Rania kembali berdiri tegak, lalu pura-pura berpikir, "Hmm, kalau aku ngasih tahu langsung, enggak seru dong. Coba kamu pikirin, biasanya apa yang dimulai dari angka itu."
"Angka 0,8?"
"Iya," kata Rania, tampak antusias.
"Bilangan desimal, kan?" jawabku dengan yakin. "Terus kalau desimal, kenapa?"
Rania menepuk pelan bahuku dan tersenyum tipis, "Kurasa kamu masih anak-anak, ya. Aku balik ke tempat dudukku dulu. Kalau sudah waktunya, kamu pasti bakal ngerti itu apaan."
Sedikit tersinggung dengan kata-kata Rania, aku mengerutkan keningku. Namun aku tetap menjawab, "Oke."
Padahal kupikir, aku adalah gadis yang bersikap dewasa yang ada di angkatanku.
*
Aku dan Arlan Pratama baru saja turun dari bus bersamaan. Dia turun lebih dulu, lalu berbalik untuk memastikan aku tidak tertinggal--musim ujian kemarin, aku fokus dengan pelajaran dalam kepalaku dan nyaris kelewatan halte.
Omong-omong, kami tidak sedang pulang bersama. Hanya kebetulan, kami memang searah dan tinggal bersebelahan. Jadi, kami sama-sama sedang pulang, bukan pulang bersama-sama.
Terkadang saat sedang berlama-lama menunggu bus di halte, aku bisa mengingat kejadian saat pertama kalinya aku melihat keberadaan benang merah. Itu adalah kali pertama aku melihat benang merah yang tersambung, dan aku masih takjub sampai hari ini.
Soal benang merahku ...
Kulirik jari kelingkingku. Masih polos dan bersih dari ikatan benang merah.
Bisa jadi, itu hanyalah imajinasi belaka.
Kutatap lama-lama, berharap bahwa benang merahnya bisa muncul tiba-tiba tanpa ada interaksi.
Benang merah, muncullah. Benang merah, munculla--
"Alenna."
Dan benang merah itu benar-benar muncul. Namun tidak membuatku terlalu senang.
"Apa?" tanyaku.
"Aku boleh menanyakan opini?"
Aku menoleh ke arah Arlan Pratama, "Tentang apa?"
"Bagaimana perasaanmu ..." Kata-kata Arlan Pratama terhenti.
Dari ekspresinya, aku tahu bahwa dia akan mempertanyakan sesuatu yang serius.
"Apa?"
"Ini pertanyaan yang agak mengganggu, mungkin." Begitu katanya.
"Akan kujawab semampuku," jawabku, menyemangatinya.
"Baiklah." Arlan Pratama menarik napas panjang-panjang. "Bagaimana perasaanmu saat kamu diminta untuk bersiap-siap melepaskan salah satu orang penting di hidupmu?"
Aku terdiam, lalu berkedip selama beberapa kali, "Salah satu orang penting di hidupku?"
"Iya," ucapnya. "Bagaimana?"
Orang yang paling penting di hidupku adalah Mama dan Papa. Tentang melepaskan salah satunya, aku telah melakukannya. Jawaban dari pertanyaan yang dipertanyakan oleh Arlan Pratama tentu saja sangat mudah untuk dijawab. Sedikit banyak, aku mulai bisa menerka apa yang sebenarnya ingin disampaikan olehnya.
"Aku sedih, tapi kalau memang sudah begitu takdirnya, aku harus bagaimana?"
Arlan Pratama hanya terdiam. Langkah kami juga sudah membeku sejak Arlan Pratama mempertanyakan itu sesaat sebelum rambu lalu lintas untuk pejalan kaki menjadi merah. Kami pun hanya diam, saling berpikir dalam kepala masing-masing.
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Thirteenth Thread - "First Chance is Something Sudden"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)