1. Aku, Langit, dan Bulan

Start from the beginning
                                    

Aku pun tak mampu untuk menegaskan apalagi memaksa Langit harus percaya. Kalau aku sudah menyatakan dan respon Langit selalu demikian. Ya, sudah. Mau diapakan? Mungkin besok Langit berubah pikiran.

"Ahhh..." Langit bersendawa. 

Di depanku, Langit tetaplah manusia biasa. Kalau kentut ya kentut, sendawa ya sendawa, kesal ya kesal, tertawa ya tertawa. Aku mengenalnya dari berbagai sisi, dari yang paling keren sampai yang paling jorok. Cewek-cewek boleh saja berteriak histeris menyaksikan Langit membobol gawang lawan saat bertanding futsal. Namun yang pasti, cewek-cewek itu akan memasang mimik muka jijik mendengar bunyi kentut Langit yang seperti balon kempes. Di kedua situasi tersebut, bisa jadi hanya seorang Army yang memasang ekspresi biasa saja. 

"Mi, gue kenyang banget. Lo yang bawa motornya, ya? Udah nggak terlalu macet kok." Kami berjalan menuju parkiran. Langit tertinggal beberapa langkah di belakangku, jalannya melambat, beban perutnya bertambah. 

Langit menyerahkan kunci motor. Baiklah, aku yang mengendarainya. Dari pada nyawaku melayang karena si pengendara mengantuk. Oh ya, Langit kalau kenyang pasti mengantuk. Tak lama akan tertidur. 

Malam ini berubah, aku yang jadi tukang ojek cowok ini. Syukurlah, jalanan sudah mulai lancar. 

Tuk 

Tuk 

Tuk

Beberapa kali helm kami bertubrukan. Hmph, apa kubilang. 

"Lang, lo ngantuk ya?" 

Aku menengok. Mata Langit setengah terbuka, kepalanya terhuyung-huyung lemah ke depan. 

Lampu lalu lintas menyala merah. Motor yang kukendarai berhenti di belakang zebra cross.

"Jangan jatuh, ya. Kalau lo jatuh, gue tinggal di tengah jalan." Tanganku meraih kepala Langit lantas membebankannya di pundakku. Dia menyamankan posisinya, lalu tertidur. 

***

Kalau kata orang, hidup itu sebuah pilihan. Aku kurang setuju, karena kalau semua bisa dipilih, aku tidak akan memilih untuk jatuh cinta kepada Langit yang jelas-jelas tak akan membalas.  

Aku menyadari perasaan ini tumbuh subur ketika kami menginjak masa SMP. Aku, Langit, dan Bulan bersahabat baik sejak kecil. Kami sering bermain bersama. Main layangan, game online, futsal, pokoknya apa yang Langit suka, aku juga suka. Terkadang, Bulan hanya menjadi penonton setia ketika kami saat bermain basket ataupun voli. 

Waktu itu aku bermain ke rumah Langit seperti biasanya. Di sana juga ada Bulan. Tapi, bukannya kami asyik menghabiskan waktu bertiga, Langit dan Bulan justru mengerjakan tugas dan dengan kurang ajarnya asyik mengobrolkan hal yang tidak aku pahami. Layaknya aku debu di meja, aku tak dihiraukan.

"Oh ya, tadi nilai gue paling tinggi dong!" Bulan meledek Langit. Cowok itu menaikkan alisnya. 

"Masa? Pelajaran apa?"

"Pelajaran Bahasa Indonesia." Bulan bangga. 

"Yah, itu mah Pak Erman aja baik ama lo." Langit menusuk lembut pipi Bulan pakai pensil. 

"Enggak, ya! Enak aja! Pak Erman tuh orang yang objektif ya! Lo tahu sendiri, kan. Beliau berintegritas. Tak seperti ibu yang itu tuh..." 

"Mami Killer, ya?"

"Iya, Bu Kila."   

Bisa kalian bayangkan sendiri gimana posisiku yang bocah SMP ini menyimak pembicaraan dua anak SMA tentang guru mereka. 

Plis deh, jangan ngomongin yang nggak gue ngerti. Pak Erman, Bu Kila, Mas Ecep, Bang Ujang, Mbok Darmi?! Siapa mereka? Woy! Gue gak kenal dan gak ngerti kalik, gerutuku waktu itu. 

Tak berakhir sampai situ. Mereka berbincang lagi, membuat posisiku semakin sulit karena jadi kambing congek. 

"Eh, Bulan. Kayaknya Hafiz suka ama elo deh."

 Langit menyingkirkan bukunya. Memilih berbicara ketimbang menyimak tugasnya.

"Hah? Sok tahu, lo!" Bulan masih berkutat dengan PR-nya. 

"Iya, gue gak suka kalau dia cari muka sama elo." Langit mencomot brownies. 

Aku yang mendengar cuma bisa memutar bola mata jengah. Dunia elo deh, mana gue ngerti, gerutuku. 

"Kalau dia nembak lo, lo mau?" tanya Langit menatap Bulan. Bulan mendongak, mata mereka bertemu. 

"Hahaha! Ngaco, lo!" Bulan salah tingkah, nunduk-nunduk malu. Malu antara pertanyaan Langit, dan malu ditatap Langit instens. 

"Yah, kalau jadian, jangan lupain gue aja sih," Langit meneguk sirup dari gelas Army. 

"Gak kok. Lo juga, kalau jadian ama kakak kelas cantik, jangan lupa ama gue. Jangan tinggalin gue." Ada makna ganda di balik ucapan Bulan. 

"Tenang aja, langit gak bakal pernah meninggalkan bulannya." Langit mengacak-acak rambut Bulan. 

Satu kalimat yang membuat hatiku saat itu terasa retak saat itu. Aku belum mengerti apa yang aku rasakan, aku hanya ingin lenyap. Lenyap secepatnya dari mereka berdua. Semesta, turunkan lubang portal di depanku sekarang juga. 

"Gu—gue... Pulang dulu," kataku serak. 

Tidak ada tanggapan dari Langit dan Bulan. Aku bangkit, aku sudah muak dengan semuanya. 

"Lo mau ke mana, Mi?" Langit baru menyadari aku yang berjalan keluar. 

Aku tidak menjawab, segera pergi, berlari. 

"Mi! Kok lo main kabur gitu aja sih?!" Langit berhasil mengejarku dan memegang tanganku. 

"Gue udah izin sama lo berdua, cuma kalian terlalu asyik. Gue mau pulang, Bunda nyuruh gue pulang. Makasih atas kacang-nya."Kutatap Langit tajam. 

Langsung saja kunaik sepeda meninggalkan dia yang masih berdiri mematung. Sayu-sayup kudengar ia bergumam, "Emang di rumah gue ada kacang ya?"

***

HOLA HOLAAA!! PART 1 SELESAI!!

Btw, kejadian Army dikacangin Langit itu ada di novel If I Can't, yah!

Sekali lagi, INI BUKAN CERITA BTS! DAN AKU BUKAN FANS BTS.

Kenapa namanya Army? Karena artinya macho. Prajurit/tentara. BUKAN KARENA AUTHORNYA FANS BTS DAN AUTHORNYA BUKAN FANS BTS. :) 

Kritik saran monggo di di komen. Tembus 500 view + 50 komen post part berikutnya. Jangan lupa bantu share :D

Gambaran Army di kepalaku sesuai ilustrasi di atas. Gambar kuambil dari pinterest.

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now