Hari ke-57: Motoran

749 145 16
                                    

'yang masa aku didepan kosan kamu'

Saya yang sedang tidur-tiduran dikasur langsung bangun dan otomatis keluar kamar.

"Selamat siang, mbak Diva saya dari gojek." Ujar Haris saat saya membuka pagar. Saya cukup kaget melihat Haris duduk diatas motor lengkap dengan helm dan jaket. Cukup kaget karena seorang Haris Januar mau naik motor, apalagi Haris tuh kalo panas dikit kadang ngeluh.

"Wah saya gak pesen gojek tuh, mas salah orang kali."

"Bener kok, mbak Diva cantik pacarnya mas Haris yang ganteng itu kan?"

Saya tertawa pelan, "Nah kalo yang itu bener."

"Hahaha udah sana ganti baju, pake jaket juga."

"Yaudah bentar."

Saya kembali setelah mengganti setelan rumah saya dengan setelan yang lebih rapih. "Nih pake." Haris menyodorkan helm.

Sambil memakai helm, saya duduk diboncengan motor Haris, motor matic biasa warna putih, senada dengan mobil Haris dan warna helm yang dipakai Haris.

"Udah?" Saya mengangguk, duh lupa, Haris mana bisa lihat saya mengangguk.

"Udah." Jawab saya.

"Turun." Jawabnya, dan saya langsung memukul bahu Haris, sedangkan Haris tertawa. "Pegangan ya mbak, biar gak terbang."

"Ayis aku bukan kertas."

"Yaudah pokoknya pegangan aja." Haris menarik kedua tangan saya, membuat kedua tangan saya melingkar sempurna ditubuhnya, membuat posisi duduk saya dan dia jadi terlalu dekat, dan membuat jantung saya bekerja ekstra. Aneh, kenapa ya sampai sekarang jantung saya tidak pernah terbiasa dengan Haris?

"Kita mau kemana sih?" Tanya saya saat kami meninggalkan gang kosan saya.

"Mbak maunya kemana?"

"Kemana aja deh, asal sama mas nya." Haris tertawa dibalik helm nya. "Tapi jangan ngebut ya mas."

"Yah padahal aku baru mau ngebut."

"Pokoknya kalo ngebut aku pukul." Ancam saya, tapi seolah bukan masalah, Haris malah menambah kecepatan motornya, menyalip dua truk besar sekaligus dan spontan saya memukul helmnya. Tapi apa reaksinya? Haris tertawa puas sekali, tidak merasa bersalah sudah membuat jantung saya bekerja super super ekstra.

"Udah makan belum?"

"Hah?" Saya memajukan kepala saya.

"Udah makan belum?"

"Oh iya..."

"Dih apaan sih tik, aku nanya kamu udah makan apa belum?" Haris tertawa lagi. Dia kenapa sih hari ini jadi suka ketawa terus?

"Lagian gak kedengeran."

"Deketan makanya."

Saya memukul helm nya lagi. "Modus kamu mah." Lagi, Haris tertawa lagi. Kamu gak capek Ris ketawa terus?

Detik selanjutnya tak ada yang bicara, Haris sibuk bersenandung dan saya sibuk berterima kasih pada langit yang nampak cerah dan indah hari ini, berterima kasih pada angin yang sudah berhembus dan membawa bau parfum Haris ke udara.

Saya meletakkan dagu saya dibahu kiri Haris, mendengarkan dirinya yang asik bersenandung berbagai macam lagu, dan sesekali ikut bersenandung bersamanya.

Haris mengerem saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Dan helm kami beradu, pelan, saya spontan mengaduh padahal tidak sakit, dan Haris tertawa lagi untuk kesekian kalinya. "Kamu tidur?"

"Ya gak lah." Jawab saya, lagian mana bisa saya tidur setelah diajak ngebut menyalip truk tronton.

"Tik?" Haris menepuk-nepuk punggung tangan saya yang ada diatas perutnya, "Tebak deh, bapak yang jualan tisu itu umurnya berapa?"

"Mana aku tau, Ayis." Jawab saya malas, bingung banget sama pertanyaan random Haris.

"Tebak dong."

"40 tahun?"

"Kata aku 42 tahun 3 bulan."

"Apaasih masa pake 3 bulan segala." Saya tertawa.

"Ya gak apa-apa namanya juga nebak."

Haris mengusap punggung tangan saya dan sesekali mencubit pelan, jahil banget emang.

"Kayaknya bapak yang jualan tisu itu zodiaknya taurus deh."

"Random banget sih, Ayis." Saya tertawa.

"Kayaknya bapak itu udah nikah."

"Terus udah punya tiga anak, cewek satu cowok dua." Tambah saya masih sambil tertawa.

"Anak pertamanya cowok nih pasti, anak keduanya baru cewek."

"Yang paling kecil kayaknya baru kelas 4 SD deh." Tanpa sadar saya sudah larut dalam obrolan random yang Haris buat saat lampu merah yang super lama. Tanpa sadar saya dan Haris sudah mengarang cerita tentang seorang bapak penjual tisu di salah satu lampu merah kota Depok. Tanpa sadar saya sama randomnya dengan Haris Januar.

Klakson motor dan mobil dibelakang kami memberi tanda kalau lampu merah sudah berganti hijau, tanda berakhirnya cerita random tentang si bapak penjual tisu.

Haris melajukan motornya lagi, menyalip dengan gesit diantara mobil-mobil, menerobos kepulan asap tukang sate yang kami lewati, dan membawa saya entah kemana saat langit mulai mengganti warnanya.

Kalo sekarang sedang didalam mobil, pasti langitnya gak terlalu keliatan jelas seperti ini. Kalo sekarang didalam mobil, yang terdengar sekarang pasti suara playlist nya Haris bukan suara senandungan Haris yang bersahutan dengan suara mesin kendaraan. Kalo sekarang didalam mobil pasti yang terasa dinginnya AC bukan angin bercampur debu seperti ini. Dan kalo sekarang didalam mobil, yang tercium pasti bau khas mobil Haris, bukan bau parfum Haris ditambah bau asap kendaraan dan asap sate seperti ini.

Tapi walaupun harus bertemu asap dan debu, jalan-jalan naik motor dengan Haris seperti ini bukanlah ide yang buruk dan sepertinya nanti saya akan minta Haris untuk ajak saya jalan-jalan lagi naik motor.

"Ayis, langitnya bagus." Ujar saya pelan, tidak peduli Haris akan dengar atau tidak.

"Apa? Kamu haus?"

"Iya, kayaknya minum es kelapa enak deh." Jawab saya asal menyebut jenis minuman yang lewat dipikiran saya, dan untungnya bukan minuman yang aneh-aneh.

"Oke, pegangan yang kenceng ya mbak Diva, kita akan meluncur ke tukang es kelapa." Saya tau Haris bercanda, tapi anehnya saya nurut aja dan mengeratkan pegangan saya.

Kini saya dan Haris sudah duduk disalah satu tenda tukang es kelapa dipinggir jalan. Haris menopang dagunya, menatap saya.

"Apa?" Tanya saya bingung.

"Seneng banget ya aku ajak jalan-jalan?"

Saya nyengir, "Sering-sering dong ajak aku motoran gini."

"Boleh, tapi senderannya jangan di kiri terus dong, gantian di pundak kanan, biar adil."

"Yeuuu bilang aja kamu pegel."

"Emang..." Haris tertawa, saya juga ikut tertawa.

Duh, maaf ya Haris, bahu kamu pasti sakit saya jadiin senderan, tapi semoga kamu gak kapok ya bawa saya pergi naik motor.

Thank you for reading
Hari Bersama Haris

Hari Bersama HarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang