Prolog

9K 436 18
                                        

Buk, Dhuak!

Terdengar suara baku hantam di antara kerumunan Siswa-siswi SMA Arsanaya memenuhi lorong koridor di sekolah swasta tersebut. Bukannya segera memasuki ruang kelas masing-masing, para murid Arsanaya itu malah menikmati tontonan perkelahian panas yang dimulai oleh salah satu Siswa kelas 12 yang diketahui bernama Reyvan. Mengabaikan fakta bahwa jam pelajaran pertama sudah dimulai sejak tadi.

Memang pada dasarnya hal menarik selalu menjadi panggung perhatian bagi banyak orang, terlebih perkelahian yang masih berlangsung saat ini sangat tidak imbang.

Sang biang yang memulai keributan nampak melepaskan cengkraman di kerah lawannya yang sudah tidak dapat melawan dan tertatih di lantai. Merasa sudah cukup puas untuk sekedar memberi pelajaran, Reyvan menelisik tanda-tanda lebam pada wajah lawannya lalu berniat melenggang pergi sebelum seseorang memanggil namanya dengan nada tinggi.

“REYVANO JOVANKA!” teriak seorang guru memekakkan telinga. Guru itu tergesa-gesa melangkahkan kakinya menuju ke kerumunan dari arah halaman depan Sekolah. Bahkan ia belum sempat melepaskan helm-nya karena mendengar kegaduhan di jam pembelajaran yang tengah berlangsung.

Begitu tahu siapa yang memanggil namanya, Reyvan memandang guru tersebut ogah-ogahan. “Lah, Bu! Kok enggak mungutin sampah di depan? Ibu kan telat,” Ujar Reyvan. Sebagai orang yang memberi saran untuk memberikan hukuman yang sama untuk guru yang terlambat datang, Reyvan tidak mau ada perbedaan antara murid dan staf pengajar. Reyvan tentu mengeluh karena kritik dan sarannya tidak dianggap serius.

“KAMU NIH, YA!" Guru itu sudah berkacak pinggang menatap Reyvan kesal. "Rey, Rey! Pagi-pagi begini sudah cari perkara. Kamu ini sudah kelas Dua Belas, kok ya gak bisa jadi role model untuk adek kel—”

“Lah, Bu, Saya enggak setuju! Kenapa saya harus jadi role model? Padahal yang paling mumpuni menjadi role model di sini itu Ibu dan jajaran staf guru yang lain. Memang Ibu sudah memberikan contoh yang baik untuk murid-murid Ibu?” Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan yang mampu mengadili guru itu telak.

Sebagai guru BK tentunya adalah tugas guru tersebut atau biasa dikenal dengan nama Ibu Desi untuk membentuk pribadi anak didiknya dengan baik. Mungkin memang selain Desi adalah guru yang terbilang baru, ia masih muda masih butuh sedikit waktu untuk beradaptasi di lingkungan sekolah barunya dan untuk menjadi role model. Ya, Desi bisa mengakui kalau dia cukup lalai.

Reyvan tidak sungkan mengatakan apa yang terlintas dipikirannya. Dia suka berdebat. Dia suka mengungkapkan pendapat. Dengan caranya yang unik. Fakta itu membuat Desi menaruh perhatian pada Reyvan. Anak seusianya tentu sedang mengalami masa pubertas, ia bisa saja salah langkah. Dengan prestasi dan kepintarannya, sayang sekali jika ia terjerumus ke dalam hal-hal buruk yang orang tua maupun guru itu sendiri tidak menginginkan hal itu terjadi.

Selain Reyvan. Desi juga tertarik dengan salah satu Siswi-nya yang kerap dipanggil ke ruangan BK, bahkan sebelum Desi menginjakkan kakinya di Arsanaya. Namanya Realyn Jovanka. Adik sekaligus kembaran dari Reyvano Jovanka.

Jangan dipikir kalau orang kembar itu selalu bersama. Karena hal tersebut tidak berlaku kepada Reyvan dan Realyn. Mungkin marga mereka memang sama namun mereka tidak pernah terlihat bersama di dalam atau di luar sekolahan sekalipun.

Tatapan keduanya ketika bertemu adalah tatapan asing yang Desi lihat. Membuat Desi kian penasaran dengan kedua anak kembar tersebut.

Lagi-lagi Desi menghela napasnya berat. Ini masih sangat pagi sekali untuk berdebat. Dan Desi tidak ingin menyita waktu anak didiknya untuk melewatkan kegiatan pembelajaran dengan masalah ini. Ucapan menohok Reyvan tadi ia abaikan dan memilih untuk membubarkan kerumunan.

“Reyvan dan Barga!" Desi menatap Reyvan kemudian beralih pada sosok Siswa yang dipukuli Reyvan tadi masih terkapar di lantai. Desi frustasi, bingung harus memberi hukuman apa lagi terhadap murid-murid badung ini. "Ikut saya ke ruang BK!!"

Namun sepertinya Desi harus dibuat kecewa. Mengharapkan Reyvan untuk mau melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kerjanya hanya akan menjadi list harapan yang tidak dapat dia centang.

Reyvan bukan bocah yang akan mengikuti perintah guru begitu saja, terlebih untuk mendapat keluhan dari orang tuanya nanti dengan masuk ke ruang BK. Reyvan malas. Itu kenapa dia memilih untuk ngacir ke dalam sebuah gedung kosong yang sudah lama sekali tidak digunakan oleh pihak sekolah. Dan karena sayang jika diterlantarkan begitu saja, Reyvan menjadikan gedung itu sebagai tempat membolos dan tidak segan membuat sarang transaksi narkotika antar siswa di dalam gedung tersebut. Tentu saja yang dilakukan Reyvan tidak dapat dicium oleh pihak sekolah.

Reyvan melangkahkan kakinya ke dalam gedung tersebut, seharusnya ia sudah ditunggu sedari tadi oleh teman-temannya yang ia lihat kini wajah-wajah Boby, Sam dan juga Putra terlihat kecut tapi tetap menyambut kedatangannya. Reyvan tersenyum sumringah menerima sebungkus rokok dari tangan Putra lalu ikut duduk di antara anak tangga yang digunakan untuk menaiki panggung aula sembari mengeluarkan seputung rokok untuk dia hisap.

"Barang gue mana?" Salah seorang siswa datang dari balik pintu, Ia menerima sejumlah bungkus shabu-shabu yang dia minta dari Boby.

Dari tempatnya duduk, Reyvan membuka suara. “Lo inget kan transaksi sama kita. Kalo mulut lo bocor, gak segan-segan gue bocorin kepala lo. Bocor dibales bocor ngerti lo, Gam?”

Siswa tersebut mengangguk paham, kemudian segera melenggang pergi setelah memperlihatkan bukti transfer sejumlah uang dari barang yang dia terima.

Reyvan tersenyum miris. Kebanyakan mangsanya berasal dari kalangan pelajar. Namun itu semua pilihan mereka. Dan mereka cuek saja ketika sudah mencicipi barang haram tersebut. Mereka terlanjur ketagihan akan efek samping dari narkotika yang digunakan, melupakan fakta bahwa seiringnya berjalannya waktu, tubuh bugar itu akan rusak. Bukan hanya tubuhnya. Mental dan masa depannya pun ikut berantakan nantinya. Biarlah, toh mereka tidak akan peduli dan mau berhenti sebelum merasakan kerugiannya sendiri.

“Udah nih? Kayanya balik kelas aja yok daripada nanti dicari-cari sama Desi,” ajak Putra. Mereka pun setuju saja dan beranjak dari duduknya untuk melenggang pergi ke dalam kelas.

Reyvan memasuki pekerjaan sebagai pengedar narkoba di usianya yang menginjak 15 tahun. Terbilang cukup nekat jika bergabung ke dalam kelompok kriminal yang bisa kapan saja tertangkap oleh pihak berwajib. Di balik keputusannya entah baik maupun buruk, Reyvan memikul beban besar di pundaknya.

••••

Cerita ini aku collab sama Cigggs Menceritakan Si kembar yang tak pernah terlihat bersama, tapi lebih ke kisah percintaan masing-masing, sih. Aku menceritakan sisi si cowok, kalo Rany menceritakan sisi si cewek-nya.

[Follow] jangan lupa Cigggs baca cerita Rany juga, ya! Judulnya "Arrogant girl".

Maaf kalo ada kesalahan penulisan EYD, tanda baca, maupun typo yang masih bertebaran. Enjoy this story.

REKILL [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang