"Alenna hebat, ya. Mau saja menemanimu datang mengambil rapor. Rania-ku masih tidur seperti sapi," komentar mamanya Rania saat aku belum sempat nilai di raporku. "Alenna, kalau Rania bingung di kelas, tolong diajari ya. Rapornya kebakaran."
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman tipis dan anggukan kecil. Tidak kuberitahu bahwa Rania selama ini tidak ingin diajari walaupun aku sudah menawarkan langsung kepadanya. Mungkin semester depan dia bisa berubah.
Kulihat papan mading di koridor mulai dikelilingi oleh kerumunan ibu-ibu, terlebih saat pintu kelas 7-2 dan 7-3 telah terbuka--tanda bahwa pertemuan orangtua telah berakhir. Ada juga yang memutuskan untuk langsung pulang tanpa memeriksa papan mading terlebih dahulu.
"Ma, Alenna lihat ranking paralel dulu, ya," ucapku.
Mama mengiyakan. Sementara menungguku memeriksa ranking paralel, Mama mengobrol dengan mamanya Rania.
Cukup sulit menembusi kerumunan yang ada dan mencapai depan mading. Aku sampai harus menunggu selama beberapa saat, menunggu kerumunan bubar dengan sendirinya. Tidak memerlukan waktu lama bagi kerumunan itu untuk membubarkan diri. Tahu-tahu di sana sudah sepi. Seperti benar kata Mama, cara memadamkan rasa antusias adalah dengan merasa kecewa.
Karena itulah yang kurasakan ketika berdiri di depan mading.
Arlan Pratama lagi-lagi menempati posisi pertama.
Dan aku di posisi kedua.
... angka ini tidak asing.
"Bagaimana?" tanya Mama sembari menghampiriku. Mama sendirian, karena sepertinya mamanya Rania memilih untuk pulang dan tidak melihat ranking paralel Rania.
"Aku ranking dua," ucapku.
Mama memperhatikan papan mading sebentar, lalu tersenyum tiba-tiba.
"Ayo, kita pulang. Kita makan enak ya, hari ini. Jangan lupa ajak Arlan."
Aku mengikuti Mama berjalan keluar dari gedung sekolah. Saat tengah menunggu di halte, aku memberanikan diri bertanya, "Mama tidak kecewa?"
"Kamu kan sudah berusaha, buat apa kecewa?" tanya Mama balik.
Aku menunduk memperhatikan sepatu kets putih yang kukenakan selama beberapa saat, "Sepertinya ini limit Alenna ya? Padahal sudah belajar terus sampai malam, tapi tidak bisa ranking pertama."
"Kamu ini, masih SMP sudah membicarakan keterbatasan. Kayak orang tua saja," gurau Mama sambil tertawa. "Itu karena Alenna belajar terlalu keras, jadinya capek. Mama sudah pernah bilang, kan? Yang terlalu berlebihan itu tidak pernah baik, secukupnya sajalah."
Aku menarik napas panjang-panjang, "Alenna akan lebih berusaha lain kali."
Hari itu, aku mengerti tentang sesuatu. Mama tidak pernah menuntutku untuk menjadi yang terbaik. Kemudian, ingatanku pelan-pelan kembali pada memori semasa kecil. Selama di bus, aku merenungi hal yang sebenarnya mulai kuherankan sekarang.
Sejak SD, Papa yang rajin menanyakan ranking, nilai dan semacamnya. Kalau aku mengatakan bahwa aku mendapat nilai sempurna atau ranking pertama, Papa akan tersenyum dan menepuk bahuku dengan bangga. Itu adalah cara untuk membuat Papa senang.
Lalu ... bagaimana cara membuat Mama senang?
"Kenapa kamu ngelihatin Mama kayak gitu, daritadi?" tanya Mama sambil menekan password apartemen dan tersenyum penasaran. Benang merah Mama muncul, aku menatap ke arah benang yang ujungnya masih misterius sampai hari ini.
"Tidak apa-apa, Ma," jawabku seadanya.
Pintu apartemen kami terbuka begitu terdengar suara "BIP" setelah Mama menekan tombol hijau.
"Coba tanya Arlan, dia mau ikut makan siang dengan kita atau tidak. Sekalian merayakan ranking pertama kalian berdua."
Arlan Pratama ranking pertama paralel, otomatis dia pasti ranking pertama di kelasnya. Kurasa Mama mengatakan begitu untuk menghiburku.
"Oke," jawabku patuh.
Kulangkahkan kakiku pada ruang belajar, langsung kubuka kaca pintu balkon dan memeriksa terlebih dahulu apakah ada tanda-tanda keberadaan Arlan Pratama di dalam kamarnya atau tidak.
Ya, baru-baru ini aku mengetahui bahwa ruangan yang memiliki balkon di apartemennya adalah kamar pribadinya, sedangkan ruangan berbalkon di apartemen kami adalah ruang belajar. Dia yang mengatakannya sendiri saat perbincangan malam entah kapan. Aku lupa.
Mendengar suara yang berasal dari dalam sana, membuatku yakin bahwa Arlan Pratama memang ada di sana.
"Mama bilang akan menghargai keputusan yang kubuat sekarang, kan? Lalu mengapa?!"
Suara kerasnya membuat kepalan tanganku yang hendak mengetuk pintu kacanya, langsung berhenti di udara.
Apa ini...? Dia sedang bertengkar dengan ibunya?
"Aku pasti akan pergi ke sana, pasti. Iya, pasti. Entah kapan. Tolong jangan paksa aku sekarang."
... Suaranya terdengar sangat memilukan.
Kutolehkan kepalaku untuk melihat jam yang menggantung di bawah pintu penghubung ruang belajar dan koridor. Masih jam sepuluh pagi.
"Ma, tolong jangan sekarang. Aku belum siap. Iya, tolong sampaikan kepada Papa juga. Terima kasih sudah mau mengerti."
Aku segera masuk kembali ke ruang belajar dan menutup tirai.
Baru saja, aku tidak sengaja menguping.
"Bagaimana? Arlan mau?" tanya Mama saat melewati ruang belajar yang pintunya memang sengaja kubuka.
"Dia lagi menerima telepon, Ma," jawabku sejujurnya. "Mungkin setengah jam lagi aku baru akan mengajaknya."
"Oh, tidak apa-apa sih. Mama di ruang tengah ya, lanjutin kerjaan Mama. Nanti kalau sudah ajak Arlan, kita langsung pergi, ya."
"Iya."
Selanjutnya, Mama tidak terlihat lagi dari pintu. Sementara itu, pikiranku yang sebenarnya sedaritadi hanya memikirkan tentang ranking keduaku, langsung terbelah menjadi dua.
***TBC***
27 Januari 2019, Minggu.
Cindyana's Note
2050 kata, saudara-saudari sekalian!
Sebenarnya tadi mau ku-TBC-in pas bagian mereka taruhan, tapi aku ingin masalahnya cepat nongol, jadilah begini, chapter hari ini jadi panjang.
YEAY, konfliknya sudah muncul! Aku jadi makin semangat nulis! Konfliknya masih abu-abu kan ya? Tapi gapapa, semuanya akan terkuak seiring berjalannya waktu.
Setelah kubaca ulang, chapter hari ini beneran panjang banget. Biasa kalian baca 1200 kata, mendadak bertambah sekian ratus kata. Haha. Tapi nggakpapa lah, ya, toh ini hari minggu. Mwehehehe. Aku sengaja juga nulis dua jam buat kalian nikmati.
Latar waktu sekarang: Chapter 1 Air Train.
Bener, kan? Chap 1 Air Train menceritakan tentang Tyara datang ke sekolah untuk memeriksa apakah dia remedial atau enggak. Kira-kira sama deh, kayak Alenna ngecek rapor.
Aduh, Red String bakal kurang dari 30 chapter nggak ya? /mendadak khawatir/
Oke, sekian untuk chapter hari ini dan juga bacotanku hari ini. Sebenarnya minggu ini aku dilanda tugas habis-habisan dari kampus, semoga semuanya cepat berlalu.
Aku ingin Red String segera tamat. Amiiiin. Masih lama sih, tapi amiiiiin.
Cindyana / Prythalize
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Nineth Thread - "Promise is Something to Fulfil"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)