Hari ke-200: Kedai Seni Djakarte.

633 138 12
                                    

Kepala saya mengangguk seirama dengan lagu yang teralun dari suara busking diluar kafe, sedangkan mata saya sibuk memandangi langit dan atap bangunan disekitaran Kota Tua. Semua tampak indah dari sini, dari jendela lantai dua Kedai Seni Djakarte.

Akhir pekan kali ini saya dan Haris memutuskan untuk mengunjungi beberapa museum di kawasan Kota Tua seperti museum Fatahillah, museum Wayang, dan museum Seni Rupa dan Keramik. Asal tahu saja, untuk pergi kesini saya butuh waktu sembilan hari untuk membujuk Haris agar mau mengajak saya ke Kota Tua naik kereta. Dan untungnya dia bisa luluh juga.

"Kamu mau makan apa?" Saya mengalihkan pandangan ke Haris yang sedang melihat menu.

"Aku mau es toples strawberry aja." Jawab saya tanpa melihat menu, saya sudah punya menu wajib yang selalu saya pesan tiap kali datang kesini.

"Gak mau makan?"

"Gak deh."

"Serius gak mau makan? Tadi siang cuma makan soto loh."

"Iya..."

"Yakin nih?"

"Iya Ayis."

"Oke kita kunci jawabannya ya." Kalo saja saya tidak ingat ada mas-mas yang tadi membawakan menu, mungkin posisi meja sudah berubah jadi menimpah Haris. Dan yang buat saya tambah sebal, saya melihat mas-masnya menahan tawa.

"Yaudah mas saya pesen, es toples strawberry satu, es kopi satu sama kentang goreng." Setelah mengulang menu yang kami pesan, mas-mas bertampang ramah itu pergi.

Dan tidak lama kemudian hal yang tak saya duga terjadi. Seorang cewek menyapa Haris ramah dengan ekspresi berseri-seri. Wajahnya cantik sekali, senyumnya juga manis. Dan saya ingat wajah cantik itu, wajah yang pernah saya lihat di galeri handphone Haris.

Samantha, nama cewek itu, cewek yang digadang-gadang oleh anak eska sebagai cewek pertama yang pernah menjadi pacar terlamanya Haris. Saya tidak tau pasti alasan mereka putus, yang saya tau Haris pernah galau berbulan-bulan setelah hubungan mereka kandas.

"Haris?"

"Eh? Sammy?"

"Yaampun gak nyangka bisa ketemu kamu disini." Dengan santainya si sammy-sammy ini menarik kursi dan duduk disebelah Haris. Haris melirik saya sebentar.

"Oh iya Sam, kenalin ini Diva, cewek gue. Div, kenalin ini Samantha, temen SMA ku." Dia mengulurkan tangan dan ya jelas saya balas uluran tangannya.

Menit setelahnya saya tidak terlalu menaruh perhatian dengan obrolan mereka yang berputar pada saat mereka SMA. Toh saya juga tidak paham, karena saat itu saya belum jadi tokoh di cerita Haris dan belum ada cerita tentang kami.

Saya lebih memilih untuk memusatkan pandangan pada langit yang mulai berubah warna dan membiarkan Haris bernostalgia dengan masa lalunya sebentar.

Keheningan saya hilang saat mas-mas yang tadi membawakan kami menu kini membawakan semua pesanan kami. Meletakkan satu persatu pesanan dengan hati-hati. Lalu tersenyum ramah dan pergi.

"Eh iya Ris, eska apa kabar? Aku udah lama banget gak ketemu mereka." Saya tidak kaget saat si Sammy ini kenal dengan eska, mengingat dulu mereka pacaran cukup lama.

"Ya gitu aja sih, malah tambah aneh."

"Trus minggu lalu aku ketemu Felix di gereja yang deket SMA kita. Pas aku nanyain kamu kata Felix kamu ibadah bareng kak Bayu di Depok." Saya berdiri, saya mulai gerah dengan keadaan, saya butuh pengalihan.

"Mau kemana?" Haris juga ikut berdiri.

"Duduk aja, aku cuma mau ke toilet bentar."

***

Saya keluar dari toilet setelah cuma berdiri gak jelas didepan kaca. Dan saya kaget karena, Haris ada didepan toilet, bersandar sambil memainkan handphonenya.

"Kamu kok disini?"

"Ya emang kenapa? Gak boleh?" Haris memasukkan handphonenya ke saku jaket.

"Ya gak apa-apa sih, tapi tadikan kamu lagi ngobrol sama Sammy."

"Tapikan aku maunya berduaan sama kamu bukan sama Sammy." Haris menggandeng saya, "Lagian cewek aku bete masa aku diem aja." Kami berjalan ke arah pintu masuk lantai dua.

"Siapa yang bete?"

"Kamu lah."

"Aku gak bete kok."

"Terus dari tadi kenapa diem aja? Cemburu?"

Iya. Cemburu. Takut kamu galau lagi. Terus sedih. Terus... "Aku cuma ngasih kamu ruang buat ngobrol sama temen lama kamu." Entah kenapa saya terlalu gengsi untuk mengakui saya cemburu.

Haris berhenti tepat didepan pintu, dia membalikkan tubuhnya, "Cemburu juga gak apa-apa, Div. It is not a crime. Cemburu juga bentuk kalo kamu sayang aku."

"Tapi aku percaya kamu gak akan macem-macem."

Haris tersenyum lalu mengusak rambut saya, "Makasih udah percaya sama aku." Kemudian, kami lanjut masuk menuju meja kami. Untungnya gak ada orang yang antre dibelakang kami karena kami berhenti ditengah jalan seperti ini.

Sammy masih ada disana, ditempat kami. Dia sempat melirik ke arah tangan Haris yang menggandeng tangan saya.

"Sorry Sam tadi gue tinggal, abisnya gue takut cewek gue lupa jalan." Saya remas tangan Haris kuat-kuat lalu saya lepaskan dan saya duduk ditempat semula. Dia mengaduh sambil mengusap punggung tangannya. Haris duduk disebelah saya, tidak lagi duduk disebelah Sammy.

"Lo gak pesen makan?" Saya memberanikan diri untuk membuka pembicaraan dengan Sammy.

"Nanti aja, lagian sebenernya gue lagi nunggu orang kok." Sammy memakai totebag yang sedari tadi dia pangku.

"Gabung aja sama kita." Haris melotot ke arah saya, padahal kan saya cuma basa basi saja.

"Gak usah, gak enak juga dari tadi gue udah ganggu kalian." Sammy berdiri, "Gue pindah ya." Saya dan Haris kompak mengangguk.

"Kalo dia sadar kenapa gak dari awal aja dia pindah?"

Saya menyikut lengannya "Jangan jahat gitu Ayis, gak inget dulu pernah galauin dia berbulan-bulan?"

"Jangan dibahas dong..." Haris menggamit lengan saya lalu kepalanya bersandar dibahu saya. Saya tertawa.

"Liat keluar deh." Haris menunjuk ke arah jendela disebelah kami.

Langit berganti warna, menjadi jingga keunguan dengan semburat kemerah-merahan. Gumpalan-gumpalan awan dengan bias warna jingga keemasan menambah kecantikan langit senja hari ini.

"Ada pisau gak?"

"Buat apaan?" Saya bingung.

"Aku mau potong seukuran kartu pos terus aku kirim ke kamu." Saya tertawa pelan, saya paham Haris sedang meniru adegan di buku kesukaannya.

"Jangan ngaco deh! Aku gak mau ya kamu jadi buronan polisi gara-gara nyuri senja buat pacarnya." Kini giliran Haris yang tertawa. "Lagian aku gak mau egois nikmatin senja sendirian."

Kemudian kami sama-sama diam, seolah paham kalau menikmati senja yang perlahan-lahan menjadi gelap butuh konsentrasi dan sampai lupa dengan pesanan yang belum kami sentuh dari tadi.

"Div?"

"Hm?"

"Nanti makan kerak telornya yuk?"

Saya tersenyum lalu mengangguk, "Iya ayo."

Dan libur akhir pekan kami kali ini ditutup dengan makan kerak telor dipinggir jalan, diiringi suara deruan kendaraan dan seniman jalanan.

Thank you for reading
Hari Bersama Haris

Hari Bersama HarisWhere stories live. Discover now