"Kapan Papa tidak sibuk? Nanti Lenna sesuaikan jadwal," kataku.
"Papa juga belum tahu. Nanti kalau sudah ada jadwal pasti, akan Papa beritahu. Lenna kapan tidak sibuk? Biar Papa tahu waktu yang pas."
Aku menjawab dengan yakin, "Hari minggu aku bisa, soalnya Mama masih di kantor."
Keadaan hening lagi, aku memeriksa sambungan telepon.
"Halo, Pa?"
"Mama-mu ... masih kerja hari minggu?" tanyanya.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali, "Iya. Seperti biasa, kan? Atau Papa mau Lenna mampir sama Mama?"
"Enggak perlu, Mama-mu kan sibuk," balas Papa yang membuatku murung kembali. "Bagaimana sekolahmu?"
Entah perasaanku atau bagaimana. Namun dari Papa dan Mama saling menghindar jika untuk membahas masalah satu sama lain. Padahal, aku tahu mereka tidak saling membenci. Semua hal itu membuka kenangan yang telah menjadi luka.
Aku membicarakan lumayan banyak hal kepada Papa. Tentang senam tadi pagi, tentang kegiatan pramuka yang akan dilakukan minggu depan, sampai dengan rencana mengikuti olimpiade beberapa bulan mendatang.
"Hm, kalau kamu bisa ranking pertama paralel, Papa bakal ajak jalan-jalan," ucapnya.
"Sama Mama juga?" tanyaku antusias.
Papa menjeda selama beberapa saat, "Iya, sama Mama juga, kalau itu yang kamu mau."
"Lenna akan lebih berusaha," ucapku semangat.
"Oke. Papa tutup dulu, ya," katanya.
"Iya, Papa jangan lupa makan."
Usai itu, telepon ditutup. Aku memperhatikan layar ponsel yang menunjukkan bahwa kami berkomunikasi lebih dari sepuluh menit.
Aku menghela napas dan bersiap-siap untuk masuk kembali ke ruang belajar. Namun baru saja aku melangkah masuk dan belum menutup pintu, suara pintu tergeser keras dari balkon sebelah membuatku tersentak.
"Regret is something useless. Right. Siapa yang tidak tahu itu? Kenapa harus mengatakan hal yang sama berulang kali?"
Pikiranku menjelajah kemana-mana, sedangkan tubuhku berkhianat. Rasanya seperti membeku, persis saat pertama kalinya Arlan Pratama membelaku di depan paman yang kasar di elevator.
"Aku tahu aku egois, bersembunyi seperti anak kecil, menunggu seseorang menemukanku. Meskipun aku bukanlah siapapun."
Aku menunduk memperhatikan jari kakiku sendiri. Arlan Pratama punya segalanya. Banyak yang bersedia bertukar posisi dengannya.
Aku memang tidak suka saat dia bersikap sombong dan terlalu percaya diri. Namun aku lebih benci saat dia merendahkan dirinya serendah-rendahnya, seolah dirinya amat tidak berharga.
"Sudah dulu, aku mau tidur."
Setelah itu, tidak lagi terdengar apa pun. Tidak suara geseran pintu tanda dia telah masuk. Yang ada hanyalah suara helaan napasnya yang terdengar sangat lelah.
Entah kepada siapa aku meminjam keberanian. Kulangkahkan kakiku keluar, walaupun aku sangat tahu bahwa saat ini Arlan Pratama ingin menghilang saja dari muka bumi.
Reaksi dari Arlan Pratama sangat tidak kusangka-sangka, karena baru sedetik dia hendak menoleh ke arahku, dia langsung membuang muka.
"Kamu belum selesai belajar?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Sorry, suaraku terlalu keras, ya?" tanya Arlan Pratama sambil menghela napas. Pasti dia sangat menyesal karena sudah menerima telepon di balkon.
"Kamu baik-baik saja?"
Arlan Pratama masih diam di tempat, tidak menoleh sedikit pun. Dia tersenyum masam, "Kamu khawatir?"
Kuanggukan kepalaku.
"Takut aku mau nyoba bunuh diri lagi?" tanyanya. Arlan Pratama mengelus tengkuknya, "Kan aku sudah bilang, itu hanya pemikiran sekali lewat."
Aku membuka mulut, "Aku ... sudah baca di internet. Katanya di usia kita memang rentan. Sulit untuk mengontrol emosi dan perasaan. Ini bisa disebabkan karena terlalu banyak memedam emosi dan juga karena tingginya hormon korti--"
"Hei, jangan mengajakku belajar sekarang," sergah Arlan Pratama sambil memejamkan matanya. "Aku sedang tidak ingin belajar."
Kukerutkan keningku, "Aku tidak mengajakmu belajar, aku hanya menerangkan apa yang kubaca di internet tentang kondisimu."
"Aku senang kamu sangat perhatian, sampai-sampai mencari informasi tentang gejala depresi, tapi kadang informasi di internet itu terlalu berlebihan. Aku tidak depresi," jelasnya.
"Tapi--"
"Kamu tahu, kan? Kalau kamu sedang mencari informasi tentang gejala penyakit, maka secara otomatis kamu akan merasa bahwa kamu merasakan semua gejala itu. Otomatis, kamu merasa kalau kamu sakit. Itu sugesti yang lucu. Cocok sekali untuk para pengguna internet yang menelan informasi mentah-mentah," sindirnya pedas.
Aku menatapnya dengan tatapan dalam, "Kamu bilang begitu, padahal saat itu sugesti untuk melakukan sesuatu yang bodoh itu muncul tanpa kamu sadari, kan?"
"Banyak orang pasti pernah berpikir seperti itu, kalau sedang dilanda masalah. Kamu berlebihan sekali."
"Ya, banyak. Dan ada beberapa yang mencobanya," jawabku.
"Kenapa kamu harus peduli?"
Pertanyaannya itu membuatku terdiam. Saat ini Arlan Pratama mempertanyakan alasannya dan aku sama sekali tidak memiliki bayangan apapun untuk menjawab pertanyaannya yang satu itu.
Karena Arlan Pratama adalah benang merahku?
Bukan, jelas bukan. Entah sejak kapan, aku tidak terlalu memperhatikannya lagi.
Karena kami tetangga? Karena kami rival? Sebenarnya karena apa?
Arlan Pratama berbalik untuk menbuka kembali pintu balkon yang telah ditutupnya dengan keras tadi, "Sudah puas kan, debatnya? Kalau begitu aku tidur dulu. Selamat ma--"
"Karena." Aku memotong kata-katanya, "Karena menyesal itu tidak berguna. Dan aku tidak mau menyesal karena hanya berdiam diri melihatmu hancur, sendirian."
***TBC***
2 Maret 2019
Cindyana's Note
Apakah cerita ini bisa tamat pada akhir Maret? I hope so too.
Aw my baby little Alenna. Dia sudah mengalami character development yang cukup pesat dibandingkan chp awal, padahal konfliknya belum kelihatan. Hahaha.
And for my baby Arlan. You're so precious, so please hurry up love yourself and Alenna too. Lolol.
Sebenarnya aku sedang berusaha membuat karakter yang lebih SMP. Jadi aku berusaha membuat mereka berdua tampak lebih bocah, tapi karena mereka berdua adalah pairing jenius, maka topik pembicaraan mereka tergolong berat, walau bagiku lebih ke lucu daripada berat.
Oke, aku akan menabur clue dan gula-gula. Jadi, silakan menikmati bacaannya <3
Big love,
Cindyana H / Prythalize
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twelfth Thread - "Regret is Something Useless"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)