"Aku bawain es krim biar kakak nggak sedih..." Ujarnya lagi. "Kakak jangan sedih, ya?"

Gue mengangguk; mengusap rambutnya sebelum akhirnya melepaskan pelukan kami.
"Makasih udah jadi anak baik, Ka."

"Ah," gue menghapus airmata gue kasar. "Jangan bilang siapa siapa ya, gue nangis."

Kaka tersenyum tipis.
"Nggak bakal..."

"Ayo, main kuat kuatan." Ajak gue; berusaha melupakan soal keparat apapun yang menguasai tubuh gue sekarang. "Ayo, kalahin gue, Ka."

"Aku bisa, kok." Senyumnya, yang ternyata baru nempelin gigi taring aja langsung menjauh dari es krim.

"Nih, hm." Gue dengan mudah menggigit es krim yang diberikannya. "Kalah lo."

"Nggak, ngga kalah! Belom!" Gelengnya, lantas kembali mencoba lagi. "Tunggu, aku bisa. Aku bisa."

"Mana?" Cibir gue, yang gemas daritadi ia cuma nempelin gigi sedikit, terus menjauh. Begitu terus siklusnya.

"Nih," ia menempelkan giginya yang baru tumbuh; kemudian menjilat eskrimnya. "Hm, bisa kan? Tuh, kak."

Bisa banget caranya begitu.

"Mana ada begitu? Curang! Kaka curang, wo!" Seru gue; membuatnya tertawa keras keras.

"Ini ngga curang, ini namanya pinter!" Gelengnya, masih sambil tertawa. "Kan katanya pake gigi; ini pake gigi!"

"Gigi kelincinya coba dipake." Cibir gue, yang membuahkan gelengan darinya; kemudian ia tertawa, menunjukkan giginya yang baru tanggal kemarin.

"Kak." Tukasnya. "Bisa makan es krim dari idung ngga?"

Kan, aneh aneh emang kadang nih anak.

"Gimana itu?" Gue menaikkan satu alis, membiarkannya beratraksi dengan apapun yang ia maksud barusan. "Contohin, coba."

"Nih, begini." Ia menaruh es krim di hidungnya—yang sebelumnya sudah dicolek, tentunya—. Kemudian, nggak pakai lama, ia lantas menjilatnya dari hidung.

Panjang juga lidahnya...

"Gitu, kak." Senyumnya. "Bisa gak?"

"Lo manusia apa uler ya, mohon maaf nih?" Bingung gue, yang sontak membuatnya tertawa; sialnya, membuat gue ikut tertawa juga. "Sini sini, gue coba."

Gue mempraktekkan apa yang tadi dilakukannya; tapi gak ada satupun yang berhasil.

Cuma membuat gue jadi kelihatan makin konyol.

"Ayo, jilat terus kak!" Ujarnya, yang heboh sendiri melihat lidah gue tak kunjung sampai. "Lagi, lagi!"

Gue tertawa pasrah.
"Lidah gue lidah manusia, gak sampe!"

"Bisa, bisa. Pasti sampe!" Gelengnya, masih semangat melihat gue kesusahan. "Ayo, kak, lagi!"

Gue punya ide.

"Hm, gini nih." Gue mencolek es krim yang tadinya berada di hidung gue, kemudian menjilatnya habis. "Abis, kan?"

"Ih, ngga gitu!" Gelengnya; menggenggam tangan gue dan terus mengguncangnya. "Curang! Kakak curang!"

"Eh, ini ngga curang; ini namanya pinter." Ledek gue, membuatnya merengek namun ikut tertawa juga.

"Ka?"

Kami menoleh, mendapati Calum di ambang pintu. Rahangnya mengeras, entah kenapa; membuat Kaka bergeser mendekat pada gue.

Not again, Cal.

"Cal..." Lirih gue. "Kalo lo mau ribut, sori gue lagi ngga ada tenaga."

"Gue mau Kaka." Singkatnya, tanpa mendekat kearah kami.

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now