2. Pernyataan Langit

Start from the beginning
                                    

Kami keluar dari kamar dan pergi menuju tempat pesta ulang tahun Jingga.

Sepanjang perjalanan, Bulan menceritakan kebersamaannya dengan Langit saat membeli kado untuk adiknya itu. Dia bilang, dia bingung harus membeli yang mana sementara Langit juga labil. Aku hanya berusaha merespon baik, berusaha bersikap biasa, jangan tanya betapa jengkel dan betenya aku.

Sampai di rumah langit, pesta baru saja dimulai. Kulihat Langit berdiri di sebelah Jingga, di depan kue tart dua tingkat berwarna putih, mirip kue pernikahan. Langit melihat kami berdiri tak jauh darinya. Emmm, bukannya aku pede, tapi saat itu aku benar-benar merasa jika Langit kaget melihatku. Aku ingat jelas bagaimana matanya menangkap sosokku, ada rasa kagum yang terpancar di situ, ada bibir yang menyunggingkan senyum.

Langit menghampiri kami. Aku--yang jantungnya sudah lari maraton---balik tersenyum saat Langit tiba di hadapan kami.

"Lo Ami? Army Senarnya Al Fatih?" Dia mendekatkan dirinya, memegang dahiku seakan aku pesakitan. "Sejak kapan lo jadi cewek?" semprotnya meledek. Langit menyemburkan tawa dan jantungku--sialnya--semakin tak keruan berdetak.

"Apaan sih lo?" Aku segera menyingkirkan tangannya. Kalau tidak, entah bagaimana bentuk jantungku.

"Cantik," bisik Langit.

Gawat! Sirine di perutku menyala. Ratusan kupu-kupu liar menggelitik di dalamnya! Aku mual!

Aku yang tak bisa melihat jelas wajahku saat itu, hanya bisa membuang muka. Apa ya rona wajahku? Hijau mungkin. Untungnya, Langit segera beralih ke Bulan.

"Ini jepitan dari aku, ya?" Langit menyentuh benda cantik di samping kepala Bulan. Gadis itu tersipu, menunduk, mengangguk.

"Ehm!" Aku berdehem.

Ganggu sedikit nggak dosa, kan?

Langit dan Bulan salah tingkah. Ah! Liat dua insan itu. Jelas-jelas mereka saling menyukai.

"Gu--gue... m--mau ke yang ultah dulu." Buru-buru aku pergi dari lingkaran canggung di antara kami.

Aku pergi ke arah Jingga. Memberinya kado setelah menunggu beberapa menit hingga gerombolan teman-temannya menyingkir. Jingga menyambutku hangat. Kami mengobrol beberapa saat. Mungkin sekitar lima menit. Yang aku sebalkan, mataku yang kurang ajar ini bergerak melirik-lirik ke arah mereka berdua. Seakan ia punya sensor sendiri yang memerintahkan aktuator mataku melihat pemandangan itu. 

Kenapa ini? Kenapa aku harus mencuri-curi pandang ke arah mereka? Memangnya salah jika mereka bicara berdua? Langit sekarang memegang tangan Bulan (Ya Tuhan!). Kini mereka mengobrol semakin mesra (Ugh!). Stop! 

"Kak? Kak Ami? Liatin apa?" Jingga membuyarkan pikiranku. 

"Eh, enggak kok! Pokoknya sekali lagi. Selama ulang tahun ya!" Aku segera memeluk Jingga. Biar Jingga tak akan bertanya lebih aku lihat apa. 

"Iya, terima kasih, Kakak!" Jingga membalas pelukanku hangat. 

Selesai dari Jingga, tak kulihat lagi Langit dan Bulan di tempat tadi. Menengok kanan, menengok kiri, kemana larinya dua makhluk itu? 

Aku pun memutuskan duduk di salah satu kursi sembari memainkan ponsel. Main game sebentar. Lantas kalah. Aku merutuk. Har ini kacau sekali, tidak biasanya skill gamer-ku menjadi level cupu seperti ini. Aku pun berjalan-jalan di sekitar taman. Di sudut yang agak sepi, kulihat Langit tengah bercakap dengan Bulan. 

Kakiku berlari kecil menghampiri mereka. 

"Bulan aku suka sama kamu dari dulu." 

Semesta berhenti berotasi. Kedipan mata indah Bulan, kakiku yang melangkah, daun yang bergoyang, semuanya terhenti seketika. Aku mematung tak jauh dari mereka. 

"Aku juga suka sama Langit. Langit orang yang baik," jawab Bulan. 

"Maksud aku bukan itu, Bulan. Maksud aku... emm..." Langit bingung mencari kata yang tepat. 

Bulan hanya diam. Menunduk. Aku pun diam, menunduk. Menahan rasa yang sesak seperti dicengkram oleh sesuatu yang entah apa. Rasanya, aku butuh oksigen tambahan. 

"Bulan..." Langit memegang tangan Bulan. Matanya menyendu. Memohon agar diberi kesempatan untuk membahagiakan Bulannya. 

"Langit, aku suka kita yang seperti ini saja," ucap Bulan. 

"Kenapa, Bulan?" 

"Karena aku belum bisa memastikan perasaanku ke kamu. Aku belum bisa, Langit. Aku nyaman kita hanya sebatas ini." Bulan tersenyum. Senyum yang selalu meneduhkan. 

Katakan padaku, apa aku harus senang atau sedih. Senang karena Bulan menjaga lingkaran pertemanan kami bertiga, atau sedih karena Langit mencintai Bulan benar adanya. 

Sejak malam itu, semua sudah lebih dari jelas. 

Bahkan setelah malam pernyataan itu, hubungan kami bertiga menjadi sedikit aneh. Ketika berkumpul di kantin, Langit dan Bulan lebih banyak diam-mendiamkan. Bulan selalu menghindari Langit, terkadang dia menolak ajakanku bermain jika ada Langit. Semua canggung. Dan aku jadi ikut canggung. 

"Udah sih, Lan. Mau sampai kapan lo menghindari Langit terus?" protesku ketika mampir ke rumah Bulan saat liburan. 

"Aku jadi nggak enak kalau ketemu dia, Mi."

"Kenapa? Karena lo udah nolak dia?" 

Bulan menggeleng,

"Terus kenapa?" 

"Karena perasaan aku semakin nggak jelas setiap kali bertemu Langit. Rasanya... aku sedikit menyesal..." Bulan melirih. 

"Nyesel karena sebenarnya elo suka sama Langit tanpa lo sadari?" 

"Mungkin," gumam Bulan. 

Oh, God! Bulan juga menyukai Langit dan tak berani memastikan apalagi mengatakannya. Sementara Langit di ujung sana menanti Bulan dengan perasaan hancur karena yang dia tahu Bulan menolak cintanya. Sementara di sini aku berada di antara mereka sok menjadi penengah padahal hatiku ada untuk Langit sudah tak keruan bentuknya. Lingkaran setan macam apa ini?

"Aku harus memastikan perasaanku, Mi. Aku hanya butuh waktu." 

"Waktu untuk memastikan perasaan lo itu?" tanyaku senormal mungkin. 

"Iya."

"Gimana caranya?"

Bulan diam. 

***

NIIHHHH DEHH AKU POST PART 2! 

Vote dan komennya dong kak :((((( baru apdet-apdet nih setelah bertahun2 bersemedi.. hikzzz wkwkwk xD. 

Terimakasih! Tetap tunggu kelanjutannya yaaa!

Jangan lupa  untuk selalu stay tune ig aku @itsfiyawn karena di sana akan ada banyak kejutaannn yuhuu!!



ARMY (Completed)Where stories live. Discover now