Hari ke-90: Beda

1.3K 208 22
                                    

Hari ini biar saya ceritakan sedikit tentang sesuatu yang mungkin sedikit menyedihkan, masih tentang cerita saya dan Haris tapi dengan fakta pahit. Fakta tentang saya yang berbeda dengan Haris.

Tidak mau baca cerita hari ini tidak apa, karena saya tahu bagi beberapa orang perbedaan menjadi sesuatu yang sensitif.

Awalnya saya tidak terlalu memikirkan perbedaan kami, lebih tepatnya saya tidak mau ambil pusing tentang perbedaan antara saya dan Haris. Haris juga tak pernah menyinggung masalah ini. Sampai hari ini, setelah lebih dari 3 bulan menjadi pacar Haris, teman saya tiba-tiba bertanya, "Lo sama Haris beneran pacaran? Kalian kan beda, gak takut Tuhan marah?"

Saya diam, tidak bisa menjawab. Kata-katanya benar-benar menampar saya yang seperti tidak ada pedulinya dengan Tuhan saya sendiri.

Seharian fokus saya benar-benar teralih ke satu fakta yang sudah ada sejak awal bahkan sebelum cerita kami dimulai, fakta tentang perbedaan yang selama ini kami abaikan, perbedaan yang sulit kami ubah.

"Kenapa sih?" Tangan kiri Haris menyentuh puncak kepala saya, dan tangan kanannya memegang stir mobil. "Diem aja dari tadi, laper?" Godanya.

Saya meraih jemari Haris yang mengusak rambut saya lembut, meletakkan jemari Haris diantara jemari saya, menggenggamnya erat. Ya Allah, saya sayang Haris, tapi kalau memang hubungan ini salah, saya mohon beri saya waktu untuk bersama Haris, sebentar juga tidak masalah.

"Hei kenapa?"

"Tuhan marah gak sih sama hubungan kita?" Haris langsung menepikan mobilnya, mungkin dia merasa ini bahasan serius yang harus kami bicarakan dengan tenang tanpa gangguan.

Haris menatap saya, masih diam belum bersuara, menunggu saya untuk mulai duluan. Tangan saya menyentuh kalung salib yang menggantung dileher Haris, mengelusnya sebentar, kemudian kembali menatap wajah Haris yang menyiratkan akan khawatir.

"Kasih tau aku kalo Tuhan gak akan marah Ris." Suara saya bergetar. "Bohongpun gak apa-apa, aku cuma mau denger itu."

"Enggak, Div. Aku udah janji gak akan bohong sama kamu."

"Aku mohon, Ris." Pertahanan saya runtuh, air mata saya mengalir meluruh. Saya tidak tahu kalau perbedaan bisa jadi sesakit ini.

Haris memeluk saya, "Maaf ya, udah libatin kamu ke cerita sedih kaya gini." Bisiknya yang malah membuat saya semakin terisak.

Maaf Haris, harusnya saya yang minta maaf karena saya udah bertanya menyinggung seperti itu, sudah menangis tanpa malu dipelukan kamu, dan maaf sudah membuat kamu bilang maaf padahal ini bukan salah kamu.

Entah sudah berapa menit saya menangis dan Haris menenangkan saya. Terserah kalau kalian mau bilang saya berlebihan atau lemah, tapi sungguh saya merasakan sesak itu.

Saya menghirup bau khas seorang Haris, manis yang menenangkan. "Sorry..." saya berbisik.

"For?"

"Basahin kemeja kamu pake ingus aku." Saya mendengar Haris tertawa pelan, masih sambil mengelus punggung saya.

"Gak apa-apa, asal jangan minta putus, kalo itu aku gak bisa maafin." Candanya.

Saya menjauhkan tubuh saya, dan ibu jari Haris langsung menghapus sisa-sisa air mata di pipi saya. "Udah jangan nangis lagi."

Haris menatap jemari kami yang bertaut, lalu saya mendengar Haris menghela napas. Haris mengalihkan tatapannya ke mata saya, saat itu juga saya merasakan hangat dan teduh, saya merasa nyaman.

"Aku tau perbedaan kita bukan hal kecil yang bisa diperbaiki, bukan juga tentang sesuatu yang bisa melengkapi, perbedaan kita adalah yang banyak orang hindari." Haris membasahi bibirnya, "Kamu tau sendiri perbedaan kita seperti apa, Div, perbedaan tentang siapa yang kita sembah, dirumah mana kita beribadah, dan buku apa yang kita baca."

"Hubungan kita jelas salah, aku juga yakin Tuhan akan marah karena kita lebih memilih ciptaan-Nya daripada Dia yang menciptakan." Haris menyelipkan rambut saya ke belakang telinga saya, "Tapi ini takdir Tuhan, kita cuma perlu ikutin alur cerita yang Tuhan kasih, tanpa perlu protes dan menyalahkan diri kita masing-masing, karena kita ada dan bertemu untuk menjalankan takdir-Nya, bukan melawan takdir-Nya."

Haris benar, Tuhan sudah menyiapkan cerita untuk setiap umat-Nya. Dan didalam cerita milik saya, Tuhan menuliskan saya harus bertemu Haris, jatuh cinta dan menjalani hubungan yang salah ini.

Saya memang memilih untuk menerima Haris, tapi sadarkah kalau bukan karena izin Tuhan saya tidak mungkin bisa menerima Haris? Kalau tanpa izin Tuhan saya tidak mungkin menjalani hubungan yang salah ini? Bukan, saya bukan sedang menyalahkan Tuhan, saya justru sangat bersyukur karena Tuhan mengenalkan saya pada Haris dan Tuhan juga yang mengajarkan saya perbedaan dan rasa sakit ini lewat Haris.

"Kalo kamu emang gak kuat, kita akhiri detik ini, aku gak mau hubungan kita malah jadi beban."

Saya menggeleng, "Aku mau jalanin dulu, sampe..." saya memiringkan kepala saya sebab bingung mau sampai kapan kami menjalani hubungan ini, sampai kami bosan? Sampai benar-benar tidak ada titik terang?

"Sampe kita ketemu sama orang yang seiman." Haris menambahkan kalimat saya yang menggantung, "Aku gak akan marah kalo kamu bilang mau putus karena nemu orang yang pas dan seiman sama kamu."

"Begitu juga aku."

"Deal?"

"Deal."

Kami saling melempar senyuman. Saya sudah merasa cukup lega sekarang, setidaknya kami tahu kami masih punya satu sama lain walaupun kami berbeda, walaupun dunia tidak akan berada dipihak Haris dan saya. Kami hanya perlu menjalani sampai batas waktu yang ditentukan Tuhan tiba. Kami hanya perlu menyiapkan hati untuk bisa merelakan satu sama lain ketika tiba dipersimpangan, merelakan tangan satu sama lain digenggam dan menggenggam milik orang lain.

"Udah tenang?" Saya mengangguk, "Mau pulang sekarang?" Saya mengangguk lagi dan Haris kembali melajukan mobilnya.

"Kenapa Tuhan harus nyiptain hal yang beda ya, Yis?"

"Biar hidup gak monoton, Div, biar hidup kita gak itu itu melulu, lagian ya dengan adanya perbedaan dunia jadi lebih indah, Indonesia contohnya." Haris melirik saya, "Indonesia punya kebudayaan yang beda dan beragam, punya beberapa agama dan suku bangsa, dan itu menjadikan Indonesia indah dengan caranya sendiri."

Saya diam, mendengarkan dengan saksama, "Banyak perbedaan di Indonesia, tapi masih indah dan masih bisa berdampingan, saling menghargai perbedaan satu sama lain, tau gak salah satu contohnya apa?"

"Apa?"

"Istiqlal dan katedral." Saya bisa lihat senyuman getir diwajah Haris. "Jadi gak apa-apa kalo kita beda, jangan dengerin kata orang lain, aku ada disini bareng kamu buat ngadepin semuanya bareng-bareng. Kalo kamu kuat aku juga akan kuat, kalo kamu nyerah, berarti emang udah waktunya buat pisah."

"Thanks."

"For?"

"Gak maksa aku buat bertahan."

"Mau dipaksa, tapi aku tau sesuatu yang dipaksain itu gak baik." Haris tertawa diakhir kalimatnya, dan saya tahu Haris menambahkan tawa hanya untuk menyembunyikan rasa kecewa, entah kecewa pada siapa, mungkin pada semesta.

***

pia's note:
Hola! Apa kabar semuanya? Aku mau minta maaf karena kali ini ceritanya agak berat padahal aku niatnya mau buat cerita yang ringan-ringan aja but failed :( tapi semoga kalian bisa enjoy dengan part ini yaa <3
Dan kalo kalian punya kritik atau saran buat aku, bisa langsung komen atau kirim pesan ke aku hihi

Thank you for reading
Hari Bersama Haris

Hari Bersama HarisDove le storie prendono vita. Scoprilo ora