The Twelfth Thread - "Regret is Something Useless"

Comenzar desde el principio
                                        

Dia hampir menyayat tangannya sendiri, secara sengaja. 

Pengakuannya itu membuatku semakin memikirkan keadaannya. Aku merasa bahwa dia tidak boleh sendirian lagi, karena pemikiran seperti itu memang bisa kembali kapan saja. Itu membuatku merasa cemas. 

Terkadang melihat senyumannya, aku bisa langsung membayangkan wajahnya saat dia sedang sedih. Semuanya hadir begitu saja dalam kepalaku. Saat dia ingin menyendiri di bawah hujan, saat dia berterimakasih karena aku telah memanggilnya, dan bahkan saat dia hanya merenung memperhatikan langit malam. 

Anak ini benar-benar sangat mengkhawatirkan.

"Kenapa kamu ngelihatin aku kayak gitu?" tanya Arlan Pratama saat aku mengantarkannya ke pintu, usai kami menyelesaikan makan malam kami.

"Kayak gimana, maksudnya?" tanyaku balik.

Arlan Pratama terdiam selama beberapa saat, lalu menggeleng pelan, "Enggak, deh. Aku balik dulu, ya. Semangat belajarnya."

Melihatnya menghilang dari balik pintu setelah menekan password pada pintunya membuatku menutup pintu sambil menarik napas panjang-panjang.

Aku harus berhenti memikirkan hal-hal buruk jika dia berada sendirian di rumah itu.

Sebelumnya, aku diam-diam bertanya pada orang-orang yang sering bertugas di bawah. Mereka sangat jarang melihat kedua orangtua Arlan Pratama kembali. Sampai hari ini pun, terakhir saat ibunya kembali adalah ketika dia sakit.

Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Apakah aku harus menceritakan tentang hal itu kepada orangtua Arlan Pratama ketika kami bertemu? Atau aku harus tetap diam dan berusaha menjadi orang yang paling dibutuhkan Arlan Pratama? Menjadi teman bicaranya?

Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menjadi teman yang baik. Mungkin aku akan belajar dari internet, dalam waktu dekat.

"Alenna, sedang apa kamu berdiri di depan pintu? HP-mu daritadi bunyi, lho," kata Mama yang mendadak membuat indra pendengaranku bekerja kembali.

Ah, Papa.

"Oke, sebentar."

Aku segera masuk kembali ke ruang belajar, menutup pintu seperti saat aku belajar seperti biasanya, menerima telepon dan segera keluar ke balkon agar aku bisa berbicara lebih bebas.

"Halo, Pa?" sapaku.

"Halo, Lenna. Kamu sudah makan?" Suara Papa terdengar dari seberang telepon.

"Sudah, tadi baru selesai makan. Kalau Papa?"

"Rencananya baru makan kalau sudah telepon."

Aku mengerutkan kening, "Seharusnya makannya sebelum telepon Lenna, kan?"

"Enggak, nanti bentrok sama jam tidurmu."

Memangnya Papa rencana makannya jam berapa? Kata-kata itu tertahan dalam tenggorokanku.

Papa bertanya lagi, "Lenna lagi ngapain?"

"Lagi tidak ngapa-ngapain, kok," jawabku. "Kenapa Papa telepon?"

"Memangnya Papa tidak boleh telepon anak Papa satu-satunya?" tanya Papa.

"Bukan begitu. Biasa Papa akan langsung telepon, tanpa memberi tahu. Kupikir hari ini Papa mau memberitahu sesuatu yang penting."

Papa terdiam selama beberapa saat. Aku sampai harus memeriksa bahwa telepon kami memang masih tersambung.

"Lenna sadar ya?" tanya Papa.

"Tentu saja," balasku sambil menunggingkan senyum, walaupun aku tahu bahwa Papa tidak bisa melihatnya.

"Kamu ini tajam sekali, ya. Papa sampai tidak bisa berkata apa-apa," canda Papa sambil tertawa. "Kapan Lenna bisa mampir di tempat Papa?"

LFS 2 - Red String [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora