Hari ke-365: Pergi

698 136 26
                                    

Perjalanan pulang dari kampus hari ini tidak seperti biasanya. Haris menjemput saya tapi tidak seperti biasanya. Tidak ada obrolan ringan seperti biasanya. Tidak ada pertanyaan mau makan apa atau mau solat dimana seperti biasanya. Tidak ada itu semua, yang ada hanya hening karena tidak ada satupun dari kami yang berinisiatif untuk membuka pembicaraan, hingga mobil Haris berhenti di depan pagar kosan saya. Dan entah kenapa saya merasa perlu buru-buru keluar dari mobil, merasa saya tidak perlu berlama-lama di dalam mobil.

"Makasih udah anter aku, hati-hati ya." Saya bersiap membuka pintu.

Haris menahan lengan saya, "Aku mau ngomong."

Saya kembali duduk tapi tidak menatap Haris, tengkuk saya tertekuk membuat kepala saya tertunduk. "Mau ngomong apa?"

Haris memutar tombol volume hingga suara dari mp3 player habis tak terdengar. Sadar kalau pembicaraan ini tidak boleh terdistraksi oleh apapun, saya menatap Haris.

"Mau ngomong apa?" Saya ulangi pertanyaannya.

"Kamu pasti tau aku mau ngomongin apa."

Pikiran saya langsung tertuju pada satu hal, kelanjutan hubungan kami. "Yaudah aku dengerin."

"Aku gak ada apa-apa sama Naomi."

"Bagus dong kalo gitu, terus apa lagi?" Haris diam, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan atas jawaban saya. Saya tersenyum, "Ris, kalo emang gak ada apa-apa, aku percaya kok sama kamu. Tapi kalo emang ada sesuatu jangan disembunyiin ya, omongin aja semuanya, biar kamu lega, biar jelas juga buat aku."

Haris masih bungkam, "Ris, aku gak akan salahin kamu atau Naomi kalo pun emang ada sesuatu diantara kalian, mungkin emang ada yang salah sama aku, lagian hubungan kita emang udah salah dari awal." Saya berusaha bicara selembut mungkin dan tidak menghakimi, "Aku justru akan marah kalo kamu bertahan tapi perasaan kamu ke aku ragu-ragu."

"Divㅡ

"Ris, kamu udah janji gak akan bohong kan?"

"Please kali ini aja biarin aku bohong ke kamu."

Saya menghela nafas pelan, berharap kegugupan yang saya rasa bisa berkurang, "Bukan ke aku, Haris, aku mau kamu jujur ke diri kamu sendiri, ke perasaan kamu sendiri. Siapa yang lebih buat kamu nyaman? Siapa yang lebih buat kamu bahagia? Aku atau dia?"

"But I met you first-

"Ini bukan tentang siapa yang ketemu kamu duluan, bukan tentang siapa yang deket sama kamu duluan, bukan tentang siapa yang kamu sayang duluan. Ini tentang perasaan kamu sekarang, ada dimana hati kamu sekarang, Haris."

Dia diam. Sudah jelas semuanya. Bagaimana perasaannya. Ada dimana hatinya. Dan bagaimana cerita tentang kami selanjutnya.

"Aku...udah boleh turun?" Saya bertanya dengan ragu. Jawaban Haris selanjutnya membuat saya kaget. Haris memeluk saya erat. Semakin erat saat saya mendengar dia terisak. Dan semakin jelas semuanya, Haris sudah memilih pilihannya.

Saya mengelus punggungnya juga rambutnya, menghirup bau khasnya banyak-banyak. Saya mencoba menyimpan semua tentang Haris dalam laci kenangan sebanyak yang saya bisa sebab setelah saya turun dari mobil semuanya akan berbeda, saya dan Haris tak akan lagi sama. Perlahan air mata turun di pipi saya, rasa sesak mulai mendominasi di dada. Saya mulai enggan turun dari mobil, saya tak ingin semuanya cepat berakhir.

Haris melepas pelukannya. Saya bisa melihat wajah Haris dengan bias jingga diwajahnya. Saya semakin takut untuk turun dari mobil, takut saya tak bisa melihat wajah Haris dengan bias jingga seperti ini lagi. Air mata saya luruh kembali.

"Maaf Div..." Bisiknya lembut, selembut bibirnya menyapu bibir saya, untuk pertama dan terakhir kalinya.

Sore itu, dibawah jingga yang sempat menjadi saksi dimana cerita kami dimulai, pun kini menjadi saksi saat Haris memilih untuk mengakhiri dan membawa separuh perasaan milik saya pergi.

***

pia's note:
Aku mau bilang makasih untuk semuanya yang udah baca cerita Hari Bersama Haris! Aku sayang kalian muah♡♡

Hari Bersama HarisWhere stories live. Discover now