The Nineth Thread - "Promise is Something to Fulfil"

Start from the beginning
                                        

"Kenapa panggil aku keluar?" tanyaku.

"Aku tidak punya teman ngobrol," jawabnya yang membuatku menatapnya sedatar-datarnya. 

"Aku bukan teman mengobrol yang menyenangkan," ucapku. "Sudah dulu, ya, aku masih harus belajar." 

"Masih mau lanjut? Tadi kamu mulainya setelah kita selesai makan malam, kan? Sudah mau dua jam, lho. Nggak stress kamu belajar terus?" 

Aku diam saja, karena sebenarnya kepalaku sudah berdenyut-denyut. Ingin berhenti, tapi aku tahu sekarang bukan waktunya untuk berhenti. 

"Lagi belajar apa?" tanyanya lagi. 

"IPS," balasku.

"Mau belajar bersama?" ajaknya tiba-tiba. 

"Aku biasa belajar sendiri," jawabku. 

Arlan Pratama menatapku kesal, "Aku juga biasa belajar sendiri."

Mengapa dia mengatakan begitu seolah aku yang mengajaknya belajar bersama? Aku mulai bingung menghadapi orang-orang di sekitarku. Tidak Rania, tidak Arlan Pratama, mereka sama-sama membingungkan. Semua orang membingungkan.

"Mau berlomba?" 

Aku sontak menoleh ke arahnya, entah mengapa berhasil menebak jalan pikirannya kali ini. "Berlomba mendapat ranking pertama, maksudmu?"

"Iya," responsnya. 

Sejak awal kami memang sudah berlomba, kan?

"Yang menang bisa memerintah yang kalah satu kali. Bagaimana?" tawarnya. 

"Itu pertaruhan. Secara tidak langsung, itu namanya berjudi," ucapku sambil mengerutkan kening. 

"Kita tidak menggunakan uang atau barang sebagai bahan pertaruhan, jadi ini bukan berjudi," balasnya dengan tenang. "Atau kamu tidak mau karena sudah tahu kalau aku yang akan mendapat ranking satu?" 

...anak ini menyebalkan sekali.

"Tidak boleh memerintah membelikan barang, kan?" tanyaku untuk memastikan. 

Jangan karena aku lalai sedikit, semua tabungan yang kusimpan untuk memberi hadiah hari Ibu langsung ludes untuk membeli barang tidak penting. 

"Tidak boleh. Kalau memerintah membelikan barang kan pakai uang, itu berjudi namanya," balas Arlan Pratama. "Jadi bagaimana?" 

"Oke." 

.

.

.

Hari ini adalah hari pengambilan rapor. Tidak semua murid-murid mau datang ke sekolah, karena memang tidak diwajibkan. Aku memang biasanya datang untuk menemani Mama yang mengambil raporku. 

Hanya ada beberapa murid yang datang. Beberapa di antaranya adalah murid-murid yang nilainya bermasalah. Guru-guru yang lewat koridor biasanya akan menanyakan murid yang duduk sendirian di koridor tentang masalah ini, tetapi saat melihatku, mereka hanya bertanya apakah aku tidak pergi berlibur atau berbasa-basi tentang siapa yang mengambil raporku. 

Belajar dari pengalaman semester lalu, kepala sekolah baru akan menempelkan daftar ranking paralel setelah orangtua keluar dari kelas. 

Kali ini juga begitu. 

"Kamu ranking pertama lagi," kata Mama begitu keluar dari kelas. 

Hal itu sontak mengundang para ibu-ibu untuk menoleh ke arahku. Aku hanya melempar senyum tipis saat Mama menghampiriku untuk memperlihatkan raporku. 

LFS 2 - Red String [END]Where stories live. Discover now