"Kalau elo, bukan beliin makanan. Tapi rapihin kamar gue, oke?" 

"Lo pikir gue pembantu, lo?!" semprotku. 

"Kalau nggak mau ya yaudah. Gue kerjain punya Nanang aja." Koko berlagak konsentrasi melihat soal. "Wah, soalnya pakai algoritma Fuzzy. Cukup susah, ya. Hmm..." Dia geleng-geleng kepala. 

"Oke, fine! Puas, lo!" Segera kubangkit meninggalkan Koko yang tertawa-tawa puas karena untuk kesekian kalinya, aku harus mengandalkan dia. 

******

"Kenapa lo? Encok lo kambuh?" tanya Nanang begitu aku menghampirinya di depan Gedung Fakultas Seni. 

"Kemarin gue bersihin kamar Koko! Nggak tahu apa pegel banget begini!" keluhku memegang pinggang. 

Tapi serius, kamarku saja jarang aku bersihkan, kalau tidak demi nilai, untuk apa merelakan tenagaku terkuras dan rela jadi 'pembantu' yang menyebabkan otot pegal, kram, kesemutan, darah tinggi. Oke, itu berlebihan. 

"Semua butuh pengorbanan, coy. Kayak cinta," sahut Nanang usil menyenggol lenganku. 

"Makan tuh cinta!" Kusumpal saja mulut Nanang pakai bungkusan roti yang sudah tidak ada isinya. Karena isinya kini sudah di tanganku siap kulahap. Hehehe. 

"Lo yang namanya Army?" Seseorang menghampiriku ketika roti isi coklat belum masuk sempurna di mulut ini. 

"Iya, gue. Kenapa, ya?" tanyaku balik. Ah, aku kenal dia. Cowok ini salah satu koordinator di BEM Fakultas. Lupa koordinator apa. Nggak penting juga sih bagiku, jadi wajar aku lupa. 

"Gue boleh minta nomor telepon lo nggak?" 

"Hah?" Pasti mukaku jelek banget nih sekarang melongo seperti ini. 

"Iya, gue minta nomor telepon lo." Dia menyodorkan ponselnya. 

Kulirik dia, lalu ke ponselnya, lalu ke dia, lalu ke ponselnya. "Gila lo, ya!" Buru-buru aku pergi meninggalkan cowok aneh itu. 

"Ett, tunggu. Sumpah, lo harus kasih nomor lo ke gue." Dia berjalan menyusulku lalu menghadangku dengan tubuh tingginya. 

Kulirik dia sebentar lantas mengarahkan pandangan ke sekeliling. Ada Nanang di belakangku yang pura-pura tolol, ada beberapa anak yang duduk bergerombol. Nah, salah satu dari beberapa gerombolan itu tengah tersenyum usil ke arah kami sembari berbisik-bisik. 

Sebelum aku menemukan jawaban dari sikap cowok ini, dia menarikku menjauh sebelum aku sempat menepis tangan kurang ajarnya ini. "Buruan tulis nomor lo di sini." Paksanya setengah berbisik.

"Lo gila apa gimana ya? Pokoknya gue ogah!" bentakku galak. 

"Please, Army."

"Gue nggak kenal siapa lo, untuk apa gue kasih nomor gue. Jangan sok kenal." kataku segera berjalan melewatinya, mengunyah sebal roti yang sempat tertunda kumakan. 

Baru tiga langkah kakiku berjalan, dia menarik tanganku sampai tubuhku mundur sedikit ke belakang. Refleks aku lontarkan tinjuku tepat di mukanya. Bug. Cowok berkemeja itu jatuh. 

Oops! Sepertinya kepalan tanganku terlalu keras. 

Aku meringis. Mahasiswa lain di sekitar kami seketika menonton kegaduhan ini, beberapa ada yang mengaduh membayangkan sakitnya. Nanang menghampiri kami, buru-buru membantu cowok itu lantas mengutuk diriku.

"Lo cewek apa tukang pukul sih? Orang nanya baik-baik malah dapat tonjokan." Tangan Nanang cekatan membantu cowok itu bangkit. "Lo nggak apa-apa, kan, Bang?" tanya Nanang penuh rasa khawatir. Mirip seperti cowok yang nolongin ceweknya sehabis kena tonjok tukang pukul. 

"Nggak apa-apa, Bro. Thanks, ya," katanya sembari memegang pipi. 

"Ma--maaf..." ucapku sepelan mungkin. "Gue niatnya mau ngedorong elo, tapi spontan malah nonjok." Sial, kenapa aku jadi susah ngomong sih?

"Iya, gue nggak bermaksud maksa lo buat kasih nomor telepon. Gue kalah main game, konsekuensinya gue harus dapetin nomor cewek tergalak se-Ilkom." 

"Hah? Cewek tergalah se-Ilkom?!" ulangku shock.

"Baru nyadar ya lo dapat predikat cewek tergalak se-Ilkom?" tanya Nanang berekspresi sumpah-lo?

Dan apa katanya tadi? Predikat cewek tergalak se-Ilkom? Apa-apaan itu! Lima semester aku kuliah di sini dan baru terkuak kalau predikat itu melekat dalam diriku dan aku sama sekali nggak tahu! Aku sakit hati sekali! Sialan kalian mahasiswa Ilkom seluruh angkatan! Main ngecap orang begitu saja. Ini sama saja bullying

"Kok lo bengong? Kaget ya dapat predikat itu?" Dia menyunggingkan senyum menyebalkan, tebakannya tepat. "Ya nggak heran sih, cewek secuek lo nggak akan peduli juga soal begituan." 

"Emang temen gue ini kepedulian, kecerdasan dan kewarasannya dibawah rata-rata, Bang," ujar mulut kurang ajarnya Nanang. 

Cowok itu malah tertawa. Apanya yang lucu coba?! Mataku melotot ke arah Nanang dan cowok ini. 

"Ya udah kalau nggak mau kasih nomor telepon lo. Maaf ya udah ganggu." 

Sembari mengusap-usap pipinya, dia berjalan meninggalkan kami. 

"Eh, tunggu!" teriakku. 

Dia menoleh. Aku menghampirinya lantas menarik ponsel yang dia pegang. Kuketikkan nomor telepon, lalu menyerahkan kembali ponsel itu. 

"Sebagai permintaan maaf gue," kataku. "Sebaiknya tuh muka diobati. Kayaknya biru. Soalnya, tonjokan gue bisa melumpuhkan urat syaraf." 

Mendengar ucapanku itu, raut wajahnya berubah pias. Aku tertawa menang dalam hati. Rasain! Siapa suruh datang-datang nyebelin!

"O--oke, makasih." Jakunnya naik turun, ketakutan. 

Lucu banget asli!  

"Bima." Dia mengulurkan tangannya, mengajak berjabat. 

"Oh iya, Nang. Waktu lo kenalan ama gue kayaknya lo harus dirawat di rumah sakit ya, kan?" Aku bertanya keras-keras ke Nanang dengan mimik wajah mengingat-ingat. 

Nanang bingung. 

"Oke. Oke. Gue pergi. Thanks." Ditariknya lagi tangan yang terulur itu lalu ia berbalik meninggalkan kami cepat-cepat. 

Aku dan Nanang melangkah pergi, bersembunyi di balik tembok, lalu aku menyemburkan tawa yang sudah dari tadi susah payah aku tahan. Nanang memandangku horor. Tapi aku nggak peduli, saat ini aku hanya ingin menertawakan cowok bernama Bima itu karena berhasil aku kerjain.

"Lo liat nggak sih tampang dia menciut gitu! Anjir, udah ketakutan banget!" Aku memegangi perut, geli. 

"Omongan lo tadi meyakinkan banget. Parah lo bohongin anak orang," kata Nanang. 

"Yahaha! Lagian mana ada nonjok pipi larinya ke urat syaraf! Kelewat bego apa gimana sih tuh cowok!" Aduh, aku sampai menangis dan memegangi perut.

"Eh, tapi lo beneran kasih nomor telepon lo ke dia?" tanya Nanang menghentikan tawaku. 

"Enggak."

"Terus?"

"Gue kasih nomor lo!" jawabku enteng lalu secepat kilat berlari karena Nanang sudah mengejar sambil berteriak marah-marah. 

*****

Halo halo! Gimana gimana part ini? Wkwkwk Langitnya aku sembunyikan terlebih dulu yaaaa hehehe...

Adakah yang masih mengikuti cerita ini?? Silakan jadi pembaca yang baik dengan vote, komen, dan masukin sarannya yaaahh ^^v

Kayaknya, aku akan sering publish di hari senin-jumat deh, soalnya di rumah gak ada wifi, jadi ngerjainnya di kantor :D 

Next chapter menunggu setelah 3k reader dan 1,5 vote. Bisa? :p

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang