PETIR

248 17 0
                                    

    "Rissa! Rissa! Rissa dengar abang! Rissa!"

Aku kembali melihat sekeliling. Baru saja aku rasa tubuhku di guncang-guncang. Aku dapati diriku yang duduk di lantai sebelah meja makan dengan menutup telingaku. Aku menatap Fian yang seakan terpaku didepanku. Fian langsung saja memelukku erat. Dan setelah aku ingat apa yang dikatakan Fian barusan, aku menangis sejadi-jadinya.

Tidak ada sepatah katapun dariku. Yang jelas, aku sakit sekali. Aku benci. Aku kecewa Fian bisa dengan mudahnya seperti itu. Sakit yang teramat sangat. Semua terjadi dengan tiba-tiba. Aku tak tau kenapa.

    Aku bangun dengan mata sangat sembab hampir tidak bisa membuka mata. Rasa sakit yang masih saja terasa. Sampai-sampai aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apakah semudah itu membuangku. Apa semudah itu meakhiri semua ini. Kalau selama ini aku bisa marah-marah, kali ini aku tak tau harus bagaimana. Aku tak tau kalau seandainya Fian benar-benar ingin melepasku. Aku benar-benar tak tau harus apa. Aku cuma bisa mengusap setiap air mata yang jatuh.

Kudengar pintu terbuka, itu pasti Fian. Tapi aku tidak pedulikannya. Aku hanya duduk di atas kasurku dan memalingkan wajah. Fian duduk dan memberika sebungkus nasi. Tapi aku tetap saja tidak mau peduli. Terlalu sakit. Amat sangat sakit.

    "Maafkan abang.." Katanya.

Maaf itu tak lagi bermakna sekarang, setelah berkali-kali Ia ucapkan. Apa maksut semua ini? Apa benar-benar Ia mau melepaskanku? Apa dia sama sekali tidak memikirkan perasaanku? Apakah semua ini hanya permainan? Apa? Apa? Aku tak tau.. aku benar-benar tidak mau tau? Rasanya aku takut sekali. Apa ini cuma mimpi? Pasti cuma mimpi..

    "Rissa! Rissa! Hei.. bangun! Rissa.. Ya Allah Rissa! Rissaa.. Rissa!"

Aku dengar Fian memanggil-manggil. Akupun bangun. Aku melihat Fian yang begitu cemas. Aku lihat sekeliling kamarku. Kenapa Fian bangunkan aku sampai begitu. Akupun bingung.

    "Astaghfirullah..." Ucap Fian sepertinya agak frustasi. Aku semakin bingung.

    "Rissa! Kau ok tak ni? Jangan buat aku takut!"

    "Kenapa?" Tanyaku bingung.

Kali ini kulihat Fian yang bingung.

    "Sudah pagi ke? Bangunkan aku sampai macam tu!" Kataku. Entah.. tenggorokanku sakit sekali untuk bebicara.

    "Rissa?"

    "Apa! Dah Rissa nak buatkan sarapan!" Kataku beranjak.

Tapi aku menyadari Fian membawa sarapan kekamarku. Dan entahlah.. kepingan puzzel seperti terbentuk di otakku. Tidak. Itu tadi bukan mimpi. Dan aku kembali terduduk. Tersentak untuk yang keberapa kali. Aku takut aku menjadi gila tak lama lagi.

    "Makan dulu.. Dah.. tak payah fikir apa-apa lagi! Dah tu.. jangan pikir apa-apa lagi!"

Fian menyuapiku makan. Aku seperti orang yang betul-betul hilang akal. Aku sendiri tak sadar. Aku takut aku bisa gila.

    Aku berangkat kerja juga. Meskipun dengan muka bengkak dan kesadaran minimal. Aku menjadi sering hanyut dalam pikiranku sendiri. Kadang aku lupa aku berjalan dimana, aku sadar sekelilingku saat ada yang menegurku saja. Jangan tanya soal kerja, aku bahkan lupa yang aku jalan barang apa. Aku sadar saat mau istirahat pertama. Aku jalan apa, aku dapat berapa.

Tau-tau sudah pagi. Entah waktu berjalan begitu cepatnya. Fian menunggu di depan seperti biasa. Dan aku langsung naik seperti biasa. Kami hanya saling diam. Sampai dirumahpun aku langsung masuk kamar. Aku malas. Aku sangat kecewa, betul-betul kecewa. Aku langsung tidur, sebelum pikiran-pikiran lain mengejarku.

Lagi-lagi waktu berjalan begitu cepat. Aku merasa aku baru tidur sebentar, tapi ternyata aku lambat bangun. Aku cepat-cepat mandi, dan ganti baju. Fian lagi-lagi standby di ruang tamu. Lagi-lagi kami berangkat kerja dengan diam. Sampai dikantin, Fian menarik tanganku ketika aku turun dari motor.

    "Kau mau mati?!" Seru Fian.

Aku bingung.

    "Nah makan!" Fian memberiku sebungkus nasi.

Bahkan.. aku sama sekali tidak merasa apa-apa. Bahkan rasa lapar.

Beberpa hari keadaan berlangsung seperti itu. Aku tidak banyak mengingat apapun. Benar-benar lupa. Aku berjalan kerumah, di hari minggu sepulang kerja. Fian berjalan dibelakangku. Tiba-tiba HP ku berbunyi. Kulihat Nama Heru terpampang dilayar. Aku langsung mematikan panggilan itu. Tapi HP ku berbunyi lagi. Belum sempat mematikan, Fian mengambil HPku.

    "Pasal inilah.. "Katanya. Kata pertama setelah berhari-hari kita berdua membisu.

    "Pasal apa?!" Sahutku.

    "Dia bukan sekedar kawan lama!" Kata Fian.

    "Rissa... tolong.. Abang  betul-betul nak lepaskan kau!"

Tidak ada tangis. Tidak ada kata apa-apa. Aku sangat terluka. Begitu mudahnya. Tapi.. aku juga ada harga diri. Aku takkan merayu. Aku sudah seperti sampah yang dengan mudah dibuang. Lalu.. untuk apa aku harus berusaha bertahan untuk laki-laki yang ternyata tidak benar-benar ingin bersama. Setelah kesalahan-kesalahannya kumaafkan, bahkan untuk yang tidak benar-benar kesalahanku pun, dia sudah membuangku.

Aku masuk kamar. Mengemasi semua barang-barangku. Dengan cepat aku bereskan sebelum kenangan menghantui pikiranku. Sebelum aku meringkuk tak berdaya, sebelum ada hasrat untuk merebut simpatinya. Setelah beres, aku memesan grab.

Fian masih terpaku di ruang tamu. Aku menemuinya dengan emosi yang terbakar. Aku menyerahkan kunci rumah.

    "Terimakasih untuk semua yang abang dah bagi.. Maaf kalau Rissa tak boleh jadi istri yang baik buat abang, satu yang Rissa nak cakap, Heru memang Ex aku, tapi tiada sekalipun Rissa nak curang! Setelah semua kecurangan abang selama ini.. Rissa masih lagi boleh tahan, tapi untuk kali ini.. Rissa ada harga diri lagi! Bodoh.. kalau Rissa nak merayu rayu abang.. "

Rasa sakit yang luar biasa. Membuatku sesak dan tak sanggup bicara lagi. Air mata yang kutahan jatuh juga. Aku hampir goyah. Tapi kali ini aku tidak mau lemah didepannya.

    "Aku pikir.. kita akan bertahan.. tapi.. nyatanya abang sama sekali tak ada niatan.. cuma Rissa yang terlalu berharap.. aku pikir semua ini berarti..."

Aku tak sanggup. Aku bersimpuh dan menangis. Rasanya seperti debu yang tak berarti. Aku benar-benar ragu, apa aku akan baik-baik saja. Hancur.. hancur berantakan.

    "Aku hantar.. Aku hantar Rissa balik!" Fian berusaha menolongku berdiri. Tapi aku menepisnya.

Kata-katanya itu seperti belati yang kian menyayat. Tapi aku tau dia menangis juga. Aku berdiri dan segera keluar dengan membawa 2 tas plastik besar. Grab pesanannku sudah datang. Aku segera naik.
Sepanjang perjalanan, aku menangis sejadinya. Tidak menyangka semua berakhir saat itu juga. Dan dengan cara yang seperti itu. Sebelum sampai aku menyuruh Triyas menungguku di guard. Aku tak yakin bisa berjalan sendiri setelah itu.

Begitu turun, aku langsung memeluk Triyas. Menangis sejadinya. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku lemas luar biasa. Aku memang lemah. Dari dulu.. aku memang tidak bisa mengahadapi masalah yang berat. Apalagi masalah ini, ini bukan masalah yang langsung bisa selesai. Triyas mengantarku pulang.

Nadia sangat terkejut mengetahui aku pulang dengan keadaan seperti itu. Aku baru merasakan luka itu semakin sakit. Kenangan demi kenangan terus berputar dikepala. Aku mulai merasa tidak sanggup. Aku tidak mau berpisah. Aku tidak bisa. Aku hanya bisa menangis dikamar yang sudah lama tidak ku tiduri. Aku menangis tiada henti.

Aku malu. Aku tidak tau bagaimana nasibku nanti. Bagaimana kata anak serumahku, bagaimana kata orang dikilang, semudah itu dia melakukannya, dia menyamakan aku seperti mantan-mantannya. Dan sekarang aku bernasib sama seperti mereka. Benar-benar aku seperti sampah. Apa harus cerai? Aku tidak bisa seperti ini.

JIRAN ✔Where stories live. Discover now