Bel berbunyi, membuatku menghentikan kata-kataku tanpa sadar. Teman sekelasku juga kembali memasuki ruang kelas.
"Eh, Alenna, kita ada PR tidak?" tanya Rania.
Aku mengerjapkan mata, bingung dengan sikapnya, "Tidak."
Rania tiba-tiba bersikap biasa saja, tidak peduli. Kurasa aku masih belum bisa menebak sikapnya, walau sudah lewat sepuluh bulan sekelas dengannya.
Kusimpan rotiku di dalam laci. Akan kupastikan bahwa aku tidak lupa memakannya saat jam istirahat pertama nanti.
Menurutku Mama dan Arlan Pratama itu dekat. Sepertinya memang benar, dulu Mama sempat menginginkan anak laki-laki.
Terkadang Mama bisa mendadak bercerita hal yang tidak kuketahui tentang Arlan Pratama. Hanya dua kali aku mengajak Arlan Pratama untuk makan di rumah dan sekarang dia seperti seorang langganan yang datang beberapa kali dalam seminggu, tanpa perlu kuajak lagi. Tentu saja dengan memberikan informasi kepadaku bahwa dia akan datang, lalu aku yang akan menyampaikannya kepada Mama.
Saat tahu bahwa Arlan Pratama adalah ranking pertama paralel yang sebelumnya, Mama malah menyemangati kami berdua bersama. Padahal Mama pasti tahu bahwa ranking pertama hanya bisa didapatkan oleh satu orang saja.
Kalau pun total nilai kami seimbang, sekolah akan mempertimbangkan siapa yang paling tinggi di pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Jika nilai tetap kembar, maka sikap dan prilaku murid akan menjadi bahan pertimbangan. Darimana aku mengetahuinya? Aku menyimak saat sekolah menjelaskannya dalam suatu pertemuan untuk orangtua, aku lupa judul besar pertemuan itu. Yang jelas, tidak akan ada ranking yang dimiliki oleh dua orang.
Aku mengeratkan peganganku pada pena. Hasil ujian kali ini adalah pertempuran yang sebenarnya. Aku tidak akan kalah.
*
"Belakangan, kamu makin susah dipanggil keluar, ya," komentar Arlan Pratama begitu aku membuka kaca pintu balkon.
Aku hanya diam. Arlan Pratama selalu saja mengganggu di waktu belajarku. Dia mengetuk kaca balkon tanpa henti karena aku tidak segera menyahut. Dan aku terpaksa keluar dari sana, walaupun aku sudah tahu bahwa kami malah akan berakhir membicarakan hal tidak penting lainnya.
"Biar kutebak. Kamu sedang belajar untuk ujian minggu depan?"
Dia tahu, dan dia sengaja.
"Hm, tapi setidaknya kamu sudah mau berusaha."
Aku menggigit pipi bagian dalamku, menahan mulutku agar jangan bersuara. Terkadang aku kesal dengan kata-kata Arlan Pratama yang tajam dan tanpa disaring lebih dulu. Bisa-bisanya dia mengatakan begitu seolah dia sudah melihat hasil ujiannya dan aku tidak bisa menempati ranking pertama lagi.
"Aku bercanda, kalau tidak suka, langsung bilang saja."
"Aku tidak suka," ungkapku pada akhirnya.
Arlan Pratama malah menahan tawanya, "Kamu selalu seperti itu, tidak mau mengatakan hal yang tidak kamu suka. Ingat beberapa bulan yang lalu saat kamu ditabrak paman garang di elevator? Padahal raut wajahmu sudah kesal begitu, tapi kamu tetap diam."
"Aku tidak ingin membuat masalah." Akhirnya aku bisa mengutarakan hal yang selama ini ingin kusampaikan kepadanya.
"Tidak apa-apa, kan kamu nggak salah. Makanya aku berani membelamu," katanya. "Kalau tidak suka, tinggal bicara saja, kan?"
Aku memejamkan mata selama beberapa saat, mencoba mengingat hal yang terjadi saat itu. Sebenarnya aku juga bingung mengapa dia mau repot-repot membelaku, tapi ya sudahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 2 - Red String [END]
Fantasi[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Nineth Thread - "Promise is Something to Fulfil"
Mulai dari awal
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)