakinya serasa lemas tak bertulang, rasanya begitu sesak, ditahan air matanya yang memburamkan pandangannya, rasanya seperti tenggelam dalam dasar laut yang dalam, sulit bernafas. Masih terbayang percakapan - percakapan bernada romantisme terpapar jelas bergulir seperti slide slide foto, Maya mengaduk aduk susu bercampur air di gelas dengan kacau, sekacau isi fikirannya.

Maya tahu betul sifat Hendra, sedikit dingin dan tak banyak bicara tentang hal hal yang tak penting, tidak romantis. Meskipun tidak romantis bukan berarti tak perhatian pada dirinya, pada anak anaknya, Maya selalu merasakan Hendra menyayangi keluarga kecilnya. Tapi romantis, merayunya dengan kata kata puitis? Tidak ada dalam kamus Hendra. Belum pernah Suami yang dihormatinya itu mengatakan rindu, sayang apalagi cinta. Maya sih tak pernah mempedulikan, selama Maya selalu diperhatikan di cukupi dan merasa disayangi, tak perlu kata kata romantis, seperti dalam roman picisan. " Mamaa... mana cucunya Izaa?" tarik Iza diujung baju panjangnya mengingatkan. Diserahkan segelas susu coklat untuk Izza yang dari tadi mengikutinya.

Masih dalam diamnya, Maya menyiapkan sarapan pagi, Suasana heboh pagi ini wajib hadir setiap pagi, jeritan Izza si kecil sebagai wujud pertahanannya dari ancaman kedua kakaknya, Nayya dan Nabila, teriakan kakak – kakaknya karena kena jambakan atau pukulan Iza mengalihkan gundah Maya sesaat. Biasanya Maya ikut teriak teriak mengkomando ketiga putrid putrinya, kali ini hanya diam membisu. Usaha menahan perih di hatinya mendominasi, menahan air mata dan isak keluar dari bibirnya. Maya berusaha berkonsentrasi menyiapkan semua hal, memasak, menyapu, menyetrika, melipat baju, sambil menyiapkan anak anaknya berangkat sekolah. Bekal, seragam, memandikan dan memasak dalam sekali gerakan.

Jam menunjukkan pukul 07.30 wib, anak anak Nayya dan Nabila sudah berangkat dijemput mobil jemputan menuju sekolahannya. Si Nayya putri pertamanya sekarang sudah kelas 6 SD, Nabila putri keduanya duduk di kelas 3 SD, sengaja disekolahkan ditempat yang sama agar tidak repot mengantar dan menjemputnya. Sedang sekarang tinggal Izza yang usianya 3 tahun di rumah, sibuk mengacaukan ruang bermain yang sudah dirapikan subuh tadi.

Maya berjalan mondar mandir di ruang tamu, resah menunggu Hendra selesai berpakaian dan bersiap berangkat ke kantor dekat rumah. Bingung dan resah antara bertanya dan meminta Hendra bicara jujur atau mendiamkan semua temuannya, pura-pura tidak tau? Sesekali di remas remas tissue yang sudah lecek ditangannya, sesekali mengusap wajahnya berharap bisa mengurangi keresahannya. Aroma wangi sabun menyeruak seiring kehadiran Hendra di ruang makan, waktunya sarapan. Nasi Goreng kesukaan Hendra. Lelaki tercintanya ini menghabiskan menu favoritnya tanpa beban, begitu lahap, tanpa reaksi berlebih, seperti biasa. Baru kali ini Maya mengamati gerak gerik Hendra secara intens.

Maya merasakan jantungnya makin berdebar, langkahnya mendekati tempat duduk suaminya di ruang makan. Hatinya terus menimbang nimbang antara bicara sekarang... bicara nanti, sekarang, nanti, sekarang..... tidak, jangan sekarang.. Bicara sekarang, Jangan sekarang nanti saja.. tapi... Bicara sekarang...Fix, nanti saja.

"Ayah Sudah mau berangkat?" Maya bertanya dengan suara parau, melihat suaminya beranjak dari tempat duduknya.

"hmm." Hendra mengusap bibirnya dengan tissue.

"Nanti pulang jam berapa?" Maya mengeraskan suaranya sambil membawa piring bekas sarapan Hendra ke tempat cucian piring.

"Kayak biasanyalah. Kenapa? Mau nitip sesuatu?" Hendra mengambil tempat duduk di ruang tamu sambil mengenakan kaus kakinya. Izza menarik narik celana ayahnya mencari perhatian.

"Eng... Enggak sih, mau tau aja kok." Maya mengangkat tubuh Izza yang merengek ingin ikut ayahnya pergi. "Ayyahhh, itut.. ica ituut.."

"Izzaa, ayah mau ke kantor sayang, bukan jalan jalan."

"Aku berangkat dulu Mah, dadah Izza sayang.. lain kali ya Nak, jalan jalan sama ayah. Cup cup cuup Ayah cium dulu,mmmuach.. jangan rewel ya, baik baik sama mama ya..." Maya tersenyum kecut melihat adegan ayah dan anak berpamitan, kembali hatinya ngilu.

"Hati hati dijalan ayah." Maya membukakan gerbang lebar lebar sambil menggendong Iza, Hendra mengeluarkan sepeda motornya, dan mengenakan jaket dan helm yang tersampir di atas sepeda motor. "Assalaamu'alaikum.." "Wa'alaikumsalam Ayah." Maya mengangkat tangan mungil Iza, membantunya melambaikan tangan kearah perginya Hendra, hingga lenyap di tikungan perumahan. "Dadah Ayah..., duhh ayah udah ilang deh..

Uffthh... bodoh, Maya menggigit bibirnya gusar. Hatinya serasa dicubiti, nyeri dan ngilu, Apa yang harus aku lakukan, Ya Alloh.. Maya menutup pintu rumahnya galau, dalam resah menemani Izza bermain seharian ini.

DIANTARA KITA [END]Kde žijí příběhy. Začni objevovat