Chapter 33 : Dendam ?

234 21 15
                                    


        
                 Sementara itu, di markas Aequiaria, Kiana sedang menikmati pesta minum teh bersama dengan Mia, Hinatsuru, dan Ryuuga. Kiana telah membolos sekolah pada hari itu atas permintaan dari Mia yang juga bolos dari mengajar. Mereka tengah berbincang tentang hal-hal yang tidak penting sampai Kiana menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat suasana menjadi tegang.

"Mengapa kalian membenci para roh ?" tanya Kiana, membuat Mia, Hinatsuru, dan Ryuuga menghentikan aktivitas minum teh mereka dan menatap Kiana.

Kiana yang merasa tidak nyaman akan tatapan mereka mencoba untuk mencairkan suasana, "Pertanyaan yang sensitif ya ?"

"Eh, enggak kok. Akan kuberitahu. Sebenarnya aku gak benci sama semua roh, sih. Aku cuma membenci Envy. Aku membunuh roh lain itu hanya sekedar untuk hiburan semata" kata Mia.

"Mengapa kamu membenci Envy ?" tanya Kiana.

"Akan kuceritakan dengan menggunakan flashback dan pov milikku sendiri." kata Mia.

~flashback (Mia's Pov)~

25 Tahun yang lalu di saat Mia masih berumur 10 tahun . . .

Aku berjalan menyusuri taman yang indah. Di tengah perjalanan, aku melihat seekor burung kecil terperangkap di jaring laba-laba.

"Wah, kasihan sekali engkau, wahai burung" kataku sambil melepaskan burung tersebut dari jaring laba-laba.

Setelah burung tersebut terlepas, aku menatap kepergian burung tersebut sembari tersenyum. Aku memang suka menolong hewan. Hal itu selalu bisa membuatku tersenyum.

Aku melihat langit yang mulai menghitam. Sepertinya sudah hampir larut malam. Aku tidak ingin ayah khawatir kepadaku. Dengan cepat aku berlari menuju rumah. Ketika aku sampai di depan rumah, aku membuka pintu rumah dan masuk ke dalamnya. Salah besar.

Ayah sedang duduk di kursi sambil menatapku dengan senyuman tidak waras. Aku dapat melihat ayahku mulai kehilangan kewarasannya. Ayah dengan cepat berjalan menghampiriku, lalu berkata kepadaku, "Mia, semua teman ilmuwan ayah sudah menjadi ilmuwan terkenal sekarang. Ayah iri dengan mereka. Ayah ingin menjadi hebat seperti mereka. Mia anak yang baik jadi Mia mengerti kan ?"

"I-iya" kataku tanpa mengetahui apa maksud dari perkataan ayah.

Ayah tersenyum lebar, kemudian mengambil sebuah pisau daging besar dan berjalan ke arahku. (A/N : WARNING !! : Gore)

"Mia akan membantu ayah kan ?" tanya ayah, langkahnya semakin mendekat membuat aku berjalan mundur ke belakang karena takut.

Tiba-tiba, ayah menarikku ke arahnya.

"Aarrggghhhh !!!!" teriakku ketika ayah menggunakan pisau daging yang dipegangnya untuk mengiris kakiku perlahan-lahan. Aku merasakan perasaan sakit yang luar biasa sementara darah segar berwarna merah mengalir keluar dari kakiku.

"AAAAHHHHHH !" teriakanku semakin kuat ketika kakiku telah putus dipotong oleh ayah dan kini ayah beralih untuk memotong lenganku.

"AAHHHH !!!!" teriakku lagi setelah kedua tangan dan kakiku telah dipotong oleh ayah.

Pandanganku semakin buram, tetapi aku dapat merasakan rasa sakit dan perih ketika ayah menenggelamkanku di bak berisi cairan aneh. Aku tidak bisa bernafas. Rasanya sakit sekali. Kemudian semuanya menjadi gelap.

Aku membuka mata beberapa menit kemudian hanya untuk mendapati aku sudah berdiri dengan tangan dan kaki yang baru dan tentakel-tentakel yang menjalar keluar dari tubuhku.

Di sampingku, kulihat ayah telah terbaring tak sadarkan diri. Perutnya telah tercabik-cabik membuat organ bagian dalamnya berhamburan keluar. Matanya telah menghilang dari tempatnya.

Aku tidak bisa mengingat apa-apa tentang bagaimana ayahku bisa berakhir seperti itu. Satu hal yang kuingat.

Ayahku melakukan itu atas dasar iri hati. Karena dia iri kepada teman-teman ilmuwannya yang lebih sukses darinya.

Saat itu, aku merasa bahwa kebaikan hati yang kumiliki telah hilang sepenuhnya dan yang ada hanyalah dendam. Dendam kepada siapa yang membuatku menjadi seperti ini : ayahku dan Envy, sang iri hati

~flashback sekaligus Mia's pov end~

Mia mengakhiri ceritanya, membuat Kiana menangis tersedu-sedu mendengar cerita Mia. Sudah sebungkus tisu habis akibat tangisan dari Kiana.

Tanpa mereka sadari, sebuah sosok misterius mengamati mereka dari balik layar monitornya. Sosok misterius tersebut menatap Mia dengan tatapan bosan, kemudian berkata,

"Aku tidak pernah menghargai orang-orang menyedihkan seperti dia. Orang-orang menyedihkan yang menjadikan masa lalu yang buruk sebagai alasan untuk membunuh. Di mataku, dia hanyalah seorang PEMBUNUH. Sebaliknya, aku menghormati orang-orang yang tidak peduli bagaimanapun dunia menyiksa mereka, mereka tidak pernah berubah. Orang-orang yang tetap mempertahankan kebaikan hati mereka tidak peduli seberapa kejamnya dunia."

Secret Between Us Where stories live. Discover now